Senin, 04 Maret 2013

Teladan Kerendahan dan Etika


Teladan Kerendahan dan Etika
Aloys Budi Purnomo ;  Rohaniwan, Ketua Komisi
Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
SUARA MERDEKA, 04 Maret 2013



"Paus Benediktus XVI memberi teladan bahwa demi kemaslahatan bersama kekuasaan tak harus dipertahankan"

HARI Jumat, 1 Maret 2013 tepat pukul 01.00 dini hari waktu Indonesia Barat (WIB), Paus Benediktus XVI secara resmi lengser dari Tahta Suci di Vatikan. Dalam hitungan waktu Roma, pengunduran diri resmi terjadi pada 28 Februari 2013, pukul 20.00. Tiga pekan sejak pengumuman pengunduran dirinya, 11 Februari 2013, muncul beragam reaksi dari berbagai pihak. Keputusan pengunduran diri tersebut memang menggemparkan

Mewakili para kardinal menanggapi pidato pengunduran diri Paus, Kardinal Sodano mengatakan, keputusan itu bagaikan ’’petir yang menyambar di langit yang cerah’’. 

Pada umumnya, para pemimpin politik dan agama di seluas dunia merasa terkejut, heran, sekaligus menyayangkan keputusan tersebut.

Secara moral politik kepemimpinan, tak sedikit yang memberikan apresiasi positif realitas ini. Salah satunya, politikus Italia yang mengatakan bahwa pilihan siap lengser Paus menjadi sebuah teladan kerendahatian hati dan pelajaran etis bagi politikus. Tindakan Paus menurut politikus itu menggambarkan semangat pelayanan untuk meletakkan kepentingan umum di atas segala usaha tak halal demi mempertahankan kekuasaan.

Paus Benediktus XVI mengundurkan diri mendasarkan alasan kesehatan dan faktor usia. Dalam surat pengumuman pengunduran diri itu, ia dengan rendah hati dan secara tulus menyampaikan alasan pokok pengunduran diri itu karena kesehatannya menurun. Kesadaran akan ketidakmampuan secara fisik dan medik untuk menjalankan tugas penggembalaan sebagai pemimpin tertinggi bagi sekurang-kurangnya 1,1 miliar umat Katolik di seluruh dunia membuat ia memutuskan diri untuk mundur.

Keputusan untuk mengundurkan diri pun tidak secara tiba-tiba. Keputusan itu sudah dipertimbangkan secara matang di dalam discernment (wiweka) yang serius dan doa yang terus-menerus. Dalam segala kerendahan hatinya, Paus Benediktus XVI menghayati semangat kejawen sebagai sang satriya pinandhita sinisihan wahyu.

Ia hadir sebagai kesatria suci didampingi wahyu Ilahi. Ia hadir sebagai pemimpin suci, taat pada kehendak Tuhan dan agama, membawa damai sejahtera dalam ketulusan demi kebaikan kepentingan yang lebih luas. Bapa Suci Benediktus XVI begitu terpusat pada Tuhan. Dia hanya mencari kehendak-Nya demi kebaikan gereja, maka tidak terlekat  pada status, kedudukan, posisi atau peranannya.
Benediktus XVI tidak merasa bahwa mimbar untuk pengajarannya harus dipertahankan untuk menyampaikan visi sebagai pengajar resmi gereja. Sejak awal setelah terpilih menjadi paus delapan tahun silam, menggantikan mendiang Paus Johannes Paulus II, ia sudah mengatakan, ’’Saya hanyalah seorang karyawan yang hina di kebun anggur Tuhan.’’

Sikap Kesatria

Maka setelah menyadari keterbatasannya, ia memilih mengundurkan diri dan menyerahkan tugas kepada orang lain yang lebih muda dan yang lebih kuat dengan kepercayaan penuh pada Tuhan yang membimbing gereja. Inilah persis semangat dan sikap seorang satriya pinandhita sinisihan wahyu.
Keputusannya sangat revolusioner secara spiritual dan sosial. Setelah mengundurkan diri, ia juga memilih untuk hidup dalam keheningan doa dan refleksi bagi gereja dan dunia di pertapaan Vatikan. Ia terpanggil untuk "mendaki gunung doa bersama Tuhan" bagi umat dan masyarakat.

Dalam semangat satriya pinandhita sinisihan wahyu, keputusan Benediktus XVI mengundurkan diri sangat konsisten dengan apa yang tela dikatakannya dalam wawancara sebagaimana tercantum dalam buku Light of the World (terbit tahun 2010). Saat ditanya, ’’Dalam situasi sulit yang menjadikan tugasnya berat pada saat itu, apakah Sri Paus akan mempertimbangkan kemungkinan untuk mengundurkan diri?’’ Atas pertanyaan itu, dengan tulus ia menjawab, ’’Bila ada bahaya yang besar, tidak mungkin melari­kan diri. Saat seperti itu sama sekali bukan saat untuk mengundurkan diri... dengan bilang biar seorang lain mengurusnya.’’

Pada saat-saat seperti itu dia harus bertahan kuat dan menghadapi situasi yang sulit. Akan tetapi kalau seorang Paus menyadari secara jelas bahwa ia tidak lagi mampu lagi memenuhi peranannya karena alasan daya fisik, mental, dan spiritual tidak memadai, ada kemungkinan secara hukum untuk mengundurkan diri dan bahkan ada kewajiban melakukannya.

Kini, ia membuktikan secara konsisten semangat kesatria penuh wibawa itu. Di tengah suasana dunia yang dipenuhi oleh manusia-manusia yang dikuasai hasrat berkuasa selama-lamanya, bahkan lewat cara menghalalkan segala cara demi mempertahankan syahwat kekuasaan, Paus Benediktus XVI telah memberikan teladan bahwa demi kemaslahatan bersama kekuasaan tak harus dipertahankan habis-habisan.

Grazie mille Santo Padre (sangat banyak terima kasih Bapa Suci) atas teladan kepemimpin sebagai servus servorum Dei (abdi segala abdi Tuhan). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar