Mungkinkah gelombang pemekaran
daerah di Indonesia berakhir? Jika sebuah daerah otonom baru gagal, siapa
yang seharusnya bertanggung jawab?
Dua pertanyaan ini perlu kembali
disampaikan terkait dua gejala utama. Pertama, animo pemekaran daerah terus
berlanjut. Kedua, siapa yang harus bertanggung jawab atas potensi kegagalan
daerah otonom baru (DOB) masih kontroversial.
DPR dalam rapat paripurna 25
Oktober 2012 kembali mengesahkan lima DOB. Kelima daerah tersebut adalah
Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Kabupaten
Pesisir Barat (Lampung), Kabupaten Manokwari Selatan (Papua Barat), dan
Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat). Disahkannya lima DOB tersebut
tentu memiliki sejumlah implikasi politik bagi pemerintah.
Pemerintah pusat selama ini
sebenarnya cukup tegas dan konsisten menjalankan moratorium pemekaran
daerah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi beberapa waktu lalu mengatakan
bahwa program moratorium pemekaran DOB diberlakukan sampai akhir 2012
(Antara, 22 Maret 2012).
Sikap politik pemerintah ini
seperti tidak bertaring, mengingat pemekaran daerah adalah proses politik.
Dalam proses politik, sumber ide pemekaran DOB sesungguhnya tidak di tangan
pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat justru menjadi muara di
balik beragam persoal- an pemekaran DOB yang telah disahkan oleh DPR.
Ladang Korupsi
Usul moratorium pemekaran daerah
cukup beralasan. DOB dan perkembangan otonomi daerah di DOB selama beberapa
periode tampak lekat dengan potensi korupsi.
Selama satu dasawarsa pelaksanaan
kebijakan desentralisasi dan otonomi, sebanyak 205 DOB lahir. DOB ini
terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dalam hal ini, telah
terjadi peningkatan 64 persen jumlah daerah otonom baru sejak tahun 1998.
Dalam satu tahun, rata-rata lahir
20 DOB. Implikasinya, semakin besar dana pembangunan DOB yang dialokasikan
dalam APBN. Tercatat pada 2002 peme- rintah pusat telah mengalokasi- kan
dana alokasi umum Rp 1,33 triliun. Angka ini terus meningkat pada 2003,
yaitu sebesar Rp 2,6 triliun, dan pada 2010 sebesar Rp 47,9 triliun (Djoko
Harmantyo, 2007).
Selama pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah dan desentralisasi, jumlah kepala daerah yang tersangkut
kasus korupsi berdasarkan data 2004-2012 adalah 290 orang. Dari jumlah
tersebut, mereka yang menjabat sebagai gubernur sebanyak 20 orang, wakil
gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41
orang, dan wakil wali kota 20 orang.
Dari jumlah itu, 92 orang (31,48
persen) berstatus sebagai saksi, 176 orang (60,89 persen) berstatus sebagai
tersangka, dan mereka yang berstatus sebagai saksi sekaligus tersangka 22
orang (7,61 persen).
Sementara itu, pegawai negeri
sipil yang tersangkut kasus korupsi hingga 5 Januari 2013 sebanyak 1.221
orang. Dari jumlah itu, mereka yang berstatus saksi 46 orang, berstatus
tersangka 186 orang, berstatus terdakwa 112 orang, dan yang berstatus
terpidana 879 orang. Pada data ini belum ditambah anggota DPRD yang
terjerat kasus korupsi di daerah masing-masing.
Pemekaran daerah menjadi penyakit
bagi rakyat ketika jatuh menjadi ladang korupsi baru bagi sejumlah elite.
Dari data tersebut, jumlah kepala daerah di DOB cukup besar. Dari praktik
korupsi kepala daerah tersebut, estimasi total kerugian negara mencapai Rp
4.814.248.597.729.
Tanggung Jawab Siapa?
Wabah korupsi di balik pemekaran
daerah dan kegagalan DOB dalam pengembangan pelayanan publik, peningkatan
pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat menjadi persoalan kita
bersama. Karena itu, kebijakan pemekaran daerah adalah tanggung jawab
kolektif antara pemerintah, DPR, DPRD, dan rakyat.
Agenda pemekaran daerah mestinya
didasarkan atas sebuah kajian yang serius dan komprehensif, dan menuntut
peran kolektif antara pemerintah, DPR, DPRD, dan rakyat di daerah.
Melalui revisi Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah pusat, melalui
Kementerian Dalam Negeri, telah memperketat keinginan pemekaran daerah
otonom yang baru, antara lain dengan menetapkan persyaratan teknis meliputi
parameter dan indikator yang harus dipenuhi. Salah satu syarat yang harus
dipenuhi adalah parameter dan indikator yang tegas.
Pemekaran daerah otonomi yang baru
tentu bukan semata- mata tanggung jawab pemerintah pusat. DPR dan DPRD
sebagai lembaga politik dengan dukungan rakyat di daerah mestinya juga
memiliki sejumlah indikator dan kesadaran politik yang tepat dalam
mempertimbangkan daerah otonom baru.
Dalam hal ini, kebijakan pemekaran
tidak bisa lagi didasarkan atas pertimbangan politik semata, tetapi juga
harus didasarkan atas indikator komprehensif yang disepakati bersama-sama
antara pemerintah pusat dan DPR, termasuk DPRD, setelah dan harus dipenuhi
oleh mereka yang mengusulkan DOB itu.
Pemekaran daerah otonomi yang baru
mestinya didasarkan pada kajian yang mendalam mengenai potensi pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan baru. Mengacu pada teori pusat pertumbuhan
(Perroux, 1949), pemekaran daerah otonomi yang baru mestinya didasarkan
pada kajian potensi atas pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di sebuah
daerah dengan melihat potensi sektor-sektor ekonomi yang dimilikinya,
misalnya industri barang ataupun jasa tertentu.
Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru inilah yang nantinya bisa diandalkan sebagai daya gerak ekonomi di
daerah masing-masing dan diharapkan bisa menjadi basis kekuatan ekonomi
nasional.
Melihat pemekaran daerah otonomi
yang baru selama ini, faktor politik tampak lebih dominan dibandingkan
kebutuhan obyektif atas perkembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Karena itu, tidak heran jika banyak kalangan yang meyakini bahwa pemekaran
daerah otonomi sebagai strategi dalam menyedot APBN—melalui dana alokasi
umum—dan juga mengeksploitasi sumber daya alam di daerah tanpa menumbuhkan
pilar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang mampu mendongkrak
kesejahteraan rakyat di daerah.
Mengingat logika politik pemekaran
daerah di atas, masuk akal jika pemekaran daerah dan pelaksanaan
pemerintahan di DOB menjadi sangat rentan dengan korupsi karena potensi dan
peluang korupsi itu begitu menggiurkan para elite politik di daerah
masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar