HARI yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Jumat
(22/2) merupakan hari keramat buat Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum. Pada hari itu, Anas dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi pembangunan kompleks
sekolah atlet di Hambalang, Bogor. Sepekan sebelumnya, otoritasnya sebagai
Ketua Umum Partai Demokrat telah diambil alih Ketua Majelis Tinggi Partai
Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Langkah itu merupakan sesuatu yang
tidak lazim terjadi di partai politik (parpol) di mana pun di dunia ini.
Mana mungkin seorang ketua majelis tinggi partai bertindak sebagai
eksekutif partai? SBY benar-benar mengonsentrasikan semua jabatan partai di
tangannya, yakni sebagai ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, ketua
majelis tinggi, dan operator utama penyelamat dan pengonsolidasi partai.
Pada Sabtu (23/2), Anas menyatakan berhenti bukan saja dari
jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, melainkan juga sebagai kader
partai berlambang Mercy tersebut. Itu konsekuensi atas penetapan dirinya
sebagai tersangka. Bila dalam persidangan tindak pidana korupsi nantinya
terbukti Anas bersalah, bukan mustahil masa depan politiknya akan berakhir.
Ia juga akan dituntut masyarakat agar digantung di Monumen Nasional
(Monas) sesuai dengan janjinya sebelumnya bahwa jika ia korupsi satu rupiah
saja dari kasus Hambalang, ia bersedia digantung di Monas. Namun, bila
sebaliknya, nama Anas akan melambung tinggi sebagai politikus muda yang
dikorbankan SBY.
Hingga kini belum ada penentuan soal siapa Ketua Umum Partai Demokrat
yang definitif. Dua nama wakil ketua umum yang menggantikan Anas, Johnny
Allen Marbun dan Max Sopacua, sangat riskan untuk menggantikan Anas karena
dua nama itu juga pernah disebut tersangkut kasus korupsi. Bila Edhie
Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang menggantikan Anas sebagai ketua umum, nama
Partai Demokrat semakin tenggelam karena SBY akan dituduh mendepak Anas
hanya untuk menaikkan sang anak ke tampuk pimpinan partai.
Tamatkah masa depan politik Anas? Tampaknya belum. Dengan tenang, pada Sabtu (23/2) itu ia menyatakan, “Ini bukanlah akhir dari segalanya. Ini baru halaman pertama. Kita
akan membaca halaman-halaman berikutnya.“ Ia melanjutkan, “Ujian bagi Demokrat sebagai partai yang
bersih, cerdas, dan santun baru dimulai. Juga akan diuji apakah Demokrat partai
yang santun atau yang sadis.“
Setelah menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas
menanggalkan jas biru kebesaran partai tersebut. Itu melambangkan dia bukan
saja mundur dari jabatannya, melainkan juga keluar dari Partai Demokrat.
Penantang Ulung
Anas memang sedang menantang otoritas politik SBY. Anas tampaknya
akan membuka semua aib korupsi yang ada di tubuh Partai Demokrat, termasuk,
tetapi tidak terbatas pada, kasus megas kandal Bank Century dan kasus
Hambalang.
Sejak maju menjadi calon Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres
Nasional Partai Demokrat Mei 2010, ia memang sudah berani menantang SBY.
Saat itu, SBY lebih mendukung Andi Alifian Mallarangeng sebagai calon ketua
umum partai. Namun, Anas tetap maju dan kemudian menang. Sejak itu, ia
bagaikan tokoh muda politik tokoh muda politik yang kemunculannya tidak
diinginkan SBY. Dalam bahasa Anas, ia bagaikan `anak yang kelahirannya tidak diinginkan'. Setiap ada tuduhan
bahwa dia biang keladi penurunan elektabilitas Partai Demokrat, Anas selalu
menyatakan elektabilitas Demokrat menurun karena pemerintahan SBY semakin
tidak populer di mata rakyat.
Di antara Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan SBY sebagai
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat memang ada persaingan tajam. SBY tampaknya
menilai Anas sebagai penantang atas otoritas politiknya di partai. Karena
itu, dalam banyak ke sempatan, SBY berusaha mendelegitimasi Anas. Akhirnya,
Anas baru dapat dijatuhkan dari tampuk kepemimpinan di Partai Demokrat
setelah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
SBY benar-benar berpacu dengan waktu agar Anas jangan sampai tetap
menjadi ketua umum yang menandatangani daftar calon sementara legislatif
yang diserahkan ke Komisi Pemilhan Umum (KPU) pada Maret ini. Tak
mengherankan jika SBY melakukan `operasi kilat' dengan memin kilat' dengan
memin jam tangan KPK un tuk menghancurkan Anas.
Berarti Kehancuran
Pada Sabtu (22/3) itu, bukan mustahil banyak loyalis SBY di Partai
Demokrat bertepuk tangan dan bersorak-sorai gembira atas penetapan Anas sebagai
tersangka korupsi. Di mata mereka, itu akhir dari karier politik Anas.
Namun, jika kita analisis lebih mendalam lagi, se sungguhnya secara tidak
sadar mereka bertepuk tangan dan bersorak gembira atas kehancuran Partai
Demokrat. Para loyalis SBY tidak sadar bahwa penetapan Anas sebagai
tersangka akan menambah daftar kader Demokrat yang tersangkut kasus
korupsi!
Elektabilitas dan konsolidasi Partai Demokrat tidak akan membaik
dengan mundurnya Anas. Sebaliknya, elektabilitas Partai Demokrat akan semakin
terpuruk. Bahkan, dengan bahasa yang agak kasar, para kader dan simpatisan
Partai Demokrat sedang mendengarkan `lonceng kematian' partai.
Konsolidasi internal di tubuh partai itu akan semakin sulit terjadi karena
tidak ada lagi rasa kebersamaan di antara kader partai.
Sebagian anggota Partai Demokrat merupakan orang-orang oportunis yang
hanya memanfaatkan partai sebagai kendaraan politik untuk mendapatkan uang
dan jabatan ketimbang ingin memajukan PD. SBY saat ini juga tidak lagi
menjadi medan magnet pemersatu partai karena ia tokoh masa lalu dan bukan
tokoh masa depan. SBY tidak mungkin lagi dicalonkan sebagai calon presiden
untuk ketiga kalinya karena konstitusi negara hanya membolehkan seseorang
menjabat dua kali sebagai presiden.
Kasus korupsi di Partai Demokrat tidak akan berhenti pada penetapan
Anas sebagai tersangka. Masih ada lembaran-lembaran baru kasus korupsi di
partai itu yang harus dibuka, termasuk kasus megaskandal korupsi Bank
Century. Akan semakin banyak kader Partai Demokrat yang akan ditetapkan
sebagai tersangka korupsi. Di mata SBY, mungkin, dibukanya semua kasus
korupsi di partainya menunjukkan ia ingin membersihkan partainya sendiri.
Namun, sadar atau tidak, SBY kini sedang menggali kubur bagi
partainya sendiri. Rakyat tidak akan melihat dikuaknya tabir korupsi di
Partai Demokrat merupakan wujud keseriusan SBY memberantas korupsi di
negeri ini.
Sebaliknya, rakyat justru akan menilai Partai Demokrat ialah sarang bagi
para koruptor.
Terlebih lagi, rakyat akan menilai SBY yang melakukan poligami
kekuasaan--sebagai ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, ketua
majelis tinggi, dan operator utama penyelamatan Partai Demokrat---ialah
patron partai yang tidak mampu mengatur tingkah laku para kader partainya
sehingga korupsi merajalela di partainya.
Lonceng kematian Partai
Demokrat semakin berdentang keras. Bukan mustahil, jika tidak ada mukjizat
dari Tuhan, Partai Demokrat akan tinggal kenangan pada 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar