Sabtu, 16 Maret 2013

KLB : Kejadian Luar Biasa


KLB : Kejadian Luar Biasa
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 16 Maret 2013


Kongres Luar Biasa PSSI, Minggu (17/3) esok, diadakan terutama karena bayang-bayang sanksi FIFA membekukan PSSI makin dekat. Andaikan tidak ada ancaman FIFA, KLB belum tentu berlangsung.
KLB berlangsung bukan karena jasa seseorang atau lembaga, dan juga bukan karena ada pihak-pihak yang mengalah. Makanya, KLB kali ini layak ditambahi predikat ”KLBT” (KLB Terpaksa).
Jangan salah paham, Menpora Roy Suryo layak dipuji karena dalam waktu singkat mampu berperan sebagai katalisator KLB. Sikap dan itikad dia terbukti mencairkan ketegangan PSSI-KPSI.
PSSI sebagai satu-satunya federasi resmi yang diakui FIFA sejak awal juga menunjukkan niat baik mau menyelesaikan kisruh sesuai arahan FIFA dan AFC. Sementara eksistensi KPSI tak diakui FIFA.
Namun, mendadak terjadi konflik internal PSSI yang tak mustahil menimbulkan deadlock di KLB. Kepemimpinan Ketua Umum Djohar Arifin yang kurang tegas ikut memicu kedua konflik ini.
Konflik internal itu, pertama, pembentukan Badan Tim Nasional yang tiba-tiba berkuasa penuh menggantikan manajemen timnas. Kedua, pergantian sekretaris jenderal PSSI yang dilakukan mendadak. Kedua konflik internal itu mungkin secara realistis boleh dianggap normal. Akan tetapi, hal itu menimbulkan masalah baru karena lagi-lagi menabrak aturan-aturan yang berlaku.
Padahal, kisruh sepak bola selama hampir tiga tahun terakhir bersumber dari kebiasaan menabrak aturan. Beberapa kali pelanggaran aturan itu bahkan dilakukan secara kasar, seperti memalsukan dokumen-dokumen berisikan peraturan FIFA.
Empat agenda KLB sudah teramat jelas dan nyaris tidak mungkin ditambahi atau dikurangi. Salah satu agenda penting adalah menerima secara resmi empat anggota Komite Eksekutif yang sebelumnya bermukim di KPSI.
Faktanya, mereka sudah ”balik kandang” dan aktif mengikuti rapat-rapat Komite Eksekutif PSSI sebelum KLB berlangsung. Apakah ini pelanggaran aturan, silakan Anda tafsirkan sendiri.
Sejak mereka balik kandang, KPSI belum dibubarkan. Tidak ada aturan yang mengatakan KPSI harus dibubarkan karena organisasi itu tidak legal atau tidak perlu digubris keberadaannya.
Namun, jangan sampai jika terjadi deadlock saat KLB, keempat anggota Komite Eksekutif itu lalu kembali ke KPSI. Ini sikap seenaknya sendiri.
Agenda penting lainnya, penyatuan kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) dengan Liga Super Indonesia (LSI). Harap digarisbawahi bahwa yang diminta bersatu FIFA adalah kedua kompetisi ini, bukan organisasi PSSI dengan KPSI.
Penyatuan kompetisi tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, baik LPI maupun LSI yang baru saja bergulir tidak mungkin lagi dihentikan. Oleh sebab itu, rasanya penyatuan kompetisi baru bisa dilakukan tahun depan. Bagaimana menyatukannya, banyak orang pandai yang kelak menemukan formulasinya.
Akan tetapi, di balik penyatuan kompetisi ini ada persoalan yang menjadi sumber kisruh: LSI. Inilah kompetisi yang bergulir selama PSSI dipimpin Ketua Umum Nurdin Halid sekitar delapan tahun.
Kompetisi ini sering diwarnai kerusuhan, pengaturan skor, dan berbagai ekses negatif lainnya. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan ”Reformasi Sepak Bola Indonesia”.
Presiden memimpin reformasi ini dengan sebuah kongres di Malang, Jawa Timur, Maret 2010. Tim yang dipimpin Arifin Panigoro lalu menyiapkan ”Buku Putih Reformasi Sepak Bola Indonesia”.
Intinya, kita ingin sepak bola menjadi industri yang dijalankan secara profesional sesuai lima kriteria FIFA/AFC sehingga kemudian dibentuk LPI untuk mengoreksi LSI.
Saat Nurdin memimpin PSSI, LPI dianggap sebagai breakaway league yang tidak diakui FIFA dan AFC. Setelah PSSI dipimpin Djohar, LSI yang dianggap sebagai liga ilegal.
Setelah Nurdin dilarang mencalonkan diri lagi dan Djohar terpilih sebagai ketua umum, LSI menolak melebur ke PSSI. Tidak ada penyerahan kewenangan LSI kepada PSSI yang baru, apalagi pertanggungjawabannya oleh Nurdin.
Sempat dilakukan audit terhadap LSI oleh lembaga auditor internasional. Namun, sampai kini hasil audit itu tidak pernah dibuka kepada publik.
Lalu, tiba-tiba LSI dipayungi organisasi yang bernama KPSI. Sejak itulah terjadi dualisme. Kalau menurut PSSI hanya dualisme kompetisi, sedangkan menurut KPSI dualisme federasi.
Begitu hebatnya KPSI sehingga mereka bisa melarang pemain-pemain LSI bergabung dengan timnas. Ini langkah yang menimbulkan antipati masyarakat karena pemain dilarang membela lambang negara Garuda serta bendera merah-putih.
Namun, sikap pemerintah tidak pernah tegas. Jangankan memaksa KPSI menyerahkan pemain-pemainnya untuk timnas, tak ada pernyataan yang memprihatinkan kondisi ini yang dilontarkan Presiden, Menpora, Ketua KONI, atau Ketua KOI.
Tak heran muncul sinyalemen, pemerintah berpihak kepada KPSI. Saat PSSI melaksanakan kongres di Palangkaraya yang dihadiri utusan FIFA dan AFC, hotel tempat kongres berlangsung disegel polisi, sedangkan kongres KPSI di sebuah hotel di Jakarta malah tak dilarang.
Nah, begitulah kisah konyol kisruh PSSI yang sudah berlangsung hampir tiga tahun. Terus terang saja, masyarakat sudah penat menyaksikannya.
Kini muncul angin segar yang membuat kita optimistis kisruh akan berakhir karena ancaman sanksi FIFA makin nyata. ”KLBT” bisa saja berjalan mulus, tetapi bisa juga kacau. Apalagi, kongres-kongres sebelumnya selalu diwarnai kekerasan. Ada penyegelan polisi, intimidasi terhadap peserta, kongres yang ditutup untuk peliputan pers. Ada peserta yang teriak histeris di depan kamera televisi yang siaran langsung, ada yang siap baku hantam, ada yang mengerahkan preman. Oh, ya, yang pasti selalu ada hujan interupsi.
Untuk Anda semua saya ucapkan selamat menikmati KLB (Kejadian Luar Biasa). ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar