“Semua KRL (kereta rel
listrik) Ekonomi dihapus saja, diganti semuanya dengan KRL AC Commuter
Line,” ujar
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Ignasius Jonan, seperti
ditulis oleh sebuah media daring, saat rapat dengar pendapat dengan Dewan
Perwakilan Rakyat pada awal Maret 2013. Apa yang dikatakan Jonan itu
sudah pasti meresahkan para pengguna KRL Ekonomi Jabodetabek (Jakarta,
Bogor, Depok, Tanah Abang, dan Bekasi).
Bagaimana tidak, jika benar KRL Ekonomi
akan dihapus, warga yang selama ini menggunakan KRL itu harus
mengeluarkan biaya transportasi berlipat-lipat dari biasanya. Biaya
transportasi yang harus mereka keluarkan naik lebih dari 100 persen.
Selama ini pengguna KRL Ekonomi mengeluarkan ongkos Rp 4.000 per hari
untuk pulang-pergi, sementara dengan menggunakan KRL Commuter Line,
mereka harus mengeluarkan ongkos berkisar Rp 16-18 ribu per hari.
Artinya, setiap bulan mereka harus mengeluarkan sekitar Rp 400 ribu untuk
ongkos naik kereta.
Total biaya transportasi itu akan semakin
membengkak karena sering kali para pengguna KRL Ekonomi itu juga harus
menggunakan alat transportasi lain dari rumah menuju stasiun KRL atau
dari stasiun KRL ke tempat kerjanya. Dan itu tentu saja memberatkan para
pengguna KRL Ekonomi yang didominasi oleh masyarakat kelas
menengah-bawah.
Bukan kali ini saja PT KAI membuat resah
kelompok masyarakat kelas menengah-bawah. Beberapa waktu lalu PT KAI
dengan tanpa beban menggusur kios-kios pedagang kecil dan kaki lima di
area stasiun. Kios pedagang kecil dan pedagang kaki lima dinilai
mengganggu pelayanan kereta. Namun anehnya PT KAI membiarkan minimarket
dan gerai makanan siap saji milik perusahaan besar tetap berdiri di area
stasiun.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah
mengapa kebijakan-kebijakan PT KAI selalu diarahkan untuk menggusur
masyarakat kelas menengah-bawah? Jawabannya sebenarnya sederhana saja.
Hal itu karena masyarakat kelas menengah-bawah dinilai memiliki daya beli
yang kecil dibanding masyarakat kelas menengah-atas. Kios-kios milik
pedagang kecil dan kaki lima memberikan pemasukan yang kecil dibanding
minimarket dan gerai makanan siap saji milik perusahaan besar. Begitu
pula pengguna KRL Ekonomi yang berasal dari masyarakat kelas
menengah-bawah itu. Keberadaan KRL Ekonomi dinilai menghalangi PT KAI
untuk memaksimalkan laba perusahaan.
Memang benar, jumlah penumpang KRL
Commuter Line terus mengalami kenaikan. Namun itu tidak bisa dijadikan
alasan untuk menghapuskan KRL Ekonomi. Kenaikan jumlah penumpang KRL
Commuter Line lebih karena mereka tidak memiliki pilihan. Selama ini
jumlah perjalanan KRL Ekonomi terus dikurangi, sehingga memaksa pengguna
KRL Ekonomi untuk berpindah ke KRL Commuter Line.
Memang benar pula bahwa kondisi KRL
Ekonomi sudah memprihatinkan. Namun sekali lagi itu bukan alasan untuk
menghapuskannya. Kondisi KRL Ekonomi yang buruk seharusnya diperbaiki,
bukan justru dihapuskan keberadaannya. Karena penghapusan KRL Ekonomi itu
bukan semata-mata persoalan teknis dan ekonomi, penghapusan KRL Ekonomi
adalah persoalan sosial.
Namun tampaknya PT KAI lebih memilih
mengabaikan segala persoalan sosial yang mengiringi hampir setiap
kebijakan mereka. Paradigma PT KAI yang anti-kelas menengah-bawah itu
sebenarnya tak lepas dari mandat yang diberikan oleh pemerintah, agar PT
KAI mencetak laba yang sebesar-besarnya. Tak peduli bila laba yang besar
itu diperoleh dengan cara menyingkirkan masyarakat kelas menengah-bawah.
Karena itulah rasanya tak mungkin berharap pada kebaikan hati PT KAI
untuk lebih memanusiakan masyarakat kelas menengah-bawah. Ke masa depan,
kebijakan-kebijakan yang anti-masyarakat kelas menengah-bawah demi
memaksimalkan laba perusahaan itu akan terus dilanjutkan.
Kini harapan masyarakat kelas
menengah-bawah tertumpu pada menteri di kabinet, baik Menteri Perhubungan
maupun Menteri BUMN. Para menteri itu adalah wakil pemerintah yang
berkewajiban memenuhi hak masyarakat untuk melakukan mobilitas
menggunakan transportasi massal. Biaya operasional transportasi massal,
dalam hal ini KRL, memang besar. Dan itu tidak mungkin dibebankan kepada
masyarakat kelas menengah-bawah. Pemerintah harus berperan besar dalam
hal ini. Salah satu perannya adalah memberikan subsidi terhadap
pengoperasian alat transportasi massal kereta api.
Untuk memenuhi hak warga negara dalam
melakukan mobilitas itu, pemerintah harus berani mengabaikan godaan untuk
meliberalisasi sektor perkeretaapian. Godaan liberalisasi kereta api
inilah yang selama ini menjadi dasar pemerintah untuk membiarkan semua
langkah PT KAI dalam menyingkirkan masyarakat kelas menengah-bawah untuk
memperolah laba yang sebesar-besarnya. Hal itu dapat dilacak dari
beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dan sebagian kebijakan
pemerintah itu atas saran lembaga bisnis bantuan internasional yang
selama ini memang dikenal getol mempromosikan liberalisasi ekonomi di
berbagai belahan dunia.
Upaya liberalisasi sektor perkeretaapian
itu dapat dilacak dari perubahan struktur perkeretaapian. Struktur
manajemen perkeretaapian Indonesia telah mengalami perubahan dari PJKA
yang lebih menekankan pelayanan publik, kemudian menjadi Perumka pada
1990, dan kemudian menjadi perseroan (PT) pada 1998. Menurut penelitian
Infid, serangkaian perubahan ini merupakan hasil rekomendasi dari lembaga
bisnis bantuan internasional Bank Dunia melalui proyek utangnya.
Apa implikasinya bagi masyarakat? Perum
merupakan perusahaan yang 50 persen mencari profit, selebihnya berorientasi
pada pelayanan publik, dan PT merupakan perusahaan yang 100 persen
mencari profit. Inilah akar persoalan mengapa selama ini kebijakan PT KAI
anti terhadap kepentingan masyarakat kelas menengah-bawah.
Pemerintah melalui para menterinya harus
berani mengoreksi perubahan struktural dari manajemen perkeretaapian di
negeri ini. Tidak perlu takut melanggar rekomendasi dari Bank Dunia, bila
itu untuk kepentingan masyarakat. Penolakan penghapusan KRL Ekonomi oleh
pemerintah, jika benar akan dilakukan, bisa menjadi titik pijak yang
relatif kuat untuk mengoreksi semua kesalahan struktur perkeretaapian
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar