Isu
kudeta yang digulirkan elite politik dan disiarkan media massa ternyata
mempunyai dampak yang luar biasa. Tidak saja para pejabat tinggi yang
memberikan komentar menyangkal adanya kudeta itu, tetapi juga masyarakat
yang harap-harap cemas. Kecemasan masyarakat itu beralasan, harga
kebutuhan sehari-hari, seperti bawang, melonjak naik, bagaimana jika
terjadi kudeta? Pemikiran pragmatis memang, tetapi nyata terjadi.
Mencermati
isu kudeta memang penting. Tetapi, isu itu tidak akan mempunyai harga
sama sekali kalau tidak ada peran media. Dengan kata lain, menjadi
penting dan berharga atau tidak isu kudeta itu sangat ditentukan
bagaimana media mengemasnya. Mengapa media? Mengapa presiden perlu
mengatakan bahwa ada sekelompok orang yang akan mengguncang
pemerintahannya kepada media massa?
Pertama,
presiden dalam keadaan cemas melihat gerakan- gerakan perlawanan yang
mengarah pada penuntutan dirinya mundur. Sebenarnya, ketidakpuasan pada
pemerintah sudah ada sejak lama. Kedua, presiden sedang bermain
dadu, siapa tahu dengan melontarkan menggoncang pemerintahan (baca: isu
kudeta) semua akan terbuka. Dengan kata lain, siapa kawan dan siapa lawan
(dalam politik) akan terlihat. Komentar-komentar yang bermunculan
mengindikasikan siapa yang berada di pihak presiden dan siapa yang
menentang. Di samping itu, isu kudeta tersebut juga sebagai salah
satu upaya agar `macan yang selama ini tidur' bisa diketahui
keberadaannya untuk persiapan antisipasi keadaan.
Yang
menarik dari kenyataan di atas bukan pada pernyataan presiden, tetapi
mengapa presiden mengemukakannya ke publik, dan mengapa pula media massa
dibiarkan untuk menyebarkannya? Dalam hal ini kita patut mengungkapkan
satu fakta akan kekuatan dari media massa. Kata Marshall McLuhan, media
massa itu the extension of man
(penyebarluasaan hasrat, keinginan seseorang). Media massa mempunyai
fungsi seperti manusia dalam skala yang lebih luas. Jika manusia bisa
berkomunikasi, media massa juga demikian, bahkan dalam skala yang lebih
luas. Jika manusia bisa memerintah, media juga bisa, bahkan dalam cakupan
yang lebih besar. Inilah kekuatan media massa.
Jika
apa yang dilakukan oleh presiden itu sebuah kecemasan karena akan ada
kudeta, berarti media massa mempunyai fungsi sebagai anjing yang bertugas
mengendus berbagai masalah yang selama ini belum terungkap ke permukaan.
Mengapa begitu? Karena, daya endus media massa lebih tajam.
Ini sama dengan polisi yang mencari para tersangka teroris. Kalau mencari
sendiri, sangat mungkin mereka akan mengalami kesusahan. Jika keinginan
itu diberitakan lewat media massa, masyarakat yang membaca dan melihat tersangka
teroris yang dimaksud bisa ikut mengawasi dan melaporkan kepada pihak
yang berwenang.
Komoditas
Kalau
kenyataannya bahwa media massa telah digunakan oleh presiden atau elite
politik untuk meraih tujuan, apakah media massa telah menjual diri kepada
`penguasa'? Nanti dulu. Tanpa presiden mempunyai kepentingan kepada media
massa, segala sesuatu yang berhubungan dengan kepala negara jelas
mempunyai nilai berita (news value).
Dari
kenyataan ini, media massa tidak berada dalam posisi bersalah karena me
mang ada nilai berita dari apa yang dikatakan elite politik. Jika ada
politisi mengatakan "saya tidak korupsi," itu juga fakta berita
dan mempunyai nilai berita, entah yang dikatakan politisi itu benar atau
salah. Yang jelas, ada fakta, ada seorang politisi mengatakan bahwa ia
tidak korupsi. Lalu bagaimana agar media tidak menjadi `alat' untuk
meraih tujuan-tujuan terselubung para elite politik?
Media
tentu mempunyai pilihan-pilihan dalam memberitakan sebuah fakta, mengapa ia
memilih berita ini dan mengapa tidak memilih berita itu. Media jelas
mempunyai pilihan berdasarkan kepentingan, tujuan, dan target media itu
sendiri. Makanya, ada media yang pekerjaannya `menyiarkan seremonial'
partai tertentu karena memang milik `penguasa' partai tertentu, ada juga
yang kritis. Ini menyangkut kepentingan media dan semua media mempunyai
kecenderungan seperti ini.
Ignas
Kleden (1987) bahkan pernah mengungkapkan, "Sebuah koran (baca juga:
media elektronik) tidak dapat `bebas nilai'." Setiap penerbitan
surat kabar mempunyai seperangkat nilai yang menjadi preferensinya, baik
sebagai dasar visi dan posisi yang hendak dibelanya, maupun sebagai
kriteria untuk melakukan kriteria terhadap diri sendiri.
Adalah
preferensi nilai yang menentukan mengapa suatu kejadian diberitakan
secara singkat dan mengapa pula berita satu diberi konteks `a', sedang
yang lain diberi konteks `b'. Dengan lain perkataan, preferensi nilai
adalah unsur kontributif yang menentukan watak dan kepribadian suatu
pemberitaan.
Namun
demikian, media tentu tidak boleh menjadi alat untuk komoditas politik
elite politik. Jika media tidak mempunyai sikap, ia hanya akan menjadi
agen `penjualan' berita. Sebut saja dengan istilah komoditas berita
`pesanan'. Siapa yang membayar, itulah yang akan diberitakan. Jika sudah
demikian, independensi untuk meraih reputasi media di mata pembaca atau
audiens akan mengalami kemerosotan.
Bagaimana
agar media bisa mempunyai reputasi yang tinggi? Media harus memberitakan
sesuatu yang bermakna. Sesuatu yang bermakna itu adalah media bukan
sekadar memberitakan fakta linier tetapi fakta yang menyeluruh dan
mencakup. Misalnya, media memberitakan proses latar belakang, proses dan
riwayatnya, dan mengait kannya dengan yang lain.
Dengan
cara seperti itu, sebuah berita bukan sekadar informasi tentang fakta
telanjang, tetapi sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna
dari peristiwa. Pencarian makna berita serta penyajian makna berita
itulah yang masih menjadi pekerjaan rumah dan tantangan media saat ini.
Jika media melakukan peliputan bermakna sebagaimana di atas, ia akan
terhindar dan tertuduh sebagai agen komoditas fakta-fakta politik untuk
tujuan-tujuan politik sesaat pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar