Senin, 04 Maret 2013

Pertumbuhan Semu


Pertumbuhan Semu
Pande Radja Silalahi ;  Ekonom CSIS
SUARA KARYA, 04 Maret 2013


Tahun 2012 secara riil ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 6,23 persen. Meskipun raihan ini di bawah target, namun bila dibandingkan dengan negara-negara lain, pertumbuhan ini relatif tinggi. Pertanyaannya, mengapa masyarakat tetap merasa tidak puas dan beranggapan pemerintah belum melaksanakan tugasnya dengan baik? Memasuki tahun politik 2013 ini, jawaban atas pertanyaan itu perlu dicari dan seyogianya ditemukan.

Tidak dapat dipungkiri, selama pemerintahan SBY, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi, mencapai sekitar 5,9 persen secara rata-rata setiap tahun selama periode 2004-2012. Namun, bila ditelaah lebih jauh ternyata perolehan pendapatan menjadi semakin pincang.

Bila tahun 2004 lalu, 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima sekitar 20,80 persen dari seluruh pendapatan; maka pada Maret 2012, kelompok masyarakat tersebut hanya menerima 16,98 persen dari seluruh pendapatan. Di sisi lain, 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi memperoleh 42,07 persen dari seluruh pendapatan tahun 2004, pada Maret 2012 saham mereka telah mencapai 48,61 persen. Dengan perkembangan ini Gini Ratio Indonesia meningkat dari 0,32 tahun 2004 menjadi 0,41 pada 2012, suatu angka tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Benar, jumlah penduduk miskin dapat ditekan dari 36,10 juta orang (16,66 persen dari jumlah penduduk) tahun 2004 menjadi sekitar 28,59 juta orang (11,66 persen dari jumlah penduduk) pada 2012. Namun, pengurangan penduduk miskin tampaknya tidak berarti banyak karena kepincangan semakin menganga.

Secara makro, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak memuaskan karena pertumbuhan ekonomi yang relatif pesat tidak dibarengi dengan pembagian pendapatan yang lebih baik.
Sudah berulang kali para analis atau ekonom di negeri ini mengusulkan agar subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) yang sebagian terbesar dinikmati oleh penduduk tidak miskin ditata kembali dan dana yang ada dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur ekonomi, terutama di pedesaan atau yang dekat dengan penduduk. Namun, sampai sekarang, kebijakan yang diterapkan ternyata semakin menjauhi rakyat miskin dan bahkan pada hal-hal tertentu justru menciptakan ekonomi biaya tinggi.

Di masa sebelum reformasi, pertumbuhan ekonomi yang tercipta mampu menciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah signifikan. Selama periode 1993-2003, misalnya, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata sekitar 3 persen per tahun dan dalam periode tersebut mampu menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 12.972.496 orang. Ini berarti setiap pertumbuhan ekonomi (GDP) sebesar 1 persen mampu menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 371 ribu pekerja.

Tetapi, dalam periode pemerintahan SBY (2004-2012), walaupun ekonomi secara rata-rata tumbuh 5,9 persen per tahun, lapangan kerja yang tercipta sekitar 17.086.098 orang. Jadi, setiap pertumbuhan riil PDB sebesar 1 persen mampu menciptakan lapangan kerja dengan jumlah di bawah 300 ribu pekerja.

Selain itu, jumlah penduduk yang menggeluti sektor pertanian berkurang sekitar 1,7 juta, dari 40,6 juta tahun 2004 menjadi 38.9 pada Agustus 2012. Perkembangan ini menunjukkan, pertama, ekonomi Indonesia semakin pelit dalam menciptakan lapangan kerja. Kedua, pergeseran pekerja dari pertanian ke sektor lainnya tidak berjalan sesuai tuntutan yang ada.

Ketidakmampuan pemerintah menciptakan kegiatan ekonomi padat tenaga kerja selama beberapa tahun belakangan ini akan menjadi masalah yang sangat serius dalam beberapa tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar