Rabu, 27 Maret 2013

Pak Menteri, Jangan Hapus KRL Ekonomi


Pak Menteri, Jangan Hapus KRL Ekonomi
Firdaus Cahyadi  ;  Pengguna KRL Jabodetabek
TEMPO.CO, 27 Maret 2013
  

“Semua KRL (kereta rel listrik) Ekonomi dihapus saja, diganti semuanya dengan KRL AC Commuter Line,” ujar Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Ignasius Jonan, seperti ditulis oleh sebuah media daring, saat rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada awal Maret 2013. Apa yang dikatakan Jonan itu sudah pasti meresahkan para pengguna KRL Ekonomi Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanah Abang, dan Bekasi).

Bagaimana tidak, jika benar KRL Ekonomi akan dihapus, warga yang selama ini menggunakan KRL itu harus mengeluarkan biaya transportasi berlipat-lipat dari biasanya. Biaya transportasi yang harus mereka keluarkan naik lebih dari 100 persen. Selama ini pengguna KRL Ekonomi mengeluarkan ongkos Rp 4.000 per hari untuk pulang-pergi, sementara dengan menggunakan KRL Commuter Line, mereka harus mengeluarkan ongkos berkisar Rp 16-18 ribu per hari. Artinya, setiap bulan mereka harus mengeluarkan sekitar Rp 400 ribu untuk ongkos naik kereta.

Total biaya transportasi itu akan semakin membengkak karena sering kali para pengguna KRL Ekonomi itu juga harus menggunakan alat transportasi lain dari rumah menuju stasiun KRL atau dari stasiun KRL ke tempat kerjanya. Dan itu tentu saja memberatkan para pengguna KRL Ekonomi yang didominasi oleh masyarakat kelas menengah-bawah.

Bukan kali ini saja PT KAI membuat resah kelompok masyarakat kelas menengah-bawah. Beberapa waktu lalu PT KAI dengan tanpa beban menggusur kios-kios pedagang kecil dan kaki lima di area stasiun. Kios pedagang kecil dan pedagang kaki lima dinilai mengganggu pelayanan kereta. Namun anehnya PT KAI membiarkan minimarket dan gerai makanan siap saji milik perusahaan besar tetap berdiri di area stasiun.

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah mengapa kebijakan-kebijakan PT KAI selalu diarahkan untuk menggusur masyarakat kelas menengah-bawah? Jawabannya sebenarnya sederhana saja. Hal itu karena masyarakat kelas menengah-bawah dinilai memiliki daya beli yang kecil dibanding masyarakat kelas menengah-atas. Kios-kios milik pedagang kecil dan kaki lima memberikan pemasukan yang kecil dibanding minimarket dan gerai makanan siap saji milik perusahaan besar. Begitu pula pengguna KRL Ekonomi yang berasal dari masyarakat kelas menengah-bawah itu. Keberadaan KRL Ekonomi dinilai menghalangi PT KAI untuk memaksimalkan laba perusahaan.

Memang benar, jumlah penumpang KRL Commuter Line terus mengalami kenaikan. Namun itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan KRL Ekonomi. Kenaikan jumlah penumpang KRL Commuter Line lebih karena mereka tidak memiliki pilihan. Selama ini jumlah perjalanan KRL Ekonomi terus dikurangi, sehingga memaksa pengguna KRL Ekonomi untuk berpindah ke KRL Commuter Line.

Memang benar pula bahwa kondisi KRL Ekonomi sudah memprihatinkan. Namun sekali lagi itu bukan alasan untuk menghapuskannya. Kondisi KRL Ekonomi yang buruk seharusnya diperbaiki, bukan justru dihapuskan keberadaannya. Karena penghapusan KRL Ekonomi itu bukan semata-mata persoalan teknis dan ekonomi, penghapusan KRL Ekonomi adalah persoalan sosial.

Namun tampaknya PT KAI lebih memilih mengabaikan segala persoalan sosial yang mengiringi hampir setiap kebijakan mereka. Paradigma PT KAI yang anti-kelas menengah-bawah itu sebenarnya tak lepas dari mandat yang diberikan oleh pemerintah, agar PT KAI mencetak laba yang sebesar-besarnya. Tak peduli bila laba yang besar itu diperoleh dengan cara menyingkirkan masyarakat kelas menengah-bawah. Karena itulah rasanya tak mungkin berharap pada kebaikan hati PT KAI untuk lebih memanusiakan masyarakat kelas menengah-bawah. Ke masa depan, kebijakan-kebijakan yang anti-masyarakat kelas menengah-bawah demi memaksimalkan laba perusahaan itu akan terus dilanjutkan.

Kini harapan masyarakat kelas menengah-bawah tertumpu pada menteri di kabinet, baik Menteri Perhubungan maupun Menteri BUMN. Para menteri itu adalah wakil pemerintah yang berkewajiban memenuhi hak masyarakat untuk melakukan mobilitas menggunakan transportasi massal. Biaya operasional transportasi massal, dalam hal ini KRL, memang besar. Dan itu tidak mungkin dibebankan kepada masyarakat kelas menengah-bawah. Pemerintah harus berperan besar dalam hal ini. Salah satu perannya adalah memberikan subsidi terhadap pengoperasian alat transportasi massal kereta api.

Untuk memenuhi hak warga negara dalam melakukan mobilitas itu, pemerintah harus berani mengabaikan godaan untuk meliberalisasi sektor perkeretaapian. Godaan liberalisasi kereta api inilah yang selama ini menjadi dasar pemerintah untuk membiarkan semua langkah PT KAI dalam menyingkirkan masyarakat kelas menengah-bawah untuk memperolah laba yang sebesar-besarnya. Hal itu dapat dilacak dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dan sebagian kebijakan pemerintah itu atas saran lembaga bisnis bantuan internasional yang selama ini memang dikenal getol mempromosikan liberalisasi ekonomi di berbagai belahan dunia.

Upaya liberalisasi sektor perkeretaapian itu dapat dilacak dari perubahan struktur perkeretaapian. Struktur manajemen perkeretaapian Indonesia telah mengalami perubahan dari PJKA yang lebih menekankan pelayanan publik, kemudian menjadi Perumka pada 1990, dan kemudian menjadi perseroan (PT) pada 1998. Menurut penelitian Infid, serangkaian perubahan ini merupakan hasil rekomendasi dari lembaga bisnis bantuan internasional Bank Dunia melalui proyek utangnya.

Apa implikasinya bagi masyarakat? Perum merupakan perusahaan yang 50 persen mencari profit, selebihnya berorientasi pada pelayanan publik, dan PT merupakan perusahaan yang 100 persen mencari profit. Inilah akar persoalan mengapa selama ini kebijakan PT KAI anti terhadap kepentingan masyarakat kelas menengah-bawah.

Pemerintah melalui para menterinya harus berani mengoreksi perubahan struktural dari manajemen perkeretaapian di negeri ini. Tidak perlu takut melanggar rekomendasi dari Bank Dunia, bila itu untuk kepentingan masyarakat. Penolakan penghapusan KRL Ekonomi oleh pemerintah, jika benar akan dilakukan, bisa menjadi titik pijak yang relatif kuat untuk mengoreksi semua kesalahan struktur perkeretaapian Indonesia.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar