Sabtu, 30 Maret 2013

Bebas dalam Kasih


Bebas dalam Kasih
Franz Magnis-Suseno; Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara     
KOMPAS, 30 Maret 2013



Bagi umat Kristiani di seluruh dunia, hari Paskah, yang oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan tahun ini dirayakan pada tanggal 1 April, pada hari minggu pertama sesudah bulan purnama musim semi pertama, merupakan hari gembira. Pada hari itu, mereka memperingati momen Yesus dibangkitkan Allah dari kematian-Nya di salib.
Dengan demikian, hari Paskah merupakan hari kemenangan atas kematian, tetapi bukan kemenangan dengan tari gembira, bukan kemenangan yang menghancurkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus.
Di salib, Yesus memaafkan mereka yang membawanya ke tempat itu. ”Bapak, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Kemenangan Yesus bukan kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang memusuhi-Nya pun masih dirangkul.
Jadi, kemenangan Paskah adalah kemenangan kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan terhadap balas dendam, kemenangan hati yang baik terhadap hati yang keras. Dalam kemenangan Paskah, mereka yang sesat hatinya pun dirangkul dan dicintai.
Waktu masih mengajar di Palestina, Yesus mengalami saat tidak dipercayai, ditolak, dicurigai, dibenci, mengalami kekerasan, siksaan, dan akhirnya dibunuh.
Waktu Yesus mau ditangkap dan murid-Nya, Petrus, menarik pedang, Yesus menegur, ”Masukkan pedangmu ke tempatnya. Bukankah Bapak-Ku dapat mengirim kepada-Ku dua belas pasukan malaikat untuk menyelamatkan Aku? Tetapi, bagaimana lantas Kitab Suci akan terpenuhi?”
Membebaskan
Dari sikap Yesus, kita dapat mengetahui bahwa Allah tidak membenci pendosa, tidak membalas, melainkan bersedia mengampuni. Di hadapan Allah, tak ada orang yang perlu putus asa. Di hadapan Allah, segala-galanya dapat menjadi baik karena Allah adalah cinta kasih.
Terlalu sering kita, manusia, sudah menjadi tawanan ketertutupan hati kita sendiri. Begitu kita sedikit saja dicurigai atau tidak disukai, kita menutup diri dan menjadi curiga juga.
Dari curiga, hati kita menjadi keras. Dan, kekerasan hati akan semakin memperkuat sikap negatif mereka yang dianggap lawan. Kita terbelenggu dalam lingkaran setan ketakutan, kecurigaan, dan kebencian yang dapat melibatkan kita dalam permusuhan dan kekerasan.
Dari Yesus kita boleh memperoleh keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu. Kita mengalami kebebasan hati orang yang bersikap baik terhadap siapa pun, termasuk terhadap musuhnya. Pepatah Jawa mengatakan dengan bagus, sing becik dibeciki, sing ala dibeciki (yang baik kita perlakukan dengan baik, yang tidak bersikap baik kita perlakukan dengan baik juga).
Dengan demikian, kita menjadi bebas. Kita tidak lagi terbelenggu otomatisme benci melawan yang membenci. Kita dapat berhadapan dengan siapa pun dengan hati yang baik. Kita menjadi bebas dari rasa-rasa yang membuat gelap hati kita, yang membuat kita keras, terbelenggu dalam kepicikan kita sendiri yang meracuni hati kita, dari belenggu dendam kesumat.
Kita tak lagi di bawah hukum ”gigi lawan gigi, mata lawan mata”. Sekarang kita mengerti kata Yesus: ”Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Sikap ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan.
Tentu kita tidak selalu boleh ”memberikan pipi kiri” juga. Sikap ”menyerahkan pipi kiri” adalah tanda kebebasan kita dari hukum balas dendam.
Agar kebebasan itu mungkin, masyarakat-masyarakat dunia sejak ribuan tahun membangun struktur-struktur yang menunjang hubungan antarmanusia: segala macam adat istiadat, aturan sopan santun, hukum, peraturan dan norma, serta sistem peradilan yang bertugas menjamin keadilan. Melalui struktur itu, masyarakat mengatur agar pemukulan pipi tidak gampang terjadi, dan kalau terjadi agar ada cara penyelesaiannya. Karena itu, kita tentu boleh menuntut, seperlunya di depan pengadilan agar hak-hak kita itu dihormati.
Kita bahkan sering wajib membela diri karena kita tidak hidup sendirian. Dari kita bergantung orang lain, ruang kebebasan hidupnya, kita tidak boleh membiarkan mereka yang berada dalam tanggung jawab kita diperlakukan tidak adil.
Yang dapat diberikan oleh kegembiraan Paskah, kegembiraan bahwa cinta dan kebaikan menang atas kebencian dan kejahatan, adalah kebebasan hati mendalam yang tidak lagi tergerogoti nafsu kebencian gelap, yang dengan senyum kebaikan menawarkan pipi kiri untuk dipukul juga.
Suatu kebebasan hati dari keprihatinan terhadap diri sendiri, suatu kebebasan yang membuat kita juga bebas dari rasa resah. Bebas mencintai, bebas membuka hati, bebas mengharapkan biji kebaikan bahkan di hati mereka yang memusuhi kita.
Seperti ditulis seseorang yang mengalami pembaruan dalam harapan kebangkitan, ”Cinta buah kebangkitan itu sabar, murah hati, tidak cemburu. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Cinta tidak berkesudahan.”
Sepintas cinta macam itu kelihatan bodoh. Namun, kalau kita bersentuhan dengannya, kita tahu bahwa cinta itulah kekuatan yang sebenarnya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar