PEMBUBARAN BP Migas oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) berdampak sangat luas. Di domestik 20%-25% APBN
bergantung pada migas, sedangkan di internasional 70% lebih produksi migas
Indonesia dihasilkan perusahaan minyak internasional. Oleh karena itu latar
belakang dan konsekuensi keputusan MK perlu dikaji secara ilmiah.
Alasan mengapa MK membubarkan BP Migas
ialah institusi itu dianggap memihak asing, karena tidak memberikan
keuntungan maksimal bagi negara. Keputusan MK sebagai lembaga tertinggi
perlu ditaati. Lembaga pengganti BP Migas, yakni SKK Migas, dengan berbagai
cara perlu memberikan keuntungan lebih kepada negara. Itu berarti sistem fiskal
dari kontrak bagi hasil (PSC) perlu diubah dan diperketat, serta perlu
dibuatkan peraturan baru.
Sebelum dibubarkan, BP Migas selama lima
tahun terakhir ini telah memperketat sistem fiskal PSC dan membuat peraturan
yang menguntungkan negara. Rupanya kebijakan tersebut, menurut MK, masih
kurang hingga perlu diperketat lagi. Konsekuensi dengan memperketat lagi
ialah investor akan lari ke negara yang kondisi geologisnya lebih
prospektif dan sistem fiskalnya lebih ramah.
Keputusan MK adalah final, tetapi perlu
diteliti secara ilmiah hingga SKK Migas, pengganti BP Migas, mengetahui apa
salahnya dan apa yang perlu diperbaiki. Kalau tidak, pergantian itu hanya
bersifat ganti baju tanpa bisa memperbaiki kesalahan. Alasan MK
menyimpulkan BP Migas proasing perlu diteliti. Pro asing adalah relatif
hingga perlu dibandingkan atau benchmark
dengan sekitar 100 negara lain di dunia yang punya migas. Government take PSC Indonesia sudah
sangat tinggi.
Wood Mackenzie, konsultan perminyakan
ternama, tiap tahun membuat studi banding fiskal sistem dari sekitar 100
negara yang punya kontrak minyak di dunia ini, untuk mengetahui besarnya
penerimaan pemerintah atau yang disebut government
take (GT) versus besarnya penerimaan perusahaan atau disebut company take (CT). Kalau GT besar,
CT kecil dan sebaliknya.
Jumlah GT plus CT adalah 100%. Daftar
tersebut diperbarui tiap tahun dan disebarluaskan ke seluruh dunia. Di
antaranya pada waktu Indonesian
Petroleum Association (IPA) Convention
yang diadakan tiap tahun di Jakarta. Rangking tersebut telah menjadi
standar di industri perminyakan dan dijadikan patokan oleh International Oil Company (IOC)
untuk berinvestasi. IOC akan memilih negara yang mempunyai sistem fiskal
yang menguntungkan mereka, yaitu dengan CT yang tinggi atau GT yang rendah.
Pada 2008, Wood Mackenzie menempatkan
Indonesia di rangking 24 dari 95 negara yang diteliti dengan GT sebesar
86%. GT rata-rata di dunia sekitar 63%. Di tahun yang sama, penelitian dari
Alinson dan Naim yang disampaikan di depan IPA Annual Convention di Jakarta
menyimpulkan sistem kontrak migas di Indonesia termasuk yang ‘terkeras’ di
dunia. Pada 2012 mereka menempatkan Indonesia di urutan 5 dari 85 negara
yang diteliti. Yang masuk kategori tersebut ialah negara yang berlimpah
minyak seperti di Timur Tengah.
Tiga puluh tahun lalu, Indonesia masuk
kategori kaya minyak. Peak oil
atau produksi puncak Indonesia telah dicapai pada 1977 (dan 1996). Setelah
itu produksi minyak turun terus. Migas di Indonesia Barat telah terkuras
lebih dari 150 tahun. Prospek migas yang signifikan tinggal di daerah yang
sulit dicapai dan tidak banyak diketahui kondisi geologisnya (unexplored) seperti Indonesia Timur
dan laut dalam. Biaya eksplorasi sangat tinggi, 10 kali bila dibandingkan
dengan di Indonesia Barat. Pengeboran darat mencapai US$20 juta-US$40
juta/sumur dan pengeboran laut dalam US$50 juta-US$200 juta/sumur.
Untuk periode 2012, IOC mengeluarkan US$1,5
miliar untuk 20 sumur laut dalam yang semuanya kosong. Probability of success (POS) untuk wildcat drilling di daerah unexplored
hanya 10%. Artinya 90% kemungkinan tidak akan menemukan minyak. Itu berarti
hanya negara kaya yang punya venture
capital yang sanggup mengeksplorasi. Dengan pembubaran BP Migas yang
dicap proasing, IOC yang bermodal venture
capital merasa tidak welcome di Indonesia.
Peringkat Indonesia telah mengalami suatu
kenaikan yang signifikan di 2012 bila dibandingkan dengan 2008. Pada 2012,
Indonesia take naik menjadi 90% jika dibandingkan dengan 2008 yang hanya
86%. Berarti PSC Indonesia yang di 2008 sudah dianggap keras oleh Alinson
dan Naim; pada 2012 telah meningkat `kekerasannya'. Itu berarti sistem
fiskal PSC Indonesia di 2012 sudah sangat menguntungkan dan pro-Indonesia.
Sudah
Berusaha Maksimal
Kenaikan peringkat Indonesian take, dari nomor 24 menjadi nomor 5, terjadi pada
periode 2008-2012, yaitu zaman kekuasaan BP Migas. Loncatan peringkat yang
cukup besar itu berkat inisiatif BP Migas yang mengeluarkan peraturan baru,
merevisi sistem fiskal PSC dan merevisi PTK 007, yaitu pedoman sistem
tender jasa dan barang.
Hampir setiap tahun BP Migas merevisi PSC
dengan mencari loophole dan
terobosan yang dapat menguntungkan negara, antara lain BP Migas melakukan ring-fencing dari lapangan minyak
dan bukan seperti biasanya, yaitu dari wilayah kerja. Dengan adanya
ringfencing berdasarkan lapangan, kontraktor kontrak kerja sama langsung
membayar pajak 44% dari produksinya. BP Migas menghapus investment credit dan bunga dari unrecovered cost. BP Migas
meniadakan bonus signature dan
bonus produksi untuk dijadikan pengurang pajak. BP Migas juga minta supaya
uang abandonment and site restoration (ASR) yang selama ini disimpan di
luar negeri dialihkan dan ditempatkan di bank pemerintah, dll.
Hampir setiap tahun BP Migas merevisi PTK
007 untuk menggalakkan pemakaian barang dan jasa dalam negeri (TKDN).
Sebagai contoh, kerja sama antara BP Migas dan INSA (Indonesian National Shipowners Association) dalam
mengimplementasikan cabotage law,
yaitu penggunaan kapal-kapal berbendera Indonesia untuk semua kegiatan
industri perminyakan.
BP Migas sejak 2008 berani melakukan
terobosan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan pendahulunya. Salah satu
contoh, mengharuskan pemakaian bank pemerintah bagi kontraktor yang
berproduksi. Padahal, selama ini kontraktor menikmati pemakaian bank di
luar negeri yang memberikan bunga jauh lebih murah dan kredit yang gampang.
Kalau MK menganggap BP Migas proasing
padahal tingkat government take
sudah nomor 5 di dunia, pengetatan apa lagi yang bisa dilakukan SKK Migas
hingga dapat memenuhi kemauan dan kriteria MK? Beberapa investor asing
bahkan berpikir lebih jauh dan ekstrem. Mereka berpikir tingkat berikutnya
ialah nasionalisasi yang berarti kepemilikan asing tidak ada lagi, seperti
kejadian di Venezuela, Bolivia, dan baru-baru ini di Argentina. IOC akan
jera dan menolak melakukan investasi baru di Indonesia. Efek dari penolakan
investasi baru terlihat 10 tahun lagi, ketika produksi Indonesia
diperkirakan akan anjlok dari sekarang 830 ribu bpd menjadi kurang dari
setengahnya.
Bagi SKK Migas hal itu akan menimbulkan
dilema di antara dua pilihan yang bertentangan. Mengikuti keputusan MK
dengan memperketat PSC yang sekarang berlaku hingga government take bertambah, atau memilih kepentingan nasional
dengan membuka pintu bagi investor asing dengan memberikan insentif dalam
pengembangan Indonesia Timur, laut dalam, dan juga unconventional migas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar