Jumat, 01 Maret 2013

Tinjau Ulang Pemekaran


Tinjau Ulang Pemekaran
Muhammad Umar Syadat Hasibuan
Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri
KOMPAS, 01 Maret 2013


Mungkinkah gelombang pemekaran daerah di Indonesia berakhir? Jika sebuah daerah otonom baru gagal, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Dua pertanyaan ini perlu kembali disampaikan terkait dua gejala utama. Pertama, animo pemekaran daerah terus berlanjut. Kedua, siapa yang harus bertanggung jawab atas potensi kegagalan daerah otonom baru (DOB) masih kontroversial.
DPR dalam rapat paripurna 25 Oktober 2012 kembali mengesahkan lima DOB. Kelima daerah tersebut adalah Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Kabupaten Pesisir Barat (Lampung), Kabupaten Manokwari Selatan (Papua Barat), dan Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat). Disahkannya lima DOB tersebut tentu memiliki sejumlah implikasi politik bagi pemerintah.
Pemerintah pusat selama ini sebenarnya cukup tegas dan konsisten menjalankan moratorium pemekaran daerah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi beberapa waktu lalu mengatakan bahwa program moratorium pemekaran DOB diberlakukan sampai akhir 2012 (Antara, 22 Maret 2012).
Sikap politik pemerintah ini seperti tidak bertaring, mengingat pemekaran daerah adalah proses politik. Dalam proses politik, sumber ide pemekaran DOB sesungguhnya tidak di tangan pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat justru menjadi muara di balik beragam persoal- an pemekaran DOB yang telah disahkan oleh DPR.
Ladang Korupsi
Usul moratorium pemekaran daerah cukup beralasan. DOB dan perkembangan otonomi daerah di DOB selama beberapa periode tampak lekat dengan potensi korupsi.
Selama satu dasawarsa pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi, sebanyak 205 DOB lahir. DOB ini terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dalam hal ini, telah terjadi peningkatan 64 persen jumlah daerah otonom baru sejak tahun 1998.
Dalam satu tahun, rata-rata lahir 20 DOB. Implikasinya, semakin besar dana pembangunan DOB yang dialokasikan dalam APBN. Tercatat pada 2002 peme- rintah pusat telah mengalokasi- kan dana alokasi umum Rp 1,33 triliun. Angka ini terus meningkat pada 2003, yaitu sebesar Rp 2,6 triliun, dan pada 2010 sebesar Rp 47,9 triliun (Djoko Harmantyo, 2007).
Selama pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi berdasarkan data 2004-2012 adalah 290 orang. Dari jumlah tersebut, mereka yang menjabat sebagai gubernur sebanyak 20 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang.
Dari jumlah itu, 92 orang (31,48 persen) berstatus sebagai saksi, 176 orang (60,89 persen) berstatus sebagai tersangka, dan mereka yang berstatus sebagai saksi sekaligus tersangka 22 orang (7,61 persen).
Sementara itu, pegawai negeri sipil yang tersangkut kasus korupsi hingga 5 Januari 2013 sebanyak 1.221 orang. Dari jumlah itu, mereka yang berstatus saksi 46 orang, berstatus tersangka 186 orang, berstatus terdakwa 112 orang, dan yang berstatus terpidana 879 orang. Pada data ini belum ditambah anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi di daerah masing-masing.
Pemekaran daerah menjadi penyakit bagi rakyat ketika jatuh menjadi ladang korupsi baru bagi sejumlah elite. Dari data tersebut, jumlah kepala daerah di DOB cukup besar. Dari praktik korupsi kepala daerah tersebut, estimasi total kerugian negara mencapai Rp 4.814.248.597.729.
Tanggung Jawab Siapa?
Wabah korupsi di balik pemekaran daerah dan kegagalan DOB dalam pengembangan pelayanan publik, peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat menjadi persoalan kita bersama. Karena itu, kebijakan pemekaran daerah adalah tanggung jawab kolektif antara pemerintah, DPR, DPRD, dan rakyat.
Agenda pemekaran daerah mestinya didasarkan atas sebuah kajian yang serius dan komprehensif, dan menuntut peran kolektif antara pemerintah, DPR, DPRD, dan rakyat di daerah.
Melalui revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, telah memperketat keinginan pemekaran daerah otonom yang baru, antara lain dengan menetapkan persyaratan teknis meliputi parameter dan indikator yang harus dipenuhi. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah parameter dan indikator yang tegas.
Pemekaran daerah otonomi yang baru tentu bukan semata- mata tanggung jawab pemerintah pusat. DPR dan DPRD sebagai lembaga politik dengan dukungan rakyat di daerah mestinya juga memiliki sejumlah indikator dan kesadaran politik yang tepat dalam mempertimbangkan daerah otonom baru.
Dalam hal ini, kebijakan pemekaran tidak bisa lagi didasarkan atas pertimbangan politik semata, tetapi juga harus didasarkan atas indikator komprehensif yang disepakati bersama-sama antara pemerintah pusat dan DPR, termasuk DPRD, setelah dan harus dipenuhi oleh mereka yang mengusulkan DOB itu.
Pemekaran daerah otonomi yang baru mestinya didasarkan pada kajian yang mendalam mengenai potensi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru. Mengacu pada teori pusat pertumbuhan (Perroux, 1949), pemekaran daerah otonomi yang baru mestinya didasarkan pada kajian potensi atas pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di sebuah daerah dengan melihat potensi sektor-sektor ekonomi yang dimilikinya, misalnya industri barang ataupun jasa tertentu.
Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru inilah yang nantinya bisa diandalkan sebagai daya gerak ekonomi di daerah masing-masing dan diharapkan bisa menjadi basis kekuatan ekonomi nasional.
Melihat pemekaran daerah otonomi yang baru selama ini, faktor politik tampak lebih dominan dibandingkan kebutuhan obyektif atas perkembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Karena itu, tidak heran jika banyak kalangan yang meyakini bahwa pemekaran daerah otonomi sebagai strategi dalam menyedot APBN—melalui dana alokasi umum—dan juga mengeksploitasi sumber daya alam di daerah tanpa menumbuhkan pilar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang mampu mendongkrak kesejahteraan rakyat di daerah.
Mengingat logika politik pemekaran daerah di atas, masuk akal jika pemekaran daerah dan pelaksanaan pemerintahan di DOB menjadi sangat rentan dengan korupsi karena potensi dan peluang korupsi itu begitu menggiurkan para elite politik di daerah masing-masing. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar