Kongres Luar Biasa PSSI, Minggu
(17/3) esok, diadakan terutama karena bayang-bayang sanksi FIFA membekukan
PSSI makin dekat. Andaikan tidak ada ancaman FIFA, KLB belum tentu
berlangsung.
KLB berlangsung bukan karena jasa
seseorang atau lembaga, dan juga bukan karena ada pihak-pihak yang
mengalah. Makanya, KLB kali ini layak ditambahi predikat ”KLBT” (KLB
Terpaksa).
Jangan salah paham, Menpora Roy
Suryo layak dipuji karena dalam waktu singkat mampu berperan sebagai katalisator
KLB. Sikap dan itikad dia terbukti mencairkan ketegangan PSSI-KPSI.
PSSI sebagai satu-satunya federasi
resmi yang diakui FIFA sejak awal juga menunjukkan niat baik mau
menyelesaikan kisruh sesuai arahan FIFA dan AFC. Sementara eksistensi KPSI
tak diakui FIFA.
Namun, mendadak terjadi konflik
internal PSSI yang tak mustahil menimbulkan deadlock di KLB. Kepemimpinan
Ketua Umum Djohar Arifin yang kurang tegas ikut memicu kedua konflik ini.
Konflik internal itu, pertama,
pembentukan Badan Tim Nasional yang tiba-tiba berkuasa penuh menggantikan
manajemen timnas. Kedua, pergantian sekretaris jenderal PSSI yang dilakukan
mendadak. Kedua konflik internal itu mungkin secara realistis boleh
dianggap normal. Akan tetapi, hal itu menimbulkan masalah baru karena
lagi-lagi menabrak aturan-aturan yang berlaku.
Padahal, kisruh sepak bola selama
hampir tiga tahun terakhir bersumber dari kebiasaan menabrak aturan.
Beberapa kali pelanggaran aturan itu bahkan dilakukan secara kasar, seperti
memalsukan dokumen-dokumen berisikan peraturan FIFA.
Empat agenda KLB sudah teramat
jelas dan nyaris tidak mungkin ditambahi atau dikurangi. Salah satu agenda
penting adalah menerima secara resmi empat anggota Komite Eksekutif yang
sebelumnya bermukim di KPSI.
Faktanya, mereka sudah ”balik
kandang” dan aktif mengikuti rapat-rapat Komite Eksekutif PSSI sebelum KLB
berlangsung. Apakah ini pelanggaran aturan, silakan Anda tafsirkan sendiri.
Sejak mereka balik kandang, KPSI
belum dibubarkan. Tidak ada aturan yang mengatakan KPSI harus dibubarkan
karena organisasi itu tidak legal atau tidak perlu digubris keberadaannya.
Namun, jangan sampai jika terjadi
deadlock saat KLB, keempat anggota Komite Eksekutif itu lalu kembali ke
KPSI. Ini sikap seenaknya sendiri.
Agenda penting lainnya, penyatuan
kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) dengan Liga Super Indonesia (LSI).
Harap digarisbawahi bahwa yang diminta bersatu FIFA adalah kedua kompetisi
ini, bukan organisasi PSSI dengan KPSI.
Penyatuan kompetisi tak semudah
membalikkan telapak tangan. Apalagi, baik LPI maupun LSI yang baru saja
bergulir tidak mungkin lagi dihentikan. Oleh sebab itu, rasanya penyatuan
kompetisi baru bisa dilakukan tahun depan. Bagaimana menyatukannya, banyak
orang pandai yang kelak menemukan formulasinya.
Akan tetapi, di balik penyatuan
kompetisi ini ada persoalan yang menjadi sumber kisruh: LSI. Inilah
kompetisi yang bergulir selama PSSI dipimpin Ketua Umum Nurdin Halid
sekitar delapan tahun.
Kompetisi ini sering diwarnai
kerusuhan, pengaturan skor, dan berbagai ekses negatif lainnya. Karena itu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan ”Reformasi Sepak Bola
Indonesia”.
Presiden memimpin reformasi ini
dengan sebuah kongres di Malang, Jawa Timur, Maret 2010. Tim yang dipimpin
Arifin Panigoro lalu menyiapkan ”Buku Putih Reformasi Sepak Bola
Indonesia”.
Intinya, kita ingin sepak bola
menjadi industri yang dijalankan secara profesional sesuai lima kriteria
FIFA/AFC sehingga kemudian dibentuk LPI untuk mengoreksi LSI.
Saat Nurdin memimpin PSSI, LPI
dianggap sebagai breakaway league yang tidak diakui FIFA dan AFC. Setelah
PSSI dipimpin Djohar, LSI yang dianggap sebagai liga ilegal.
Setelah Nurdin dilarang
mencalonkan diri lagi dan Djohar terpilih sebagai ketua umum, LSI menolak
melebur ke PSSI. Tidak ada penyerahan kewenangan LSI kepada PSSI yang baru,
apalagi pertanggungjawabannya oleh Nurdin.
Sempat dilakukan audit terhadap
LSI oleh lembaga auditor internasional. Namun, sampai kini hasil audit itu
tidak pernah dibuka kepada publik.
Lalu, tiba-tiba LSI dipayungi
organisasi yang bernama KPSI. Sejak itulah terjadi dualisme. Kalau menurut
PSSI hanya dualisme kompetisi, sedangkan menurut KPSI dualisme federasi.
Begitu hebatnya KPSI sehingga
mereka bisa melarang pemain-pemain LSI bergabung dengan timnas. Ini langkah
yang menimbulkan antipati masyarakat karena pemain dilarang membela lambang
negara Garuda serta bendera merah-putih.
Namun, sikap pemerintah tidak
pernah tegas. Jangankan memaksa KPSI menyerahkan pemain-pemainnya untuk
timnas, tak ada pernyataan yang memprihatinkan kondisi ini yang dilontarkan
Presiden, Menpora, Ketua KONI, atau Ketua KOI.
Tak heran muncul sinyalemen,
pemerintah berpihak kepada KPSI. Saat PSSI melaksanakan kongres di
Palangkaraya yang dihadiri utusan FIFA dan AFC, hotel tempat kongres
berlangsung disegel polisi, sedangkan kongres KPSI di sebuah hotel di
Jakarta malah tak dilarang.
Nah, begitulah kisah konyol kisruh
PSSI yang sudah berlangsung hampir tiga tahun. Terus terang saja,
masyarakat sudah penat menyaksikannya.
Kini muncul angin segar yang
membuat kita optimistis kisruh akan berakhir karena ancaman sanksi FIFA
makin nyata. ”KLBT” bisa saja berjalan mulus, tetapi bisa juga kacau.
Apalagi, kongres-kongres sebelumnya selalu diwarnai kekerasan. Ada
penyegelan polisi, intimidasi terhadap peserta, kongres yang ditutup untuk
peliputan pers. Ada peserta yang teriak histeris di depan kamera televisi
yang siaran langsung, ada yang siap baku hantam, ada yang mengerahkan
preman. Oh, ya, yang pasti selalu ada hujan interupsi.
Untuk
Anda semua saya ucapkan selamat menikmati KLB (Kejadian Luar Biasa).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar