JAMAK sekali terdengar suara
yang meneriakkan per juangan untuk melindungi petani, peternak, atau
produsen dalam negeri lainnya. Suara perjuangan itu sangatlah wajar.
Mereka menuntut agar impor dilarang atau dibatasi supaya produsen dalam
negeri lebih leluasa memasarkan hasil mereka dengan harga yang lebih
baik. Tuntutan itu juga sangat wajar dan dapat dimengerti.
Maka bergeraklah pemerintah dengan
menetapkan kuantitas barang yang boleh diimpor dalam satu tahun tertentu,
ditunjuklah importir-importir yang boleh mengimpor barang tersebut, dan
diberilah tiap importir itu jatah untuk mengimpor dengan total
keseluruhan tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan. Selesai, semua
beres.
Produsen dalam negeri terlindungi,
tuntutan-tuntutan pembela petani dan produsen dalam negeri juga
terpenuhi. Semua puas. Jeritan konsumen mengeluhkan harga-harga yang
tinggi memang sekalisekali juga terdengar, tetapi tidak mempunyai gema
yang menggegerkan.
Sekali-sekali terjadi pula kesalahan
perkiraan jumlah stok atau jumlah produksi, atau terjadi keterlambatan
mengimpor atau mengeluarkan barang dari pelabuhan, sehingga harga-harga
di dalam negeri melambung tinggi, seperti yang baru-baru ini dialami
daging sapi dan bawang baik merah maupun putih.
Jika itu terjadi, pemerintah buru-buru
bergerak menambah impor atau melepaskan barang impor yang tertahan, atau
mungkin sengaja ditahan, di pelabuhan. Barang-barang itu lantas mengalir
ke pasar dan harga diharapkan kembali `normal'. Sistem pembatasan
kuantitas impor (kuota impor) yang berlaku itu pun tetap berlaku.
Kelihatannya semuanya itu wajar dan
sederhana. Namun, apakah cara perlindungan produsen dalam negeri seperti
itu merupakan cara yang terbaik, ataukah ada cara lain yang lebih baik
untuk mencapai tujuan yang sama?
Sebetulnya ada pertanyaanpertanyaan lain
yang juga memerlukan jawaban. Salah satunya ialah apakah petani atau
peternak dalam negeri yang ingin dilindungi itu betulbetul merasakan
manfaat dari kebijakan pembatasan impor tersebut.
Siapa
Diuntungkan?
Setiap kebijakan yang membatasi
ketersediaan barang di dalam negeri pasti akan membebani konsumen karena
mereka harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Karena dalam setiap
kebijakan ekonomi itu pasti ada pihak yang diuntungkan dan ada pula pihak
yang dirugikan.
Dengan logika sederhana tanpa memerlukan
pengetahuan ilmu ekonomi yang rumit, dengan mudah dapat dilihat bahwa ada
perbedaan harga yang bisa cukup besar antara keadaan apabila impor tidak
dibatasi dan keadaan apabila impor dibatasi.
Misalnya, harga daging bisa berbeda
antara Rp40 ribu dan Rp80 ribu per kilogram (kg), dan harga bawang bisa berbeda
antara Rp20 ribu dan Rp50 ribu per kg. Dengan mudah pula kita lihat bahwa
contoh tadi menunjukkan harga daging di m luar negeri sekitar Rp40 ribu l
dan harga bawang Rp20 ribu per kg karena harga di dalam negeri pada
umumnya akan sama dengan harga di luar negeri apabila impor tidak
dibatasi.
Jadi, dengan kuota impor, para importir
yang diberi hak khusus untuk mengimpor membeli daging dan bawang di luar
negeri dengan harga Rp40 ribu untuk daging dan Rp20 ribu untuk bawang dan
menjualnya dengan harga Rp80 ribu dan Rp50 ribu. Jadi, keuntungan, yang
bisa luar biasa besarnya, diraup para importir yang diberi hak istimewa
untuk mengimpor itu!
Gambar di atas menunjukkan jika impor
tidak dibatasi, harga yang akan terjadi sama dengan harga produk impor,
yaitu P1. Pada harga itu, jumlah yang bisa disuplai produsen dalam
negeri, sesuai dengan kurva penawarannya, ialah Q1, dan kuantitas produk
impor yang dikonsumsi ialah Q4-Q1 (selisih antara Q4 dan Q1).
Apabila pemerintah menetapkan kuota impor
sebesar Q3-Q2, secara analisis itu berarti pergeseran kurva penawaran
(produk dalam negeri + impor) menjadi S1. Dengan demikian, harga akan
naik menjadi P2 dan kuantitas yang akan dibeli (dikonsumsi) ialah Q3,
yaitu pada pertemuan kurva permintaan dan kurva penawaran.
Dari jumlah itu, produsen dalam negeri
menyuplai Q2, dan dari impor akan disuplai sebesar kuota, yaitu Q3-Q2. Jelas
kelihatan berapa besarnya keuntungan yang diperoleh para importir
terpilih yang memperoleh jatah untuk mengimpor tersebut dengan kenaikan
harga dari P1 men jadi P2 karena biaya mereka ialah P1 dan mereka menjual
seharga P2. Dalam hal daging sapi, misalnya, selisih antara P2 dan P1
bisa mencapai Rp40 ribu atau lebih per kg dan kuantitas impor, Q3-Q2,
mencapai puluhan ribu ton, maka keuntungan yang diperoleh para importir
bisa mencapai Rp3 triliun atau Rp4 triliun dalam satu tahun!
Dalam grafik itu, keuntungan tersebut
ialah sebesar segi empat a-b-c-d. Sebagai catat TIYOK an, pemerintah
dapat pula membebani importir yang terpilih dengan biaya tertentu sesuai
dengan jatah kuota yang diperoleh sehingga keuntungan yang mereka peroleh
menjadi berkurang.
Sebagai catatan kedua, produsen dalam
negeri juga memperoleh keuntungan dengan kenaikan harga menjadi P2 dan
pada harga itu suplai mereka bertambah menjadi Q2. Namun, keuntungan
produsen dan kenaikan produksi dalam negeri tersebut memang merupakan
tujuan yang ingin dicapai dengan penerapan kuota impor itu.
Moral
Hazard
Di dalam ilmu ekonomi dikenal apa yang
disebut sebagai moral hazard
(`daerah' bahaya/rawan untuk terjadinya pelanggaran/penyelewengan) yang
mungkin terkandung di dalam peraturan-peraturan yang diberlakukan
pemerintah. Undang-undang atau peraturan yang baik ialah undang-undang
atau peraturan yang tidak mengandung moral
hazard.
Aturan mengenai kuota impor jelas
mengandung moral hazard! Dengan keuntungan luar biasa yang dapat
diperoleh para importir yang mendapat izin untuk mengimpor, pasti ada
perburuan untuk memperoleh izin impor itu.
Perburuan itu bukannya tidak mungkin
dengan menawarkan `bagi-bagi keuntungan' alias sogok kepada para pejabat
yang berwenang mengeluarkan izin serta membagi-bagi jatah kuota.
Selain kelemahan yang fatal dari sistem
kuota impor berupa moral hazard
tersebut, sistem kuota impor juga secara potensial dapat menimbulkan ketidakstabilan.
Penetapan besar-kecilnya kuota dan penyebarannya per kuartal atau per
bulan biasanya didasarkan pada besar-kecilnya stok dan produksi dalam
negeri.
Statistik mengenai stok dan produksi
dalam negeri itu bisa salah dan tidak up
to date. Apabila kesalahan data stok dan produksi dalam negeri itu
besar, besar pula kesalahan dalam menetapkan kuota impor untuk masa
tersebut, dan kesalahan tersebut akan berakibat fluktuasi harga yang
besar pula.
Pembebanan
Bea Masuk
Tujuan yang sama seperti yang ingin
dicapai dengan kuota impor sebetulnya bisa dicapai dengan kebijakan
pembebanan bea masuk. Bedanya ialah dalam sistem kuota impor, keuntungan
diberikan kepada pada importir, sedangkan pada kebijakan bea masuk,
jumlah yang lebih-kurang sama akan masuk ke kas negara berupa bea masuk!
Dengan gamblang dapat dilihat bahwa hasil
yang dicapai dengan sistem bea masuk itu untuk tujuan perlindungan produk
dalam negeri persis sama dengan sistem kuota impor.
Sistem bea masuk juga mempunyai kelebihan
lain jika dibandingkan dengan sistem kuota impor, yaitu bahwa pemerintah
tidak perlu repotrepot (dengan biaya tinggi) memperkirakan secara cermat
jumlah stok dan produksi (yang ternyata bisa salah) serta menentukan
jumlah yang harus diimpor.
Jiwa bisnis para pedagang, importir, dan
produsen akan dengan cermat memantau berapa dan di mana produk
bersangkutan dibutuhkan, dan mereka akan melakukan langkah-langkah
bisnisnya sesuai dengan hasil pemantauan-nya.
Dengan demikian, kecil kemungkinannya
akan terjadi lonjakan-lonjakan harga. Selain dari itu, apabila pemerintah
ingin menaikkan atau menurunkan tingkat perlindungan terhadap produksi
dalam negeri, hal itu dengan mudah dapat dilakukan dengan menaikkan atau
menurunkan tarif bea masuk.
Penaikan atau penurunan tarif bea masuk
itu dapat pula dilakukan untuk menetralkan fluktuasi harga di luar
negeri, agar harga di dalam negeri tetap stabil. Begitu gamblang dan
begitu sederhana, tetapi apa gerangan pertimbangan yang dipakai untuk
memilih sistem kuota impor? Wallahualam
bisawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar