SERIBU analisis bisa diajukan dalam menanggapi
penyerangan anggota TNI ke kantor polisi di Sumatra Selatan, beberapa hari
lalu. Itu menggambarkan betapa multidimensinya insiden tersebut ataupun
insiden-insiden sejenis pada masa lalu. Analisis perihal perlunya
mendiferensiasi TNI dan Polri secara maksimal, mungkin, ialah analisis
ke1.001 yang mafhum bahwa kasus tersebut memiliki lebih dari satu dimensi,
demikian pula lebih dari satu kemungkinan solusi.
Apa maksud dari mendiferensiasi TNI dan Polri? Apa memang selama ini
keduanya sama sehingga perlu dibedakan? Penulis berpendapat, secara
internal, TNI dan Polri tidak atau belum cukup keras mengupayakan pembedaan
di antara keduanya. Sepuluh tahun terpisah ternyata belum cukup menjadikan
keduanya berbeda total. Sebaliknya, pihak-pihak di luar kedua lembaga itu
juga kerap memandang keduanya dalam satu perspektif saja.
Ujung-ujungnya, personel kedua lembaga itu menjadi gampang saling
membandingkan, saling menilai, dan khususnya jika terdapat anggapan bahwa
terdapat ketidakadilan bagi salah satu pihak. Hal itu menjadi awalan atau
predisposisi bagi lahirnya konflik, yang tinggal membutuhkan pencetus
sepele saja.
Polri
Sebagai pihak yang awalnya ingin bercerai dari ABRI, kuat
diperkirakan Polri-lah yang akan mengubah diri secara total sehingga
terbedakan secara signifikan dari TNI (nama yang digunakan setelah Polri
keluar dari ABRI). Benar bahwa telah terdapat banyak hal yang berubah dalam
Polri selama satu dekade lebih sejak muncul Tap VII dan Tap VIII MPR Tahun
2000, khususnya menyangkut pemisahan Polri dan TNI ataupun sejak
diundangkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Walau demikian,
tidak juga bisa dimungkiri bahwa, dalam banyak hal lain, kita tetap susah
membedakan keduanya.
Sebagai contoh, misalnya menyangkut tata upacara Polri, struktur
kepangkatan (bukan nama), ketentuan atribut seragam, surat-menyurat, tata
komunikasi internal, dan modus beberapa operasi kepolisian (seperti senjata
yang dimiliki dan pergerakan pasukan). Menyangkut hal-hal tersebut,
masyarakat kerap sulit membedakan, apa bedanya polisi dan tentara? “Katanya polisi sudah menjadi sipil, kok
masih seperti militer?“ Itu pernyataan yang umum diungkapkan berbagai
kalangan tentang kepolisian.
Kepolisian, dalam hal-hal tersebut, seolah kehilangan daya
kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, ada
kemungkinan mereka merasakan hal itu sebagai zona yang nyaman (comfort zone) untuk diubah. Itulah
sebabnya keinginan sementara pihak agar Polri memotong jumlah pang kat,
melakukan penerimaan personel satu pintu, mengu rangi atribut di seragam,
dan mengubah tata upacara selalu saja gagal.
Lebih substansial daripada sekadar ubah-mengubah ialah masih ada saja
kalangan dalam Polri yang menjadikan TNI sebagai referensi, baik terkait
dengan kegiatan perencanaan, pengembangan organisasi, pola pendidikan,
maupun pelaksanaan tugas pokok. Bahkan tidak hanya sebagai referensi,
banyak juga polisi yang melihat TNI sebagai pembanding atau komparasi dalam
rangka, sebagai contoh, perlakuan terhadap anggota yang berprestasi dan
sebagainya.
TNI
Seperti juga Polri, TNI pun relatif malas melihat kenyataan bahwa
keduanya mirip air dan minyak yang berbeda tugas pokok dan fungsi sehingga
tidak bisa diperbandingkan. Repotnya, alih-alih mengubah diri dengan cara
mencari benchmark (target untuk
dicapai) baru, khususnya yang berasal dari luar negeri, tetap saja yang
lebih kuat ialah cara pandang yang justru lebih `menekan' Polri agar tidak
`bersaing' dengan TNI. Sebagai contoh, agar Polri secara struktural berada
di bawah Kemendagri dan jangan di bawah presiden, agar bukan hanya Polri
yang perwiranya sudah sarjana semua, agar Polri tidak boleh pamer kekayaan,
dan sebagainya.
Memang, secara realitas, TNI menghadapi masalah berat mengingat tidak
boleh lagi berpolitik dan berbisnis. Dengan kata lain, mereka masuk wilayah
sipil dan harus kembali ke `barak'. Padahal, markas-markas tentara pun
mengalami masalah keterbatasan anggaran dan peralatan. Mengubah kebijakan
untuk weapon-heavy ketimbang personnel-heavy juga tidak mudah mengingat
pengembangan dan pemeliharaan alat utama sistem senjata (alutsista) konon
lebih mahal daripada merekrut 1.000 prajurit. Demikian pula tidak mudah
(minimal secara politik) untuk mengurangi komando teritorial (koter) dan
memfokuskan komando tempur, yang justru lebih diperlukan dalam rangka
meningkatkan kemampuan penangkalan.
Masalahnya, jumlah personel yang banyak tetapi menganggur karena
tidak ada perang serta tidak ada peluru dan per alatan yang bisa digunakan
memang memusingkan. Di pihak lain, menambah koter ataupun menaikkan strata
koter (kini sudah ada korem dengan komandan berpangkat brigjen) dapat
menjadi wadah penugasan baru bagi anggota yang performanya sudah turun.
Permasalahannya, semakin banyak koter, semakin tinggi pula kemungkinan
`pergesekan' dengan jajaran kepolisian.
Walau demikian, pemerintah tampak memberi angin segar bagi
peningkatan kesejahteraan prajurit. Remunerasi yang diterima anggota TNI
empat kali lebih banyak daripada anggota Polri dengan pangkat yang sama.
Namun sayang, hal itu tidak dilihat sebagai pengimbang. Yang lebih banyak
dipersepsikan dari Polri ialah Polri bisa menjadi backing pengusaha, bisa
memeras, bisa `melipat' perkara, dan sebagainya. Dengan kata lain, yang
`diidolakan' bawahan lebih terkait dengan praktik buruk ketimbang
sebaliknya.
Eksternal
Kontribusi pihak eksternal sama saja pada kekacauan persepsi anggota
TNI dan Polri. Banyak pihak, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyebut
kedua lembaga itu dalam satu napas. Jadi, bukannya disebut TNI dan Polri,
melainkan TNI-Polri. Belum lagi dengan hal-hal lain, mulai yang bersifat
simbolis hingga yang substansial. Katakanlah, tempat berdiri Kapolri dan
Panglima TNI yang berjajar di samping presiden, pengambilan sumpah lulusan
Akmil dan Akpol secara bersamaan, dan banyak lagi.
Demikian pula berbagai produk hukum juga kerap menyandingkan keduanya.
Seperti halnya Inpres No 1/2013 yang memberi ruang bagi tentara untuk
menangani gangguan keamanan dalam negeri. Hal itu tentu berpotensi kembali
memperkuat persepsi masyarakat bahwa TNI dan Polri adalah saudara kembar.
Di tingkat masyarakat juga tak kurang kerancuannya. Sebagai contoh,
terkait dengan penanganan terorisme. Masih banyak anggota masyarakat
menganggap sebaiknya penanggulangan terorisme dilakukan TNI saja mengingat
mereka memiliki satuan antiteror seperti Den-Gultor. Tidak disadari, ada
problem hukum yang serius jika militer turun tangan.
Positioning
Singkatnya, saat diferensiasi tidak terjadi, minimal di tingkat
simbolis dan kegiatan sehari-hari, positioning
juga tidak muncul. TNI tidak terbedakan secara sungguh-sungguh dengan
Polri, dan sebaliknya. Hal itulah yang diperkirakan mengundang persaingan
di antara anggota tingkat bawah dari dua organisasi itu.
Bayangkan apabila positioning
terjadi, situasi head-to-head
dapat dihindarkan.
Sebagai contoh, seorang dosen tentu tidak boleh iri apabila seorang
pengusaha ternyata jauh lebih kaya daripada dirinya. Jika sang dosen ingin
sekaya pengusaha, jalan terbaik ialah pindah menjadi pengusaha dan bukannya
iri apalagi mengagresi si pengusaha. Dengan positioning pula, seorang anggota TNI akan lebih fokus dan
asyik dengan dunia mereka, dan sebaliknya dengan anggota Polri. Itulah
tampaknya yang menjadi tugas para pemimpin TNI dan Polri. Bedakanlah
keduanya, jangan disamakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar