Jumat, 01 Maret 2013

Lonceng Kematian Partai Demokrat


Lonceng Kematian Partai Demokrat
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
MEDIA INDONESIA, 28 Februari 2013


HARI yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Jumat (22/2) merupakan hari keramat buat Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pada hari itu, Anas dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi pembangunan kompleks sekolah atlet di Hambalang, Bogor. Sepekan sebelumnya, otoritasnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat telah diambil alih Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Langkah itu merupakan sesuatu yang tidak lazim terjadi di partai politik (parpol) di mana pun di dunia ini.

Mana mungkin seorang ketua majelis tinggi partai bertindak sebagai eksekutif partai? SBY benar-benar mengonsentrasikan semua jabatan partai di tangannya, yakni sebagai ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, ketua majelis tinggi, dan operator utama penyelamat dan pengonsolidasi partai.

Pada Sabtu (23/2), Anas menyatakan berhenti bukan saja dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, melainkan juga sebagai kader partai berlambang Mercy tersebut. Itu konsekuensi atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Bila dalam persidangan tindak pidana korupsi nantinya terbukti Anas bersalah, bukan mustahil masa depan politiknya akan berakhir.

Ia juga akan dituntut masyarakat agar digantung di Monumen Nasional (Monas) sesuai dengan janjinya sebelumnya bahwa jika ia korupsi satu rupiah saja dari kasus Hambalang, ia bersedia digantung di Monas. Namun, bila sebaliknya, nama Anas akan melambung tinggi sebagai politikus muda yang dikorbankan SBY.

Hingga kini belum ada penentuan soal siapa Ketua Umum Partai Demokrat yang definitif. Dua nama wakil ketua umum yang menggantikan Anas, Johnny Allen Marbun dan Max Sopacua, sangat riskan untuk menggantikan Anas karena dua nama itu juga pernah disebut tersangkut kasus korupsi. Bila Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang menggantikan Anas sebagai ketua umum, nama Partai Demokrat semakin tenggelam karena SBY akan dituduh mendepak Anas hanya untuk menaikkan sang anak ke tampuk pimpinan partai.

Tamatkah masa depan politik Anas? Tampaknya belum. Dengan tenang, pada Sabtu (23/2) itu ia menyatakan, “Ini bukanlah akhir dari segalanya. Ini baru halaman pertama. Kita akan membaca halaman-halaman berikutnya.“ Ia melanjutkan, “Ujian bagi Demokrat sebagai partai yang bersih, cerdas, dan santun baru dimulai. Juga akan diuji apakah Demokrat partai yang santun atau yang sadis.“

Setelah menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas menanggalkan jas biru kebesaran partai tersebut. Itu melambangkan dia bukan saja mundur dari jabatannya, melainkan juga keluar dari Partai Demokrat.

Penantang Ulung

Anas memang sedang menantang otoritas politik SBY. Anas tampaknya akan membuka semua aib korupsi yang ada di tubuh Partai Demokrat, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, kasus megas kandal Bank Century dan kasus Hambalang.

Sejak maju menjadi calon Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres Nasional Partai Demokrat Mei 2010, ia memang sudah berani menantang SBY. Saat itu, SBY lebih mendukung Andi Alifian Mallarangeng sebagai calon ketua umum partai. Namun, Anas tetap maju dan kemudian menang. Sejak itu, ia bagaikan tokoh muda politik tokoh muda politik yang kemunculannya tidak diinginkan SBY. Dalam bahasa Anas, ia bagaikan `anak yang kelahirannya tidak diinginkan'. Setiap ada tuduhan bahwa dia biang keladi penurunan elektabilitas Partai Demokrat, Anas selalu menyatakan elektabilitas Demokrat menurun karena pemerintahan SBY semakin tidak populer di mata rakyat.

Di antara Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat memang ada persaingan tajam. SBY tampaknya menilai Anas sebagai penantang atas otoritas politiknya di partai. Karena itu, dalam banyak ke sempatan, SBY berusaha mendelegitimasi Anas. Akhirnya, Anas baru dapat dijatuhkan dari tampuk kepemimpinan di Partai Demokrat setelah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

SBY benar-benar berpacu dengan waktu agar Anas jangan sampai tetap menjadi ketua umum yang menandatangani daftar calon sementara legislatif yang diserahkan ke Komisi Pemilhan Umum (KPU) pada Maret ini. Tak mengherankan jika SBY melakukan `operasi kilat' dengan memin kilat' dengan memin jam tangan KPK un tuk menghancurkan Anas.

Berarti Kehancuran

Pada Sabtu (22/3) itu, bukan mustahil banyak loyalis SBY di Partai Demokrat bertepuk tangan dan bersorak-sorai gembira atas penetapan Anas sebagai tersangka korupsi. Di mata mereka, itu akhir dari karier politik Anas. Namun, jika kita analisis lebih mendalam lagi, se sungguhnya secara tidak sadar mereka bertepuk tangan dan bersorak gembira atas kehancuran Partai Demokrat. Para loyalis SBY tidak sadar bahwa penetapan Anas sebagai tersangka akan menambah daftar kader Demokrat yang tersangkut kasus korupsi!

Elektabilitas dan konsolidasi Partai Demokrat tidak akan membaik dengan mundurnya Anas. Sebaliknya, elektabilitas Partai Demokrat akan semakin terpuruk. Bahkan, dengan bahasa yang agak kasar, para kader dan simpatisan Partai Demokrat sedang mendengarkan `lonceng kematian' partai.

Konsolidasi internal di tubuh partai itu akan semakin sulit terjadi karena tidak ada lagi rasa kebersamaan di antara kader partai.

Sebagian anggota Partai Demokrat merupakan orang-orang oportunis yang hanya memanfaatkan partai sebagai kendaraan politik untuk mendapatkan uang dan jabatan ketimbang ingin memajukan PD. SBY saat ini juga tidak lagi menjadi medan magnet pemersatu partai karena ia tokoh masa lalu dan bukan tokoh masa depan. SBY tidak mungkin lagi dicalonkan sebagai calon presiden untuk ketiga kalinya karena konstitusi negara hanya membolehkan seseorang menjabat dua kali sebagai presiden.

Kasus korupsi di Partai Demokrat tidak akan berhenti pada penetapan Anas sebagai tersangka. Masih ada lembaran-lembaran baru kasus korupsi di partai itu yang harus dibuka, termasuk kasus megaskandal korupsi Bank Century. Akan semakin banyak kader Partai Demokrat yang akan ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Di mata SBY, mungkin, dibukanya semua kasus korupsi di partainya menunjukkan ia ingin membersihkan partainya sendiri.

Namun, sadar atau tidak, SBY kini sedang menggali kubur bagi partainya sendiri. Rakyat tidak akan melihat dikuaknya tabir korupsi di Partai Demokrat merupakan wujud keseriusan SBY memberantas korupsi di negeri ini.

Sebaliknya, rakyat justru akan menilai Partai Demokrat ialah sarang bagi para koruptor.
Terlebih lagi, rakyat akan menilai SBY yang melakukan poligami kekuasaan--sebagai ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, ketua majelis tinggi, dan operator utama penyelamatan Partai Demokrat---ialah patron partai yang tidak mampu mengatur tingkah laku para kader partainya sehingga korupsi merajalela di partainya.

Lonceng kematian Partai Demokrat semakin berdentang keras. Bukan mustahil, jika tidak ada mukjizat dari Tuhan, Partai Demokrat akan tinggal kenangan pada 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar