Hampir setiap hari sejak beberapa bulan
terakhir, kita dibombardir berita korupsi dari kelas kakap hingga kelas
teri. Di satu sisi, berita-berita tersebut justru menimbulkan frustrasi
ketimbang harapan. Kepercayaan masyarakat jadi makin surut pada
institusi-institusi di negeri ini.
Secara umum, penjelasan para ahli
mengenai korupsi dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, teori
kesempitan yang mengatakan bahwa orang melakukan korupsi karena gajinya
kecil, pendapatannya rendah, hidupnya susah, dan kebutuhan banyak. Maka,
solusinya, menurut teori ini, kesejahteraan perlu ditingkatkan dan gaji
dinaikkan.
Teori kedua boleh kita namakan teori
kesempatan. Menurut teori ini, orang melakukan korupsi karena adanya kesempatan.
Namun, teori ini pun bermasalah seperti halnya teori pertama. Apakah
semua orang yang punya kesempatan pasti korupsi? Bukankah pada kenyataannya
tidak sedikit orang berkesempatan korupsi, tetapi tidak melakukannya?
Adapun yang ketiga adalah teori
kelemahan. Pendukung teori ini percaya bahwa tindak korupsi merebak
akibat lemahnya tata kelola pemerintahan, sarana penegakan hukum,dan mekanisme
pengawasan. Namun, teori ini pada gilirannya terjebak dalam logika
muter-muter bahwa korupsi disebabkan oleh pemerintahan yang lemah sedangkan
pemerintahan yang lemah disebabkan oleh korupsi.
Perspektif
Agama
Korupsi adalah tindakan curang untuk
mendapatkan uang ataupun keuntungan dengan cara menyalahi, melangkahi,
dan mengakali aturan hukum dan undang-undang negara. Perbuatan yang masuk
korupsi adalah memberi dan menerima suap, mencuri atau menggelapkan,
melakukan pemalsuan, pemerasan, dan menyalahgunakan wewenang atau
jabatan. Semua praktik tersebut hukumnya jelas haram.
"Siapa bertindak curang (yakni
korupsi), niscaya datang dengan kecurangannya itu pada hari kiamat kelak,"
firman Allah dalam Alquran (3: 161). Menurut Imam Ar Razi, curang di sini
maksudnya mengambil hak (milik negara) secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi
(at-Tafsir al-Kabir, cetakan Beirut 2005, jilid 3, juz 9, halaman 62).
Kalau secara normatif agama begitu
gamblang hukumnya, lantas mengapa faktanya kejahatan korupsi begitu sukar
untuk dihentikan? Apabila kita cermati secara mendalam, niscaya jelas
bahwa korupsi itu nyaris tidak ada hubungan- nya dengan status agama
pelakunya. Tindakan korupsi lebih erat kaitannya dengan soal mentalitas
daripada identitas agama.
Sebagaimana halnya kebersihan,
kedisiplinan dan kerja keras lebih banyak ditentukan oleh sikap dan watak
individu ketimbang afiliasi ideologinya. Sabda Nabi SAW, "Manusia
itu ibarat logam. Kalau aslinya emas, apa pun bentuknya--cincin, kalung,
ataupun gelang--tetap emas." Jika seseorang itu dasarnya baik,
rajin, dan jujur, dia akan menjadi Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha
yang baik, rajin, dan jujur. Sebaliknya, jika wataknya buruk, licik, dan
pemalas, apa pun agamanya akan tetap jahat dan buruk perangainya.
Memang betul, manusia bukanlah logam.
Manusia lahir asalnya bersih. Tidak ada bayi baru lahir langsung jadi
koruptor. Kejahatan dan sifat-sifat tercela seperti halnya akhlak terpuji
diperoleh dari lingkungan sosial dan intelektualnya. Jadi, tak salah
kalau disimpulkan bahwa korupsi itu hasil pembelajaran, pergaulan, dan
pendidikan. Di sinilah langkah konkret pemerintah (Kemendikbud) bersama
KPK memperkenalkan mata pelajaran dan mata kuliah antikorupsi di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi patut dipuji dan didukung sepenuh
hati.
Betapa besar pengaruh pendidikan terhadap
korupsi telah lama disinyalir oleh Ibn Khaldun, pakar sosiologi dan
sejarawan Muslim klasik. Masyarakat yang sekian lama mengalami penindasan
dan kekerasan biasanya akan menjadi bangsa yang korup. Kezaliman dan
penindasan menyempitkan jiwa, menguras semangat, dan akhirnya membuat
mereka jadi bangsa pemalas, pembohong, dan licik.
Meski berlawanan dengan
hati nurani, hal itu dilakukan juga demi menghindari penindasan yang
lebih berat dari penguasa. Lama-kelamaan, berbuat jahat dan menipu
melekat jadi kebiasaan dan ka - rakter mereka.
Namun, di samping langkah-langkah legal,
politis, dan edukatif, pencegahan korupsi juga perlu menggunakan pendekatan
spiritual agama. Kalau Anda puasa, jangankan yang haram, yang halal pun
tidak Anda makan. Sementara, yang tidak puasa punya pilihan memakan yang
halal saja, yang syubhat (belum tentu halal dan boleh jadi haram), atau
bahkan yang haram.
Pada akhirnya, semua ini kembali pada sikap.
Menurut Imam al-Ghazali, paling utama
sikap orang saleh adalah wara'
yang menjauhi semua kategori karena zuhud. Yang pertengahan itu sikap orang bertakwa yang
menghindari syubhat dan menolak
yang haram. Yang paling rendah adalah sikap tidak peduli halal haram dan
sebagainya. Inilah resep Imam al-Ghazali untuk pendidikan antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar