Rabu, 13 Maret 2013

TNI dan Polri Berbedalah


TNI dan Polri Berbedalah
Adrianus Meliala   Kriminolog FISIP UI;
Komisioner pada Komisi Kepolisian Nasional
MEDIA INDONESIA, 13 Maret 2013


SERIBU analisis bisa diajukan dalam menanggapi penyerangan anggota TNI ke kantor polisi di Sumatra Selatan, beberapa hari lalu. Itu menggambarkan betapa multidimensinya insiden tersebut ataupun insiden-insiden sejenis pada masa lalu. Analisis perihal perlunya mendiferensiasi TNI dan Polri secara maksimal, mungkin, ialah analisis ke1.001 yang mafhum bahwa kasus tersebut memiliki lebih dari satu dimensi, demikian pula lebih dari satu kemungkinan solusi.

Apa maksud dari mendiferensiasi TNI dan Polri? Apa memang selama ini keduanya sama sehingga perlu dibedakan? Penulis berpendapat, secara internal, TNI dan Polri tidak atau belum cukup keras mengupayakan pembedaan di antara keduanya. Sepuluh tahun terpisah ternyata belum cukup menjadikan keduanya berbeda total. Sebaliknya, pihak-pihak di luar kedua lembaga itu juga kerap memandang keduanya dalam satu perspektif saja.

Ujung-ujungnya, personel kedua lembaga itu menjadi gampang saling membandingkan, saling menilai, dan khususnya jika terdapat anggapan bahwa terdapat ketidakadilan bagi salah satu pihak. Hal itu menjadi awalan atau predisposisi bagi lahirnya konflik, yang tinggal membutuhkan pencetus sepele saja.

Polri

Sebagai pihak yang awalnya ingin bercerai dari ABRI, kuat diperkirakan Polri-lah yang akan mengubah diri secara total sehingga terbedakan secara signifikan dari TNI (nama yang digunakan setelah Polri keluar dari ABRI). Benar bahwa telah terdapat banyak hal yang berubah dalam Polri selama satu dekade lebih sejak muncul Tap VII dan Tap VIII MPR Tahun 2000, khususnya menyangkut pemisahan Polri dan TNI ataupun sejak diundangkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Walau demikian, tidak juga bisa dimungkiri bahwa, dalam banyak hal lain, kita tetap susah membedakan keduanya.

Sebagai contoh, misalnya menyangkut tata upacara Polri, struktur kepangkatan (bukan nama), ketentuan atribut seragam, surat-menyurat, tata komunikasi internal, dan modus beberapa operasi kepolisian (seperti senjata yang dimiliki dan pergerakan pasukan). Menyangkut hal-hal tersebut, masyarakat kerap sulit membedakan, apa bedanya polisi dan tentara? “Katanya polisi sudah menjadi sipil, kok masih seperti militer?“ Itu pernyataan yang umum diungkapkan berbagai kalangan tentang kepolisian.

Kepolisian, dalam hal-hal tersebut, seolah kehilangan daya kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, ada kemungkinan mereka merasakan hal itu sebagai zona yang nyaman (comfort zone) untuk diubah. Itulah sebabnya keinginan sementara pihak agar Polri memotong jumlah pang kat, melakukan penerimaan personel satu pintu, mengu rangi atribut di seragam, dan mengubah tata upacara selalu saja gagal.

Lebih substansial daripada sekadar ubah-mengubah ialah masih ada saja kalangan dalam Polri yang menjadikan TNI sebagai referensi, baik terkait dengan kegiatan perencanaan, pengembangan organisasi, pola pendidikan, maupun pelaksanaan tugas pokok. Bahkan tidak hanya sebagai referensi, banyak juga polisi yang melihat TNI sebagai pembanding atau komparasi dalam rangka, sebagai contoh, perlakuan terhadap anggota yang berprestasi dan sebagainya.

TNI

Seperti juga Polri, TNI pun relatif malas melihat kenyataan bahwa keduanya mirip air dan minyak yang berbeda tugas pokok dan fungsi sehingga tidak bisa diperbandingkan. Repotnya, alih-alih mengubah diri dengan cara mencari benchmark (target untuk dicapai) baru, khususnya yang berasal dari luar negeri, tetap saja yang lebih kuat ialah cara pandang yang justru lebih `menekan' Polri agar tidak `bersaing' dengan TNI. Sebagai contoh, agar Polri secara struktural berada di bawah Kemendagri dan jangan di bawah presiden, agar bukan hanya Polri yang perwiranya sudah sarjana semua, agar Polri tidak boleh pamer kekayaan, dan sebagainya.

Memang, secara realitas, TNI menghadapi masalah berat mengingat tidak boleh lagi berpolitik dan berbisnis. Dengan kata lain, mereka masuk wilayah sipil dan harus kembali ke `barak'. Padahal, markas-markas tentara pun mengalami masalah keterbatasan anggaran dan peralatan. Mengubah kebijakan untuk weapon-heavy ketimbang personnel-heavy juga tidak mudah mengingat pengembangan dan pemeliharaan alat utama sistem senjata (alutsista) konon lebih mahal daripada merekrut 1.000 prajurit. Demikian pula tidak mudah (minimal secara politik) untuk mengurangi komando teritorial (koter) dan memfokuskan komando tempur, yang justru lebih diperlukan dalam rangka meningkatkan kemampuan penangkalan.

Masalahnya, jumlah personel yang banyak tetapi menganggur karena tidak ada perang serta tidak ada peluru dan per alatan yang bisa digunakan memang memusingkan. Di pihak lain, menambah koter ataupun menaikkan strata koter (kini sudah ada korem dengan komandan berpangkat brigjen) dapat menjadi wadah penugasan baru bagi anggota yang performanya sudah turun. Permasalahannya, semakin banyak koter, semakin tinggi pula kemungkinan `pergesekan' dengan jajaran kepolisian.
Walau demikian, pemerintah tampak memberi angin segar bagi peningkatan kesejahteraan prajurit. Remunerasi yang diterima anggota TNI empat kali lebih banyak daripada anggota Polri dengan pangkat yang sama. Namun sayang, hal itu tidak dilihat sebagai pengimbang. Yang lebih banyak dipersepsikan dari Polri ialah Polri bisa menjadi backing pengusaha, bisa memeras, bisa `melipat' perkara, dan sebagainya. Dengan kata lain, yang `diidolakan' bawahan lebih terkait dengan praktik buruk ketimbang sebaliknya.

Eksternal

Kontribusi pihak eksternal sama saja pada kekacauan persepsi anggota TNI dan Polri. Banyak pihak, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyebut kedua lembaga itu dalam satu napas. Jadi, bukannya disebut TNI dan Polri, melainkan TNI-Polri. Belum lagi dengan hal-hal lain, mulai yang bersifat simbolis hingga yang substansial. Katakanlah, tempat berdiri Kapolri dan Panglima TNI yang berjajar di samping presiden, pengambilan sumpah lulusan Akmil dan Akpol secara bersamaan, dan banyak lagi.

Demikian pula berbagai produk hukum juga kerap menyandingkan keduanya. Seperti halnya Inpres No 1/2013 yang memberi ruang bagi tentara untuk menangani gangguan keamanan dalam negeri. Hal itu tentu berpotensi kembali memperkuat persepsi masyarakat bahwa TNI dan Polri adalah saudara kembar.

Di tingkat masyarakat juga tak kurang kerancuannya. Sebagai contoh, terkait dengan penanganan terorisme. Masih banyak anggota masyarakat menganggap sebaiknya penanggulangan terorisme dilakukan TNI saja mengingat mereka memiliki satuan antiteror seperti Den-Gultor. Tidak disadari, ada problem hukum yang serius jika militer turun tangan.

Positioning

Singkatnya, saat diferensiasi tidak terjadi, minimal di tingkat simbolis dan kegiatan sehari-hari, positioning juga tidak muncul. TNI tidak terbedakan secara sungguh-sungguh dengan Polri, dan sebaliknya. Hal itulah yang diperkirakan mengundang persaingan di antara anggota tingkat bawah dari dua organisasi itu.

Bayangkan apabila positioning terjadi, situasi head-to-head dapat dihindarkan.
Sebagai contoh, seorang dosen tentu tidak boleh iri apabila seorang pengusaha ternyata jauh lebih kaya daripada dirinya. Jika sang dosen ingin sekaya pengusaha, jalan terbaik ialah pindah menjadi pengusaha dan bukannya iri apalagi mengagresi si pengusaha. Dengan positioning pula, seorang anggota TNI akan lebih fokus dan asyik dengan dunia mereka, dan sebaliknya dengan anggota Polri. Itulah tampaknya yang menjadi tugas para pemimpin TNI dan Polri. Bedakanlah keduanya, jangan disamakan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar