Di dunia ini ada dua profesi
penting— karena memikul tanggung jawab besar—yang sangat membutuhkan
kemandirian, yaitu hakim dan ilmuwan. Hakim penjaga gerbang keadilan,
ilmuwan penjaga gerbang moral.
Hakim membutuhkan kemandirian agar
dapat menjalankan fungsinya memberi keadilan substantif kepada pencari
keadilan. Putusannya harus terbebas dari kepentingan politik kekuasaan dan
uang karena merupakan keputusan atas nama Tuhan.
Ilmuwan juga sangat membutuhkan
kebebasan akademik agar dapat bekerja dan berprestasi seluas-luasnya demi
kemajuan ilmu pengetahuan dan perubahan menuju kehidupan umat manusia yang
lebih baik. Kebebasan akademik dimaksudkan agar ilmuwan dapat melakukan
fungsi Tri Dharmanya.
Lebih dari itu, agar ilmuwan dapat
mengabdi pada ilmu pengetahuan, ia harus terbebas dari intervensi kekuatan
politik dan uang melalui pemerintah, pasar, dan kepentingan masyarakat
tertentu. Bagaimanakah keadaannya di Indonesia?
Kemandirian Hakim
Keberhasilan perjuangan hakim
untuk mendapatkan kemandiriannya dilekatkan dengan upaya penyatuan urusan
kehakiman dan organisasi dalam satu atap Mahkamah Agung, melalui
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Namun, ternyata sistem ”satu atap” belum
menyelesaikan persoalan.
Dalam rumusan amendemen kedua
konstitusi, dan beberapa UU dan kebijakan turunannya, kekuasaan kehakiman
lebih diserahkan kepada struktur lembaga pengadilan (MA dan badan peradilan
yang ada di bawahnya). Implikasinya, penempatan kekuasaan kehakiman lebih
kepada ketua-ketua lembaga dan pelaksananya, bukan para hakim.
Dalam hubungan semacam ini ada
relasi atasan-bawahan secara administratif, yang mengaburkan posisi
kekuasaan kehakiman dan kemandirian hakim. Dalam mengadili perkara, hakim
lebih mengabdi pada kepentingan birokrasi (atasan) daripada memberi putusan
sesuai keyakinan keadilannya. Kenyataan ini pun tidak selaras dengan
prinsip konvensi internasional seperti The
Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002) yang mendahulukan
kemandirian hakim individual, barulah kemandirian hakim secara
institusional.
Tujuan amandemen konstitusi untuk
menegakkan negara hukum (rechtstaat)
itu tak mampu menghilangkan sepenuhnya fenomena negara kekuasaan (machstaat). Reformasi peradilan
belum membuahkan hasil karena masih ada peradilan berbiaya tinggi, korupsi
dan mafia, yang semakin menjauhkan warga masyarakat dari keadilan.
Sebagian hakim memandang bahwa
sebagai penjaga gerbang keadilan mereka pun masih harus memperjuangkan
keadilan bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, mereka merasa sering
disalahkan oleh masyarakat yang menganggap putusan mereka buruk, bernuansa
korupsi, dan anggapan lain yang tidak menguntungkan. MA pun dipertanyakan
dalam tata kelola terkait rekrutmen, mutasi, promosi, dan pengawasan hakim.
Praktik kinerja MA ditengarai hanya menggantikan tirani kekuasaan
pemerintah.
Masih ada banyak persoalan lain
yang dihadapi hakim di lapangan, di antaranya: (1) kesejahteraan dan
fasilitas yang tidak memadai; (2) kultur pengadilan yang kurang kondusif;
(3) hakim tak punya suara dalam menentukan anggaran bagi kebutuhan
peradilan; (4) ketiadaan perlindungan keamanan, terutama mereka yang di
daerah terpencil, perbatasan, atau rawan konflik
Kebebasan Akademik
Akan halnya ilmuwan, sampai hari
ini masih memperjuangkan kebebasan akademiknya, esensi yang sangat
dibutuhkan untuk dapat menghasilkan karya bermutu melalui penelitian,
publikasi, dan pengajaran. Prestasi ilmuwan dan perguruan tinggi adalah
soko guru kemajuan bangsa. Kebebasan akademik hanya dapat dicapai jika ada
otonomi. Bentuknya adalah badan hukum, sebagaimana yang dicita-citakan para
pendiri bangsa kita. Maksudnya, agar ilmuwan mengabdi pada ilmu pengetahuan
(dan kemanusiaan), bukan pada birokrasi pemerintah.
Otonomi mensyaratkan aspek
akademis dan non-akademis berupa good
university governance dalam pengelolaan. Tugas pemerintah dalam hal ini
adalah mendukung, memfasilitasi, terutama dalam pendanaan, sebagaimana
diamanatkan konstitusi, tetapi sama sekali tidak mengintervensi dalam
bentuk apa pun.
Setidaknya ada tujuh universitas
besar yang sudah siap dan menata diri menjadi universitas otonomi sejak
awal 2000. Hal ini dilakukan dalam kondisi keuangan yang terbatas karena
dana dari pemerintah tak mencukupi untuk dibagi kepada 96 PTN. Selisih
antara dana pemerintah dan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang nyata
ditutup dengan kesediaan para dosen digaji sangat murah oleh pemerintah.
Itu pun belum cukup. Karena itu,
untuk dapat membiayai penyelenggaraan pendidikan berkualitas yang memang
mahal harus didapat dana dari publik. Struktur dan sistem universitas
dipersiapkan agar transparansi dan akuntabilitas dapat terjaga.
Dalam rangka memperjuangkan
kebebasan akademiknya, ketujuh universitas tersebut menuntut agar
kewenangan akademik, personalia, dan keuangan diberikan kepada universitas.
Fakta menunjukkan, memang prestasi akademik ilmuwan Indonesia berupa
publikasi ilmiah internasional dan penemuan lebih banyak disumbangkan
ilmuwan dari universitas otonom.
Namun, bagaimanakah sikap para
hakim ketika merespons para ilmuwan yang memperjuangkan kebebasan
akademiknya? Setidaknya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya tahun
2009 telah menutup jalan menuju otonomi PT, dengan menyatakan tak berlaku
UU No 9/2009 PT BHMN yang jadi landasan hukum penting. Putusannya pun
bersifat ultra petitum karena yang dimohonkan peninjauan beberapa pasal,
tapi keberadaan seluruh UU itu dihapuskan.
Tampaknya kurang dipahami bahwa
sebagai sebuah lembaga, universitas itu bersifat sangat khusus, berbeda
dengan lembaga politik dan bisnis. Kekhususan itu terletak pada fungsinya
yang menguji ilmu pengetahuan berdasarkan riset dan pengajaran. Bentuk
badan hukum universitas adalah publik karena sifat non- profit, ada campur
tangan negara dalam pendanaan, dan menjalankan kegiatan kepentingan publik.
Dalam perkembangannya sekarang, badan publik tak dapat menyelesaikan semua
persoalannya dengan mengandalkan hukum publik, jadi dimungkinkan penggunaan
peranti hukum privat.
Kepentingan populis, wacana
mempelesetkan otonomi dan badan hukum universitas sebagai ”komersialisasi”,
”privatisasi” oleh sebagian warga masyarakat, tampaknya lebih dipentingkan
daripada tujuan mewujudkan cita-cita mendasar menjadikan ilmuwan Indonesia
berprestasi bagi kesejahteraan umat manusia dan peradaban di masa depan.
Logika yang sangat aneh. Di satu sisi, banyak hakim yang memperjuangkan
kemandiriannya. Namun, di pihak lain, ketika para ilmuwan memperjuangkan
kebebasan akademiknya, hakim (MK) mematahkan perjuangan para ilmuwan.
Tidakkah ini ironis? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar