Jumat, 29 Maret 2013

Memahami Nasib Berbeda Dua Partai Korup


Memahami Nasib Berbeda Dua Partai Korup
Bawono Kumoro ;  Peneliti Politik the Habibie Center
SINAR HARAPAN, 28 Maret 2013

  
Dua partai politik yang tengah dilanda badai politik hebat akibat perilaku korup sejumlah elite mereka, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menuai hasil berbeda dalam dua ajang pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).

Jika dalam pemilukada provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara calon kepala daerah yang diusung PKS berhasil meraih kemenangan, nasib berbeda dialami Partai Demokrat. Calon-calon kepala daerah dari Partai Demokrat tersungkur di dua pemilukada tersebut.

PKS baru saja meraih sukses di pemilukada provinsi Jawa Barat. Pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar keluar sebagai pemenang mengalahkan pasangan kandidat lain. Agaknya hasil positif serupa juga akan diraih PKS dalam pemilukada Sumatera Utara.

Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei mendaulat pasangan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi sebagai pemenang dalam pemilukada Provinsi Sumatera Utara, Kamis (7/3). Pasangan nomor urut lima yang diusung PKS menjadi satu-satunya pasangan yang memperoleh suara di atas 30 persen.

Mengapa dua partai politik yang saat ini sedang menghadapi cobaan maha berat berupa kasus korupsi tersebut menuai hasil berbeda?

Apakah kesuksesan PKS pada pemilukada di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara menunjukkan mereka memiliki kemampuan lebih baik dalam memulihkan citra diri disbanding Partai Demokrat? Bagaimana memahami nasib berbeda yang dialami kedua partai politik tersebut?

Faktor Incumbent

Jika ditelaah secara kritis keberhasilan PKS memenangkan pemilukada Jawa Barat dan Sumatera Utara sesungguhnya bukanlah hal istimewa.

Tidak istimewa lantaran calon-calon kepala daerah yang mereka usung dalam dua pemilukada tersebut merupakan kandidat yang sedang menjabat (incumbent). Secara politik kemenangan incumbent dalam ajang pemilukada merupakan hal biasa, tidak mengejutkan, dan dapat dimengerti.

Peluang incumbent untuk memenangkan pemilukada dapat dikatakan sangat besar. Sebagai contoh data pemilukada kurun Juni 2005-Desember 2006 menunjukkan, dari 230 kepala daerah incumbent yang maju kembali sebagai calon kepala daerah dalam pemilukada ada 143 orang (62,17 persen) yang terpilih kembali. Sementara itu, 87 orang (37,83 persen) kalah dari para penantang mereka.

Besarnya peluang incumbent untuk terpilih kembali tidak dapat dilepaskan dari keuntungan yang dimiliki kepala daerah bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung. Popularitas sebagai kepala daerah yang sedang menjabat merupakan keuntungan langsung yang dimiliki incumbent.

Tidak dapat dipungkiri popularitas merupakan modal utama bagi seorang kandidat yang hendak maju dalam kontestasi pemilihan langsung seperti pemilukada. Sebagus apa pun kualitas seorang kandidat tidak akan banyak membantu jika ia tidak dikenal pemilih secara luas.

Selama lima tahun menjabat sebagai kepala daerah sepak terjang incumbent hampir tidak pernah luput dari sorotan lensa kamera pemberitaan media massa. Hal ini tentu berdampak terhadap tingkat pengenalan atau popularitas dirinya di mata publik. Keuntungan ini jelas tidak dimiliki kandidat-kandidat lain selaku penantang.

Apalagi jika si penantang tidak pernah menduduki jabatan-jabatan publik. Kalau pun para penantang pernah menduduki jabatan publik dan masuk dalam sorotan media massa dalam kurun waktu lima tahun terdahulu, dapat dipastikan porsi liputan media massa terhadap dirinya tidak sebesar porsi liputan terhadap incumbent.

Sementara itu, di luar keuntungan langsung berupa popularitas ada juga keuntungan tidak langsung yang dimiliki incumbent. Keuntungan ini tidak kalah penting dari keuntungan langsung sehingga turut memiliki andil bagi keterpilihan kembali seorang incumbent dalam pemilukada.

Keuntungan tidak langsung berupa keuntungan finansial. Berbagai keperluan finansial semacam biaya komunikasi dan perjalanan untuk bertemu masyarakat luas dapat ditutupi menggunakan anggaran daerah yang memang telah disediakan untuk mendukung tugas-tugas sebagai kepala daerah. Lebih dari itu seorang incumbent juga dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang lain, seperti kendaraan dinas.

Dengan berbagai kemudahan finansial tersebut seorang calon kepala daerah yang sedang menjabat memiliki kesempatan melakukan kampanye secara terus menerus sepanjang waktu selama masa jabatan berlangsung. Calon-calon lain harus menunggu ditetapkannya masa kampanye resmi oleh komisi pemilihan umum.

Fenomena melakukan kampanye sepanjang waktu selama masa jabatan berlangsung sebagaimana dilakukan incumbent telah mengundang perhatian praktisi marketing politik. Dan Nimmo mengistilahkan kampanye politik semacam ini sebagai kampanye permanen (Dan Nimmo, 2001).

Istilah kampanye permanen dipilih karena seluruh aktivitas incumbent tidak lain merupakan kegiatan kampanye.

Ketika mereka menjalankan aktivitas dan tugas-tugas pemerintahan, seperti meresmikan fasilitas publik dan mengunjungi masayarakat di desa, pada saat bersamaan secara tidak langsung sesungguhnya mereka juga sedang melakukan kampanye. Berbagai aktivitas itu dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengemas dan menjual diri kandidat.

Jika kandidat-kandidat lain hanya melakukan kampanye dalam beberapa pekan menjelang hari pemilihan, seorang incumbent melakukan kampanye selama lima tahun masa jabatannya. Oleh karena itu, bukan hal istimewa dan mengejutkan jika potensi kemenangan seorang incumbent jauh lebih besar daripada kandidat-kandidat lain yang notebene pendatang baru.

Regulasi Hukum

Berbagai keuntungan yang dimiliki incumbent sebagaimana penulis paparkan di atas telah sejak lama menjadi perhatian para ilmuwan politik di berbagai negara, termasuk di negara dengan demokrasi mapan seperti Amerika Serikat. Fenomena keikutsertaan incumbent dalam sebuah pemilihan langsung mengundang berbagai kritik dan gugatan.

Para ilmuwan politik menilai keberadaan incumbent membuat kompetisi berlangsung secara tidak seimbang dan tidak fair. Ibarat sebuah lomba balap lari, incumbent tidak mengawali lomba dari garis start yang sama dengan kandidat-kandidat lain.  

Oleh karena itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah (baca: Kementerian Dalam Negeri) dan DPR untuk melakukan penyempurnaan regulasi hukum yang dapat membuat pelaksanaan pemilukada berlangsung lebih fair.

Memang, selama ini telah ada sejumlah upaya menuju ke arah itu, seperti keharusan bagi incumbent untuk cuti selama masa kampanye pencalonan diri kembali. Peraturan mengenai hal itu tertuang dalam Pasal 79 Ayat 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Pasal 61 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah.

Keharusan cuti itu dimaksudkan agar setiap kandidat medapatkan perlakuan sama. Akan tetapi, regulasi itu masih belum secara maksimal menyentuh hal-hal substansial yang dapat membuat pelaksanaan pemilukada berlangsung secara fair dan seimbang.

Padahal, sebagaimana dikatakan Dan Nimmo, kampanye yang dilakukan incumbent sejatinya merupakan kampanye permanen karena dilakukan sepanjang masa jabatannya. Dengan demikian upaya untuk membuat pelaksanaan pemilukada menjadi lebih fair dengan mengharuskan incumbent mengambil cuti selama masa kampanye menjadi tidak berarti sama sekali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar