Pertikaian antara Polri dan TNI di Ogan Komering Ulu
(OKU), sebagai cuilan pertikaian serupa yang diakui ataupun tidak juga
terendus aromanya di level nasional, relatif sepele. Personel-personel
terkait harus ditindak secara hukum, di samping penanganan intra dan
inter-institusi. Untuk merealisasi hal itu, "hanya" dibutuhkan
kesungguhan dan ketegasan kuat dari pemimpin masing-masing lembaga.
Isu yang membutuhkan sikap lebih serius adalah
bagaimana posisi Polri dan TNI di mata masyarakat. Konsekuensi dari
pertanyaan tersebut, kedua lembaga dapat masuk ke persaingan memperebutkan
dukungan/kepercayaan publik. Faktanya, merespons kejadian penyerangan di
kantor Polres Ogan Komering Ulu oleh seratusan oknum personel TNI pekan
lalu, mengapa media sosial malah riuh oleh komentar-komentar publik yang
mencibir polisi? Bangunan musnah, aset hampir habis seluruhnya, sekian
personel terluka parah, itu semua sudah sangat gamblang memposisikan Polri
sebagai korban. Kendati begitu, tayangan media belum cukup mengundang
simpati masyarakat terhadap Polri, walau juga tidak berarti masyarakat
membenarkan tindakan brutal oknum-oknum personel TNI.
Di sini terjadi counterfactual
bias. Status "korban" adalah identik dengan sosok yang tidak
berdaya. Namun pandangan sinis yang malah diarahkan publik ke Polri setelah
kejadian OKU menandakan bahwa masyarakat tidak percaya bahwa Polri memenuhi
ciri ketidakberdayaan tersebut. Bukan hanya karena tugas sebagai pelindung
sekaligus penegak hukum menyimbolkan keberdayaan, pesan-pesan di media
sosial juga menunjukkan betapa (sebagian) masyarakat justru telah menjadi
obyek viktimisasi oknum-oknum aparat Polri.
Wakil Kepala Polri, beberapa waktu setelah penyerangan
di Polres OKU, menyampaikan pernyataan yang isinya termasuk menanggapi
pernyataan TNI sebelumnya. Namun, seakan masuk telinga kanan keluar telinga
kiri, masyarakat tetap tidak merespons seperti yang barangkali Polri
harapkan. Masyarakat tetap enggan mengoreksi beraneka cercaan mereka
terhadap Polri.
Mengapa?
Apakah karena pernyataan Polri datang setelah
pernyataan TNI? Bisa jadi. Sebab, sesuai dengan teori primacy effect, pesan yang datang pada kesempatan pertama akan
menjadi baseline bagi persepsi si penerima pesan. Sedemikian kuat efek
pesan awal tersebut, pesan yang datang belakangan pun tidak bisa
menandinginya. Jadi, apa pun yang Polri sampaikan tidak akan berpengaruh,
karena persepsi publik telah dibentuk oleh pernyataan TNI yang dikemukakan
lebih dulu.
Ataukah karena substansi pernyataan Polri terlalu
kompleks? Mungkin saja. Asumsi bahwa masyarakat perlu diberi informasi
sedetail mungkin agar dapat memahami situasi secara lebih utuh, tampaknya
tertolak. Ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa manusia sesungguhnya
memiliki keterbatasan kognitif untuk menyerap dan mengolah informasi dalam
jumlah yang dianggap terlalu banyak, juga kompleks. Berita tentang
peristiwa di Polres OKU membuat lelah kognisi, ditambah lagi jejalan
pernyataan TNI, lalu diperberat oleh pernyataan balik dari pihak Polri.
Dalam kondisi daya pikir yang perih seperti itu, masyarakat justru bisa
terdorong untuk mematikan tombol kognisi mereka.
Ketika kognisi padam, afeksi justru mengalami aktivasi.
Potensi bias perasaan (affect
bias) menjadi nyata. Karena masyarakat kadung menaruh perasaan negatif
terhadap Polri, respons saat menanggapi serangan di Polres OKU pun tak
luput tercemari. Agresi di Polres OKU menjadi kanal bagi perasaan
masyarakat. Dengan kata lain, aksi sekian banyak personel TNI di Polres
tersebut dianggap merepresentasikan suasana hati publik selama ini.
Dari segi substansi, pernyataan Polri yang disampaikan
Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Nanan Soekarna, saya khawatirkan
juga laksana memukul air di dulang tepercik ke muka sendiri. Tiga tema
kunci yang ia sampaikan adalah "profesionalitas", "aset
negara", dan "kepemimpinan". Persoalannya, bukankah hal-hal
semacam itu pula yang berulang kali menjadi kritik publik terhadap
institusi Polri? Dilatari kronisnya krisis kepercayaan terhadap Polri,
sangat mungkin apa pun yang Polri sampaikan ke publik terkait dengan kasus
OKU tidak akan berefek positif bagi Polri sendiri.
Ironis. Polri, yang sehari-hari lebih dekat secara
fisik dan fungsi dengan masyarakat ketimbang TNI, ternyata justru punya
relasi yang lebih negatif dengan stakeholder mereka sendiri. Kedekatan itu
membuat segala gerak-gerik personel Polri berada dalam jarak pengamatan
masyarakat. Sementara TNI, kendati oleh sebagian pengamat dinilai juga
menyimpan beberapa masalah profesionalisme, setidaknya berada jauh dari
pantauan masyarakat.
Saya bisa memahami apabila
personel-personel Polri merasa sedih, kecewa, bahkan marah menyaksikan
"ketidakadilan" masyarakat dalam menyikapi kasus OKU. Sinisme
publik, disertai jatuhnya korban nyata sesama rekan sekorps, bisa
mendemoralisasi personel Polri. Personel yang mengalami demoralisasi pada
gilirannya berpeluang memperburuk kualitas layanan kepada masyarakat.
Ujungnya, lagi-lagi kepercayaan publik yang dipertaruhkan. Alhasil, sedih,
kecewa, bahkan marah adalah manusiawi. Tapi, sekali lagi, hati-hati memukul
air di dulang tepercik ke muka sendiri. Kejadian OKU yang berlangsung hanya
beberapa jam tidak sebanding dengan sensasi yang masyarakat alami dari sepak
terjang aparat Polri saban hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar