Bagi umat Kristiani di seluruh
dunia, hari Paskah, yang oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan tahun
ini dirayakan pada tanggal 1 April, pada hari minggu pertama sesudah
bulan purnama musim semi pertama, merupakan hari gembira. Pada hari itu,
mereka memperingati momen Yesus dibangkitkan Allah dari kematian-Nya di
salib.
Dengan demikian, hari Paskah
merupakan hari kemenangan atas kematian, tetapi bukan kemenangan dengan
tari gembira, bukan kemenangan yang menghancurkan musuh. Tidak ada musuh
yang mau dikalahkan Yesus.
Di salib, Yesus memaafkan mereka
yang membawanya ke tempat itu. ”Bapak, ampunilah mereka karena mereka
tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Kemenangan Yesus bukan kemenangan
balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang memusuhi-Nya
pun masih dirangkul.
Jadi, kemenangan Paskah adalah
kemenangan kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan
terhadap balas dendam, kemenangan hati yang baik terhadap hati yang
keras. Dalam kemenangan Paskah, mereka yang sesat hatinya pun dirangkul
dan dicintai.
Waktu masih mengajar di
Palestina, Yesus mengalami saat tidak dipercayai, ditolak, dicurigai,
dibenci, mengalami kekerasan, siksaan, dan akhirnya dibunuh.
Waktu Yesus mau ditangkap dan
murid-Nya, Petrus, menarik pedang, Yesus menegur, ”Masukkan pedangmu ke
tempatnya. Bukankah Bapak-Ku dapat mengirim kepada-Ku dua belas pasukan
malaikat untuk menyelamatkan Aku? Tetapi, bagaimana lantas Kitab Suci
akan terpenuhi?”
Membebaskan
Dari sikap Yesus, kita dapat
mengetahui bahwa Allah tidak membenci pendosa, tidak membalas, melainkan
bersedia mengampuni. Di hadapan Allah, tak ada orang yang perlu putus
asa. Di hadapan Allah, segala-galanya dapat menjadi baik karena Allah
adalah cinta kasih.
Terlalu sering kita, manusia,
sudah menjadi tawanan ketertutupan hati kita sendiri. Begitu kita sedikit
saja dicurigai atau tidak disukai, kita menutup diri dan menjadi curiga
juga.
Dari curiga, hati kita menjadi
keras. Dan, kekerasan hati akan semakin memperkuat sikap negatif mereka
yang dianggap lawan. Kita terbelenggu dalam lingkaran setan ketakutan,
kecurigaan, dan kebencian yang dapat melibatkan kita dalam permusuhan dan
kekerasan.
Dari Yesus kita boleh memperoleh
keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu. Kita mengalami
kebebasan hati orang yang bersikap baik terhadap siapa pun, termasuk
terhadap musuhnya. Pepatah Jawa mengatakan dengan bagus, sing becik
dibeciki, sing ala dibeciki (yang baik kita perlakukan dengan baik, yang
tidak bersikap baik kita perlakukan dengan baik juga).
Dengan demikian, kita menjadi
bebas. Kita tidak lagi terbelenggu otomatisme benci melawan yang
membenci. Kita dapat berhadapan dengan siapa pun dengan hati yang baik.
Kita menjadi bebas dari rasa-rasa yang membuat gelap hati kita, yang
membuat kita keras, terbelenggu dalam kepicikan kita sendiri yang
meracuni hati kita, dari belenggu dendam kesumat.
Kita tak lagi di bawah hukum
”gigi lawan gigi, mata lawan mata”. Sekarang kita mengerti kata Yesus:
”Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu.” Sikap ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan.
Tentu kita tidak selalu boleh
”memberikan pipi kiri” juga. Sikap ”menyerahkan pipi kiri” adalah tanda
kebebasan kita dari hukum balas dendam.
Agar kebebasan itu mungkin,
masyarakat-masyarakat dunia sejak ribuan tahun membangun
struktur-struktur yang menunjang hubungan antarmanusia: segala macam adat
istiadat, aturan sopan santun, hukum, peraturan dan norma, serta sistem
peradilan yang bertugas menjamin keadilan. Melalui struktur itu,
masyarakat mengatur agar pemukulan pipi tidak gampang terjadi, dan kalau
terjadi agar ada cara penyelesaiannya. Karena itu, kita tentu boleh
menuntut, seperlunya di depan pengadilan agar hak-hak kita itu dihormati.
Kita bahkan sering wajib membela
diri karena kita tidak hidup sendirian. Dari kita bergantung orang lain,
ruang kebebasan hidupnya, kita tidak boleh membiarkan mereka yang berada
dalam tanggung jawab kita diperlakukan tidak adil.
Yang dapat diberikan oleh
kegembiraan Paskah, kegembiraan bahwa cinta dan kebaikan menang atas
kebencian dan kejahatan, adalah kebebasan hati mendalam yang tidak lagi
tergerogoti nafsu kebencian gelap, yang dengan senyum kebaikan menawarkan
pipi kiri untuk dipukul juga.
Suatu kebebasan hati dari
keprihatinan terhadap diri sendiri, suatu kebebasan yang membuat kita
juga bebas dari rasa resah. Bebas mencintai, bebas membuka hati, bebas
mengharapkan biji kebaikan bahkan di hati mereka yang memusuhi kita.
Seperti ditulis seseorang yang
mengalami pembaruan dalam harapan kebangkitan, ”Cinta buah kebangkitan
itu sabar, murah hati, tidak cemburu. Ia tidak bersukacita karena
ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta percaya segala sesuatu,
mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Cinta tidak
berkesudahan.”
Sepintas cinta macam itu
kelihatan bodoh. Namun, kalau kita bersentuhan dengannya, kita tahu bahwa
cinta itulah kekuatan yang sebenarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar