Kamis, 28 Maret 2013

Kemustahilan Isu Kudeta


Kemustahilan Isu Kudeta
Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar 
KORAN SINDO, 28 Maret 2013



Rencana unjuk rasa besar-besaran Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) pada Senin (25/3/2013) di Jakarta dan berbagai kota besar, ternyata hanya isapan jempol. 

Ada “lima tuntutan” MKRI kepada pemerintah, tetapi secara umum menyebut pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mampu melaksanakan amanah rakyat. Tidak membuat kehidupan rakyat lebih sejahtera dan tidak menunjukkan keseriusan memberantas korupsi. Isu akan ada “kudeta” terhadap pemerintahan SBY yang digaungkan kalangan Istana Negara, bisa disebut sebagai kepanikan dan ketakutan yang berlebihan. 

Jikapun itu hasil temuan intelijen, seharusnya Presiden SBY langsung saja memerintahkan kepolisian untuk menangkap komplotan yang akan mencoba melakukan kudeta (makar). Kata “kudeta” memang jadi “momok bagi demokrasi” yang dalam bahasa Prancis disebut coup d’etat dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai strike to the state, yang berarti: penggulingan kekuasaan terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Kudeta seperti yang terlihat di sejumlah negara butuh banyak syarat dan dukungan, misalnya ada kekuatan (bersenjata) yang bisa memaksa presiden turun takhta dengan alasan tidak lagi melaksanakan konstitusi. 

Tudingan akan ada kudeta terhadap pemerintahan SBY sepertinya “melawan kemustahilan” yang sudah diketahui jawabannya. Kudeta tidak terbukti, malah hanya menimbulkan desas-desus yang membuat rakyat ikut gerah. Ini merupakan kebiasaan lama SBY dalam mendekati rakyat dengan cara “curhat” atau keluhan. Lantaran seringnya SBY mengeluh ke publik, sepertinya tidak disadari membawa dampak buruk bagi kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya. 

Jebakan Kudeta 

Apakah unjuk rasa MKRI yang dipimpin Ratna Sarumpaet bisa disebut sebagai tindakan kudeta? Tentu saja bukan, apalagi unjuk rasa yang dihebohkan justru berubah menjadi aksi bagi-bagi sembako terhadap 5.000 warga di depan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. Tampaknya MKRI juga ikut “terjebak” oleh isu kudeta sehingga gentar mewujudkan rencananya melakukan unjuk rasa besar-besaran. Di belahan dunia demokrasi mana pun, unjuk rasa merupakan refleksi dari tuntutan rakyat yang tidak puas terhadap perkembangan kehidupan saat itu. 

Apalagik MKRI bukan organisasi yang mampu menggerakkan kekuatan besar—termasuk kekuatan bersenjata—untuk menjatuhkan presiden. Jika tuntutan mereka benar-benar menyentuh kepentingan rakyat, tentu tidak ada yang salah dengan gerakan unjuk rasa sebagai wujud penyampaian pendapat di muka umum, apalagi jika dilakukan secara konstitusional. Melihat unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa selama ini, sebetulnya tak jauh beda. 

Malah ada kemiripan tema, karena sering kali mahasiswa juga meminta agar SBY mundur lantaran tidak mampu melaksanakan amanah rakyat, termasuk pemberantasan korupsi yang dianggap diskriminasi, kecuali yang dilakukan KPK. Tetapi satu hal yang fantastis, pihak istana mampu “menjebak publik” dan MKRI melalui isu kudeta sehingga ada ketakutan terhadap dampak unjuk rasa besar-besaran. Tetapi begitu takutkah kita pada aksi unjuk rasa yang sebetulnya mengingatkan pemerintah agar konsisten melaksanakan amanah rakyat? Sepanjang dilakukan secara benar dan tidak anarki, unjuk rasa merupakan kebutuhan dalam negara demokrasi. 

Berlebihan 

Menghadapi isu unjuk rasa, polisi menyiapkan kendaraan taktis dan berjaga-jaga di sekitar istana, satuan Brimob Polri juga berjaga di sekitar Kedutaan Besar Amerika Serikat, Balai Kota DKI, hingga Tugu Tani dan Bundaran Hotel Indonesia. Jadi pertanyaan, apakah Jakarta akan sama kondisinya ketika unjuk rasa besar-besaran tahun 1998 yang membuat Soeharto “berhenti” dari jabatan Presiden? Melihat kondisi yang ada, aksi yang digagas tidak sama dengan aksi unjuk rasa tahun 1998 karena tidak diikuti oleh hampir semua komponen masyarakat. 

Terbukti, unjuk rasa yang dijanjikan MKRI batal digelar. Tetapi sebagai manusia, wajar saja Presiden SBY gerah dan merasa khawatir dengan isu kudeta. Pemerintahan SBY yang tinggal 1,5 harus dijaga dan tidak terjadi huru-hara politik yang bisa memengaruhi pelaksanaan pemilu 2014. Kemustahilan MKRI melakukan kudeta, terbaca pada keterbukaan menyampaikan rencana unjuk rasa ke ruang publik, bahkan menyampaikan rencana itu kepada kepolisian beserta agendanya. Makanya, publik merasa heran atas reaksi kalangan Istana yang terkesan berlebihan, kalau tidak dikatakan mustahil. 

Indonesia seolah digiring dalam kondisi yang tidak aman, padahal MKRI selaku inisiator begitu terbuka. Sekiranya kalangan Istana mencoba menggiring opini publik melalui prediksi yang terkesan tidak berdasar, dipastikan akan sia-sia. Belajar pada pengalaman selama ini, hampir semua yang dikeluhkan tidak terbukti dan membawa dampak bagi kestabilan negara. Rakyat sudah semakin mahir membaca trik perpolitikan negara yang kadang hanya “panas-panas tahi ayam”. Panas di awalnya tetapi sebetulnya tak bermakna. Jangan-jangan bayangannya sendiri, dan itu merupakan tipikal dan caracara lama yang sudah usang. 

Serangkaian pertemuannya Presiden SBY dengan sejumlah jenderal dan tokoh masyarakat, setidaknya menimbulkan kesimpangsiuran mengenai kondisi perpolitikan negeri ini, apalagi ditimpali akan ada kudeta oleh warga sipil. Ini kebiasaan buruk dan tampaknya menjadi salah satu sebab mengapa citra SBY dan pemerintahannya terus memburuk. Boleh jadi ini juga menjadi salah satu menyebab tingkat elektabilitas Partai Demokrat semakin merosot di mata publik. 

Jika unjuk rasa disebut sebagai upaya untuk melakukan kudeta, Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang melakukan penggulingan kekuasaan oleh warga sipil. Wajar jika banyak kalangan yang menjuluki SBY sebagai “presiden yang suka mengeluh”.  Maka itu, untuk mengakhiri masa pemerintahan dua periode, sebaiknya kebiasaan menyampaikan sesuatu yang tidak pasti kepada publik tidak diumbar sembarangan. 

Yang mestinya diapresiasi sebagai kondisi memburuk adalah masih besarnya kesenjangan antara kaya-miskin, jumlah pengangguran yang terus meningkat, serta para petani dan rakyat miskin semakin sengsara akibat naiknya harga bahan pokok. Bahkan, rakyat semakin gelisah karena “rasa aman” mereka tidak terjamin akibat merebaknya aksi kekerasan, seperti kekerasan dengan senjata api terhadap empat tahanan di lembaga pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar