Rabu, 13 Maret 2013

Bara di Bawah Api Kasus OKU


Bara di Bawah Api Kasus OKU
Reza Indragiri Amriel   Penerima Asian Public Intellectual Fellowship,
Peserta Community Policing Development Program di Jepang
KORAN TEMPO, 13 Maret 2013


Pertikaian antara Polri dan TNI di Ogan Komering Ulu (OKU), sebagai cuilan pertikaian serupa yang diakui ataupun tidak juga terendus aromanya di level nasional, relatif sepele. Personel-personel terkait harus ditindak secara hukum, di samping penanganan intra dan inter-institusi. Untuk merealisasi hal itu, "hanya" dibutuhkan kesungguhan dan ketegasan kuat dari pemimpin masing-masing lembaga.
Isu yang membutuhkan sikap lebih serius adalah bagaimana posisi Polri dan TNI di mata masyarakat. Konsekuensi dari pertanyaan tersebut, kedua lembaga dapat masuk ke persaingan memperebutkan dukungan/kepercayaan publik. Faktanya, merespons kejadian penyerangan di kantor Polres Ogan Komering Ulu oleh seratusan oknum personel TNI pekan lalu, mengapa media sosial malah riuh oleh komentar-komentar publik yang mencibir polisi? Bangunan musnah, aset hampir habis seluruhnya, sekian personel terluka parah, itu semua sudah sangat gamblang memposisikan Polri sebagai korban. Kendati begitu, tayangan media belum cukup mengundang simpati masyarakat terhadap Polri, walau juga tidak berarti masyarakat membenarkan tindakan brutal oknum-oknum personel TNI.
Di sini terjadi counterfactual bias. Status "korban" adalah identik dengan sosok yang tidak berdaya. Namun pandangan sinis yang malah diarahkan publik ke Polri setelah kejadian OKU menandakan bahwa masyarakat tidak percaya bahwa Polri memenuhi ciri ketidakberdayaan tersebut. Bukan hanya karena tugas sebagai pelindung sekaligus penegak hukum menyimbolkan keberdayaan, pesan-pesan di media sosial juga menunjukkan betapa (sebagian) masyarakat justru telah menjadi obyek viktimisasi oknum-oknum aparat Polri.
Wakil Kepala Polri, beberapa waktu setelah penyerangan di Polres OKU, menyampaikan pernyataan yang isinya termasuk menanggapi pernyataan TNI sebelumnya. Namun, seakan masuk telinga kanan keluar telinga kiri, masyarakat tetap tidak merespons seperti yang barangkali Polri harapkan. Masyarakat tetap enggan mengoreksi beraneka cercaan mereka terhadap Polri.
Mengapa?
Apakah karena pernyataan Polri datang setelah pernyataan TNI? Bisa jadi. Sebab, sesuai dengan teori primacy effect, pesan yang datang pada kesempatan pertama akan menjadi baseline bagi persepsi si penerima pesan. Sedemikian kuat efek pesan awal tersebut, pesan yang datang belakangan pun tidak bisa menandinginya. Jadi, apa pun yang Polri sampaikan tidak akan berpengaruh, karena persepsi publik telah dibentuk oleh pernyataan TNI yang dikemukakan lebih dulu.
Ataukah karena substansi pernyataan Polri terlalu kompleks? Mungkin saja. Asumsi bahwa masyarakat perlu diberi informasi sedetail mungkin agar dapat memahami situasi secara lebih utuh, tampaknya tertolak. Ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa manusia sesungguhnya memiliki keterbatasan kognitif untuk menyerap dan mengolah informasi dalam jumlah yang dianggap terlalu banyak, juga kompleks. Berita tentang peristiwa di Polres OKU membuat lelah kognisi, ditambah lagi jejalan pernyataan TNI, lalu diperberat oleh pernyataan balik dari pihak Polri. Dalam kondisi daya pikir yang perih seperti itu, masyarakat justru bisa terdorong untuk mematikan tombol kognisi mereka.
Ketika kognisi padam, afeksi justru mengalami aktivasi. Potensi bias perasaan (affect bias) menjadi nyata. Karena masyarakat kadung menaruh perasaan negatif terhadap Polri, respons saat menanggapi serangan di Polres OKU pun tak luput tercemari. Agresi di Polres OKU menjadi kanal bagi perasaan masyarakat. Dengan kata lain, aksi sekian banyak personel TNI di Polres tersebut dianggap merepresentasikan suasana hati publik selama ini.
Dari segi substansi, pernyataan Polri yang disampaikan Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Nanan Soekarna, saya khawatirkan juga laksana memukul air di dulang tepercik ke muka sendiri. Tiga tema kunci yang ia sampaikan adalah "profesionalitas", "aset negara", dan "kepemimpinan". Persoalannya, bukankah hal-hal semacam itu pula yang berulang kali menjadi kritik publik terhadap institusi Polri? Dilatari kronisnya krisis kepercayaan terhadap Polri, sangat mungkin apa pun yang Polri sampaikan ke publik terkait dengan kasus OKU tidak akan berefek positif bagi Polri sendiri.
Ironis. Polri, yang sehari-hari lebih dekat secara fisik dan fungsi dengan masyarakat ketimbang TNI, ternyata justru punya relasi yang lebih negatif dengan stakeholder mereka sendiri. Kedekatan itu membuat segala gerak-gerik personel Polri berada dalam jarak pengamatan masyarakat. Sementara TNI, kendati oleh sebagian pengamat dinilai juga menyimpan beberapa masalah profesionalisme, setidaknya berada jauh dari pantauan masyarakat.
Saya bisa memahami apabila personel-personel Polri merasa sedih, kecewa, bahkan marah menyaksikan "ketidakadilan" masyarakat dalam menyikapi kasus OKU. Sinisme publik, disertai jatuhnya korban nyata sesama rekan sekorps, bisa mendemoralisasi personel Polri. Personel yang mengalami demoralisasi pada gilirannya berpeluang memperburuk kualitas layanan kepada masyarakat. Ujungnya, lagi-lagi kepercayaan publik yang dipertaruhkan. Alhasil, sedih, kecewa, bahkan marah adalah manusiawi. Tapi, sekali lagi, hati-hati memukul air di dulang tepercik ke muka sendiri. Kejadian OKU yang berlangsung hanya beberapa jam tidak sebanding dengan sensasi yang masyarakat alami dari sepak terjang aparat Polri saban hari. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar