Pada 25 Maret 1986, pelukis S.
Sudjojono meninggal dunia. Jenazah Bapak Seni Rupa Modern Indonesia ini
disemayamkan di rumahnya, di kawasan Pasar Minggu, Jakarta. Saya datang
melayat dan duduk dekat Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966-1977. Dalam
suasana hening, Bang Ali tiba-tiba berkata, “Kalau adik kenal dekat dengan Pak Djon, adik bisa memahami
konstelasi politik yang mengikat pikiran-pikiran keseniannya.”
Beberapa menit setelah itu, banyak tamu
berdatangan. Termasuk di antaranya Syahnagra, pelukis yang kemudian
menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Kepada Syahnagra, Bang Ali
menegaskan hal yang sama. “Dengan
memahami Pak Djon, adik bisa menghubungkan politik kebangsaan dengan
kesenian. Itu penting untuk generasi muda.” Bang Ali agaknya tidak
keliru.
Sindudarsono Sudjojono lahir di Kisaran,
Tebing Tinggi, Sumatera Utara, sebagai anak pasangan kuli kontrak,
Sindudarmo dan Mariyem. Penindasan politik Belanda menyebabkan ayah dan
ibunya tak sempat mengingat bulan dan tanggal lahir Sudjojono. Mungkin
Desember, barangkali Mei. Namun tahunnya agak diyakini, 1913. Mengingat
tanggal dan bulan yang tak jelas, Sudjojono lantas memutuskan, “Anggap saja saya lahir di sekitar
hari kematian saya. Kan beres.” Dengan begitu, pada Maret 2013 ini,
Sudjojono, penerima Anugerah Seni Republik Indonesia, bisa dibilang genap
100 tahun. Sebuah tanda waktu yang muncul lantaran politik pula.
Nasionalisme
Sudjojono
Sudjojono memang dikenal sebagai pelukis
yang mengobarkan nasionalisme sejak pertama kali berkiprah. Dan kobaran
itu senantiasa disertai politik kesenian yang tak henti menganjurkan
lahirnya “kesenian politis”, dengan spirit kebangsaan diangkat sebagai
rohnya.
Itulah sebabnya, pada 23 Oktober 1938,
berlokasi di Gang Kaji, Jakarta, Sudjojono dan kawan kawannya mendirikan
Persagi (Persatuan Ahli ahli Gambar Indonesia). Dalam perkumpulan ini,
Sudjojono, yang cakap berpikir dan menulis, berperan sebagai juru bicara.
Sedangkan yang duduk sebagai ketua adalah Agus Djaya. Persagi sangat
agresif dan memiliki dasar perjuangan jelas: mencari seni lukis berwatak
Indonesia. Persagi menganjurkan agar seniman jujur menggambarkan keadaan
Indonesia yang sesungguhnya.
Lewat Persagi, Sudjojono juga menolak
hegemoni selera ekspatriat dan turis asing yang datang dari Eropa. Sebab,
hegemoni itu melahirkan seni lukis yang semata-mata indah tapi dangkal,
aksi tapi miskin aspirasi. Seperti lukisan panorama yang mengandalkan
trimurti: gunung, pohon kelapa, dan sawah. Dan hegemoni selera itu
ditengarai dihela infrastruktur yang mendukung, seperti pedagang seni.
Lukisan seperti ini—yang dikerjakan Abdullah Suriosubroto, Basoeki
Abdullah, Ernest Dezentje, dan puluhan seniman lain—oleh Sudjojono diejek
sebagai Mooi Indie (Indonesia
Jelita). Ia menganggap dominasi selera ini membawa spirit pelukis Indonesia
tak lebih dari buruh yang mengkorup prinsip kesenian. Maka, dalam
artikelnya, ia pun menulis demikian:
Kalau ada seorang pelukis berani melukis
hal-hal lain dari trimurti tabel tadi, dan mencoba menjual
lukisan-lukisannya pada toko-toko gambar di sini, maka kata si pedagang, “Dat is niet voor ons, meneer.” (Ini bukan untuk kami, tuan.)
Maksud dia, “Dat is niet voor de
toeristen of de gepension-neerde Hollanders, meneer.” (Ini bukanlah bagi para wisatawan atau
orang Belanda yang sudah purnatugas, tuan.) Dan pelukis yang
demikian, kalau tidak mau dimakan penyakit tuberculose, lebih baik
menjadi guru atau mencari pekerjaan juru statistik....
Gelora
Kebangsaan
Sudjojono melahirkan Persagi pada momentum
yang tepat, yakni ketika jagat kenegaraan sedang menuntut anak Indonesia
melakukan gerakan politik besar. Sedangkan dinamika budaya dan pendidikan
ketika itu ia tangkap sebagai pemicu.
Pada pertiga awal abad ke-20, dunia
kebudayaan Indonesia memang sedang menggeliat untuk mencari bentuk. Di
era ini, pertukaran pikiran gencar terjadi, dan polemik dirancang untuk
dibuka. Hingga 1932, lantas muncul majalah (sastra) Pandji Pustaka, yang
menampung semua itu. Majalah ini merupakan jembatan menuju kelahiran
majalah kebudayaan lain yang lebih progresif, Pudjangga Baru, 1933.
Polemik kesastraan di sini jelas merangsang seniman seniman sektor lain,
seperti seni rupa, untuk ikut bertindak sama.
Kesadaran dan keterbukaan terhadap polemik
ini dilandasi faktor pendidikan yang dimotori perguruan Taman Siswa pada
1922, yang semangatnya diambil dari gerakan Boedi Oetomo 1908. Taman
Siswa didirikan sebagai jalan keluar setelah lembaga pendidikan
kebangsaan seperti badan politik Indische
Partij pimpinan Ki Hajar Dewantara ditutup pemerintah Belanda.
Dari faktor politik, lahirnya Persagi juga
distimulasi kelahiran partai partai kala itu. Pada tahun tahun tersebut,
muncul keberanian bangsa Indonesia untuk mendirikan organisasi politik,
seperti Gerindo (Gerakan Indonesia). Selain itu, munculnya Indonesia
Muda, yang merupakan peleburan dari jong jong (organisasi pemuda daerah),
seperti Jong Java, Jong Sumateranen, Jong Ambon, dan sebagainya.
Keberanian lain ditunjukkan oleh Sutardjo Hadikusumo, yang dengan tegas
menuntut Belanda untuk memberikan status dominion bagi Indonesia. Hal
lain yang tak boleh dilupakan adalah gema Sumpah Pemuda 1928.
Dari stimulasi kultural, intelektual, dan
politik itulah kesadaran Sudjojono meletup, dan Persagi dijadikan sebagai
motor. Persagi bubar ketika Jepang masuk. Tapi Sudjojono terus aktif dan
ikut menggerakkan Keimin Bunka Sidhoso. Pada era Indonesia merdeka, untuk
mendukung Presiden Sukarno, ia mendirikan SIM (Seniman Indonesia Muda) di
berbagai kota. Pada masa Orde Baru ia terus merekam situasi bangsa dalam
kanvas-kanvasnya.
“Tak
ada pelukis Indonesia yang sepenuhnya memberangkatkan diri dari pelabuhan
politik seperti Sudjojono. Tak percaya? Cermati lukisan-lukisan Pak Djon,
yang bukan sekadar hiburan,”
kata Bang Ali.
Lalu kita boleh mengingat karya Sudjojono
yang hebat: Mengatur Siasat (1964), Maka Lahirlah Angkatan 66 (1966),
Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterzoon Coen (1973), serta Suatu
Hari tanpa Hukum (1975), yang menggambarkan pemberontakan para kuli
kontrak di Sumatera pada zaman Belanda. Dan tentu Kawan-kawan Revolusi
(1947), yang menyebabkan Presiden Sukarno selalu bangga berpotret di
depannya, bagai terekam dalam foto amat terkenal jepretan Henri Cartier
Bresson. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar