Rencana
unjuk rasa besar-besaran Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) pada
Senin (25/3/2013) di Jakarta dan berbagai kota besar, ternyata hanya
isapan jempol.
Ada “lima
tuntutan” MKRI kepada pemerintah, tetapi secara umum menyebut
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mampu melaksanakan
amanah rakyat. Tidak membuat kehidupan rakyat lebih sejahtera dan tidak
menunjukkan keseriusan memberantas korupsi. Isu akan ada “kudeta”
terhadap pemerintahan SBY yang digaungkan kalangan Istana Negara, bisa
disebut sebagai kepanikan dan ketakutan yang berlebihan.
Jikapun itu
hasil temuan intelijen, seharusnya Presiden SBY langsung saja
memerintahkan kepolisian untuk menangkap komplotan yang akan mencoba
melakukan kudeta (makar). Kata “kudeta” memang jadi “momok bagi
demokrasi” yang dalam bahasa Prancis disebut coup d’etat dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai
strike to the state, yang
berarti: penggulingan kekuasaan terhadap pemerintahan yang sedang
berkuasa. Kudeta seperti yang terlihat di sejumlah negara butuh banyak
syarat dan dukungan, misalnya ada kekuatan (bersenjata) yang bisa memaksa
presiden turun takhta dengan alasan tidak lagi melaksanakan konstitusi.
Tudingan akan
ada kudeta terhadap pemerintahan SBY sepertinya “melawan kemustahilan”
yang sudah diketahui jawabannya. Kudeta tidak terbukti, malah hanya
menimbulkan desas-desus yang membuat rakyat ikut gerah. Ini merupakan
kebiasaan lama SBY dalam mendekati rakyat dengan cara “curhat” atau
keluhan. Lantaran seringnya SBY mengeluh ke publik, sepertinya tidak
disadari membawa dampak buruk bagi kepercayaan rakyat terhadap
kepemimpinannya.
Jebakan Kudeta
Apakah unjuk
rasa MKRI yang dipimpin Ratna Sarumpaet bisa disebut sebagai tindakan
kudeta? Tentu saja bukan, apalagi unjuk rasa yang dihebohkan justru
berubah menjadi aksi bagi-bagi sembako terhadap 5.000 warga di depan kantor
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. Tampaknya MKRI
juga ikut “terjebak” oleh isu kudeta sehingga gentar mewujudkan
rencananya melakukan unjuk rasa besar-besaran. Di belahan dunia demokrasi
mana pun, unjuk rasa merupakan refleksi dari tuntutan rakyat yang tidak
puas terhadap perkembangan kehidupan saat itu.
Apalagik MKRI
bukan organisasi yang mampu menggerakkan kekuatan besar—termasuk kekuatan
bersenjata—untuk menjatuhkan presiden. Jika tuntutan mereka benar-benar
menyentuh kepentingan rakyat, tentu tidak ada yang salah dengan gerakan
unjuk rasa sebagai wujud penyampaian pendapat di muka umum, apalagi jika
dilakukan secara konstitusional. Melihat unjuk rasa yang dilakukan
mahasiswa selama ini, sebetulnya tak jauh beda.
Malah ada
kemiripan tema, karena sering kali mahasiswa juga meminta agar SBY mundur
lantaran tidak mampu melaksanakan amanah rakyat, termasuk pemberantasan
korupsi yang dianggap diskriminasi, kecuali yang dilakukan KPK. Tetapi
satu hal yang fantastis, pihak istana mampu “menjebak publik” dan MKRI
melalui isu kudeta sehingga ada ketakutan terhadap dampak unjuk rasa
besar-besaran. Tetapi begitu takutkah kita pada aksi unjuk rasa yang
sebetulnya mengingatkan pemerintah agar konsisten melaksanakan amanah
rakyat? Sepanjang dilakukan secara benar dan tidak anarki, unjuk rasa
merupakan kebutuhan dalam negara demokrasi.
Berlebihan
Menghadapi
isu unjuk rasa, polisi menyiapkan kendaraan taktis dan berjaga-jaga di
sekitar istana, satuan Brimob Polri juga berjaga di sekitar Kedutaan
Besar Amerika Serikat, Balai Kota DKI, hingga Tugu Tani dan Bundaran
Hotel Indonesia. Jadi pertanyaan, apakah Jakarta akan sama kondisinya
ketika unjuk rasa besar-besaran tahun 1998 yang membuat Soeharto
“berhenti” dari jabatan Presiden? Melihat kondisi yang ada, aksi yang
digagas tidak sama dengan aksi unjuk rasa tahun 1998 karena tidak diikuti
oleh hampir semua komponen masyarakat.
Terbukti,
unjuk rasa yang dijanjikan MKRI batal digelar. Tetapi sebagai manusia,
wajar saja Presiden SBY gerah dan merasa khawatir dengan isu kudeta.
Pemerintahan SBY yang tinggal 1,5 harus dijaga dan tidak terjadi
huru-hara politik yang bisa memengaruhi pelaksanaan pemilu 2014.
Kemustahilan MKRI melakukan kudeta, terbaca pada keterbukaan menyampaikan
rencana unjuk rasa ke ruang publik, bahkan menyampaikan rencana itu
kepada kepolisian beserta agendanya. Makanya, publik merasa heran atas
reaksi kalangan Istana yang terkesan berlebihan, kalau tidak dikatakan
mustahil.
Indonesia
seolah digiring dalam kondisi yang tidak aman, padahal MKRI selaku
inisiator begitu terbuka. Sekiranya kalangan Istana mencoba menggiring
opini publik melalui prediksi yang terkesan tidak berdasar, dipastikan
akan sia-sia. Belajar pada pengalaman selama ini, hampir semua yang
dikeluhkan tidak terbukti dan membawa dampak bagi kestabilan negara.
Rakyat sudah semakin mahir membaca trik perpolitikan negara yang kadang
hanya “panas-panas tahi ayam”.
Panas di awalnya tetapi sebetulnya tak bermakna. Jangan-jangan
bayangannya sendiri, dan itu merupakan tipikal dan caracara lama yang
sudah usang.
Serangkaian
pertemuannya Presiden SBY dengan sejumlah jenderal dan tokoh masyarakat,
setidaknya menimbulkan kesimpangsiuran mengenai kondisi perpolitikan
negeri ini, apalagi ditimpali akan ada kudeta oleh warga sipil. Ini
kebiasaan buruk dan tampaknya menjadi salah satu sebab mengapa citra SBY
dan pemerintahannya terus memburuk. Boleh jadi ini juga menjadi salah satu
menyebab tingkat elektabilitas Partai Demokrat semakin merosot di mata
publik.
Jika unjuk
rasa disebut sebagai upaya untuk melakukan kudeta, Indonesia merupakan
negara pertama di dunia yang melakukan penggulingan kekuasaan oleh warga
sipil. Wajar jika banyak kalangan yang menjuluki SBY sebagai “presiden yang suka mengeluh”. Maka itu, untuk mengakhiri masa
pemerintahan dua periode, sebaiknya kebiasaan menyampaikan sesuatu yang
tidak pasti kepada publik tidak diumbar sembarangan.
Yang mestinya
diapresiasi sebagai kondisi memburuk adalah masih besarnya kesenjangan
antara kaya-miskin, jumlah pengangguran yang terus meningkat, serta para
petani dan rakyat miskin semakin sengsara akibat naiknya harga bahan
pokok. Bahkan, rakyat semakin gelisah karena “rasa aman” mereka tidak
terjamin akibat merebaknya aksi kekerasan, seperti kekerasan dengan
senjata api terhadap empat tahanan di lembaga pemasyarakatan Cebongan,
Sleman, Yogyakarta.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar