Rabu, 13 Maret 2013

Menyoal Anggapan Migas Proasing


Menyoal Anggapan Migas Proasing
HL Ong   Dosen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB)
MEDIA INDONESIA, 13 Maret 2013


PEMBUBARAN BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdampak sangat luas. Di domestik 20%-25% APBN bergantung pada migas, sedangkan di internasional 70% lebih produksi migas Indonesia dihasilkan perusahaan minyak internasional. Oleh karena itu latar belakang dan konsekuensi keputusan MK perlu dikaji secara ilmiah.

Alasan mengapa MK membubarkan BP Migas ialah institusi itu dianggap memihak asing, karena tidak memberikan keuntungan maksimal bagi negara. Keputusan MK sebagai lembaga tertinggi perlu ditaati. Lembaga pengganti BP Migas, yakni SKK Migas, dengan berbagai cara perlu memberikan keuntungan lebih kepada negara. Itu berarti sistem fiskal dari kontrak bagi hasil (PSC) perlu diubah dan diperketat, serta perlu dibuatkan peraturan baru.

Sebelum dibubarkan, BP Migas selama lima tahun terakhir ini telah memperketat sistem fiskal PSC dan membuat peraturan yang menguntungkan negara. Rupanya kebijakan tersebut, menurut MK, masih kurang hingga perlu diperketat lagi. Konsekuensi dengan memperketat lagi ialah investor akan lari ke negara yang kondisi geologisnya lebih prospektif dan sistem fiskalnya lebih ramah.

Keputusan MK adalah final, tetapi perlu diteliti secara ilmiah hingga SKK Migas, pengganti BP Migas, mengetahui apa salahnya dan apa yang perlu diperbaiki. Kalau tidak, pergantian itu hanya bersifat ganti baju tanpa bisa memperbaiki kesalahan. Alasan MK menyimpulkan BP Migas proasing perlu diteliti. Pro asing adalah relatif hingga perlu dibandingkan atau benchmark dengan sekitar 100 negara lain di dunia yang punya migas. Government take PSC Indonesia sudah sangat tinggi.

Wood Mackenzie, konsultan perminyakan ternama, tiap tahun membuat studi banding fiskal sistem dari sekitar 100 negara yang punya kontrak minyak di dunia ini, untuk mengetahui besarnya penerimaan pemerintah atau yang disebut government take (GT) versus besarnya penerimaan perusahaan atau disebut company take (CT). Kalau GT besar, CT kecil dan sebaliknya.

Jumlah GT plus CT adalah 100%. Daftar tersebut diperbarui tiap tahun dan disebarluaskan ke seluruh dunia. Di antaranya pada waktu Indonesian Petroleum Association (IPA) Convention yang diadakan tiap tahun di Jakarta. Rangking tersebut telah menjadi standar di industri perminyakan dan dijadikan patokan oleh International Oil Company (IOC) untuk berinvestasi. IOC akan memilih negara yang mempunyai sistem fiskal yang menguntungkan mereka, yaitu dengan CT yang tinggi atau GT yang rendah.

Pada 2008, Wood Mackenzie menempatkan Indonesia di rangking 24 dari 95 negara yang diteliti dengan GT sebesar 86%. GT rata-rata di dunia sekitar 63%. Di tahun yang sama, penelitian dari Alinson dan Naim yang disampaikan di depan IPA Annual Convention di Jakarta menyimpulkan sistem kontrak migas di Indonesia termasuk yang ‘terkeras’ di dunia. Pada 2012 mereka menempatkan Indonesia di urutan 5 dari 85 negara yang diteliti. Yang masuk kategori tersebut ialah negara yang berlimpah minyak seperti di Timur Tengah.

Tiga puluh tahun lalu, Indonesia masuk kategori kaya minyak. Peak oil atau produksi puncak Indonesia telah dicapai pada 1977 (dan 1996). Setelah itu produksi minyak turun terus. Migas di Indonesia Barat telah terkuras lebih dari 150 tahun. Prospek migas yang signifikan tinggal di daerah yang sulit dicapai dan tidak banyak diketahui kondisi geologisnya (unexplored) seperti Indonesia Timur dan laut dalam. Biaya eksplorasi sangat tinggi, 10 kali bila dibandingkan dengan di Indonesia Barat. Pengeboran darat mencapai US$20 juta-US$40 juta/sumur dan pengeboran laut dalam US$50 juta-US$200 juta/sumur.

Untuk periode 2012, IOC mengeluarkan US$1,5 miliar untuk 20 sumur laut dalam yang semuanya kosong. Probability of success (POS) untuk wildcat drilling di daerah unexplored hanya 10%. Artinya 90% kemungkinan tidak akan menemukan minyak. Itu berarti hanya negara kaya yang punya venture capital yang sanggup mengeksplorasi. Dengan pembubaran BP Migas yang dicap proasing, IOC yang bermodal venture capital merasa tidak welcome di Indonesia.

Peringkat Indonesia telah mengalami suatu kenaikan yang signifikan di 2012 bila dibandingkan dengan 2008. Pada 2012, Indonesia take naik menjadi 90% jika dibandingkan dengan 2008 yang hanya 86%. Berarti PSC Indonesia yang di 2008 sudah dianggap keras oleh Alinson dan Naim; pada 2012 telah meningkat `kekerasannya'. Itu berarti sistem fiskal PSC Indonesia di 2012 sudah sangat menguntungkan dan pro-Indonesia.

Sudah Berusaha Maksimal

Kenaikan peringkat Indonesian take, dari nomor 24 menjadi nomor 5, terjadi pada periode 2008-2012, yaitu zaman kekuasaan BP Migas. Loncatan peringkat yang cukup besar itu berkat inisiatif BP Migas yang mengeluarkan peraturan baru, merevisi sistem fiskal PSC dan merevisi PTK 007, yaitu pedoman sistem tender jasa dan barang.

Hampir setiap tahun BP Migas merevisi PSC dengan mencari loophole dan terobosan yang dapat menguntungkan negara, antara lain BP Migas melakukan ring-fencing dari lapangan minyak dan bukan seperti biasanya, yaitu dari wilayah kerja. Dengan adanya ringfencing berdasarkan lapangan, kontraktor kontrak kerja sama langsung membayar pajak 44% dari produksinya. BP Migas menghapus investment credit dan bunga dari unrecovered cost. BP Migas meniadakan bonus signature dan bonus produksi untuk dijadikan pengurang pajak. BP Migas juga minta supaya uang abandonment and site restoration (ASR) yang selama ini disimpan di luar negeri dialihkan dan ditempatkan di bank pemerintah, dll.

Hampir setiap tahun BP Migas merevisi PTK 007 untuk menggalakkan pemakaian barang dan jasa dalam negeri (TKDN). Sebagai contoh, kerja sama antara BP Migas dan INSA (Indonesian National Shipowners Association) dalam mengimplementasikan cabotage law, yaitu penggunaan kapal-kapal berbendera Indonesia untuk semua kegiatan industri perminyakan.

BP Migas sejak 2008 berani melakukan terobosan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan pendahulunya. Salah satu contoh, mengharuskan pemakaian bank pemerintah bagi kontraktor yang berproduksi. Padahal, selama ini kontraktor menikmati pemakaian bank di luar negeri yang memberikan bunga jauh lebih murah dan kredit yang gampang.

Kalau MK menganggap BP Migas proasing padahal tingkat government take sudah nomor 5 di dunia, pengetatan apa lagi yang bisa dilakukan SKK Migas hingga dapat memenuhi kemauan dan kriteria MK? Beberapa investor asing bahkan berpikir lebih jauh dan ekstrem. Mereka berpikir tingkat berikutnya ialah nasionalisasi yang berarti kepemilikan asing tidak ada lagi, seperti kejadian di Venezuela, Bolivia, dan baru-baru ini di Argentina. IOC akan jera dan menolak melakukan investasi baru di Indonesia. Efek dari penolakan investasi baru terlihat 10 tahun lagi, ketika produksi Indonesia diperkirakan akan anjlok dari sekarang 830 ribu bpd menjadi kurang dari setengahnya.

Bagi SKK Migas hal itu akan menimbulkan dilema di antara dua pilihan yang bertentangan. Mengikuti keputusan MK dengan memperketat PSC yang sekarang berlaku hingga government take bertambah, atau memilih kepentingan nasional dengan membuka pintu bagi investor asing dengan memberikan insentif dalam pengembangan Indonesia Timur, laut dalam, dan juga unconventional migas. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar