KARDINAL Jorge Mario Bergoglio akhirnya
terpilih sebagai paus. Sebagaimana pemilihan paus terdahulu, liputan media
kali ini begitu luar biasa. Ini menunjukkan
betapa paus dan negara kecil Vatikan secara geopolitik memiliki posisi
signifikan dalam percaturan global dewasa ini.
Menarik bahwa paus berdarah Italia dan
berkebangsaan Argentina itu memilih nama Fransiskus. Sebagaimana
dikutip CNN, pakar soal Vatikan John Allen berpendapat, nama
Fransiskus itu merujuk pada salah seorang tokoh yang paling dihormati di
Gereja Katolik, yakni Santo Fransiskus dari Asisi, Italia. Dia adalah
lambang kerendahhatian, kesederhanaan, dan keberanian untuk melintas
batas-batas agama (passing over) demi menjalin persaudaraan dengan
semua orang.
Jika kita flashback dalam sejarah relasi Islam dan
Kristen, Fransiskus punya peran monumental. Pada 1219, ketika Perang Salib
tengah berkecamuk antara kaum Kristen dan kaum muslim guna memperebutkan
hegemoni atas Yerusalem (Al-Quds), Fransiskus dengan ketulusan dan
kerendahan hati pergi ke tepi Nil, Mesir, menemui Sultan Malik al-Khamil
yang notabene adalah musuh gereja. Al-Khamil adalah keponakan Sultan
Salahuddin Al Ayyubi (Saladin), pahlawan muslim legendaris melawan kaum
salib.
Fransiskus hadir sambil mengaku diri sebagai
orang Kristen. Tentu itu sebuah tindakan berani, mengingat ketika itu
permusuhan sedang panas. Fransiskus ternyata diterima untuk berdiskusi
beberapa hari dan membuktikan Islam ternyata cinta damai (Islam dari kata aslama, berarti damai).
Bahkan, menurut situs www.hidupkatolik.com, Fransiskus sangat terkesan pada
lantunan azan di tengah masyarakat muslim. Dia ingin penanda semacam itu
dilakukan di wilayah kristiani. Digunakanlah lonceng angelus sore hari sebagai penanda doa.
Langkah ikhtiar damai yang diambil
Fransiskus berhasil menginspirasi banyak pihak, terutama gereja, untuk
mulai membuka diri dari eksklusivisme. Spirit hidup Fransiskus mewarnai
gereja sehingga pada zaman ini gereja punya cara pandang baru terhadap
Islam.
Cara pandang gereja yang positif dan
apresiatif itu bisa dilihat dalam dokumen Nostra Aetate, yang merupakan
salah satu hal penting dalam Konsili Vatikan II. Dalam dokumen Nostra
Aetate yang diketok pada 28 Januari 1965, Gereja Katolik berani mengakui
kebenaran dalam agama-agama lain. Bahkan, menyangkut relasinya yang buruk pada
masa lalu, Gereja Katolik berani mengakui kesalahan dan mengajak setiap
umat beragama ke depan untuk lebih berfokus mengusahakan saling pengertian,
memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian, dan persaudaraan
antarmanusia.
Dokumen Konsili Vatikan II, antara lain,
berbunyi: ''Orang-orang Islam yang mengikuti akidah Nabi Ibrahim menyembah
bersama kita kepada Tuhan yang Tunggal, yang maha penyayang, yang akan
mengadili manusia pada hari akhir.''
Teladan Kanjeng Rasul
Nah, cara pandang positif itu sebenarnya
sudah lama menjadi sikap dan cara hidup junjungan umat Islam Kanjeng Rasul
Muhammad SAW. Pada abad VI, Kanjeng Rasul sudah mengajarkan bagaimana kita
harus menyikapi perbedaan agama tanpa bersikap diskriminatif. Dalam hal
interaksi dengan ''ahlul kitab'' (termasuk Kristen), Kanjeng Nabi sangat
terkenal dengan toleransinya. Itu bisa dilihat dari adanya Piagam Madinah
yang terkenal tersebut.
Harold Coward juga menulis dalam bukunya Pluralisme-Tantangan bagi
Agama-Agama bahwa,
''Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan dari tradisi
alkitabiah Yahudi dan Kristen. Rasa hormat beliau terhadap tradisi
alkitabiah sungguh diperlihatkan dalam ajarannya.''
Relasi Muhammad dengan orang Kristen dimulai
sejak awal Islam. Pernah dikisahkan, suatu hari Khadijah mengajak Muhammad,
suaminya, mengunjungi saudara sepupunya, Waraqah ibnu Naufal, yang menjadi
rahib Kristen. Waraqah itulah yang menjelaskan makna kedatangan Gabriel
atau malaikat Jibril sebagai isyarat bahwa Muhammad telah diangkat menjadi
seorang rasul.
Ketika sekarang seolah relasi antara Islam
dan Kristen tengah memburuk, sebenarnya kita perlu melanjutkan spirit Nabi
Muhammad dan spirit Fransiskus untuk saling mengapresiasi. Di tengah isu
terorisme dan kekerasan yang menodai Islam dan memburukkan nama Islam di
Barat, sehingga memunculkan islamofobia atau ketakutan terhadap Islam,
Gereja Katolik justru menampilkan solidaritas kepada Islam.
Bahkan, paus kerap mengecam pihak yang
menghina Islam. Ketika meledak kemarahan karena kartun Nabi Muhammad dalam
surat kabar Jyllands-Posten, Denmark, edisi 30 September 2005,
Paus Benediktus XVI menyatakan, kebebasan berekspresi bukan berarti
kebebasan menghina umat agama lain (Islam). Demikian juga di tengah kasus
film The Innocence of
Muslims di Youtube yang jelas-jelas amat menghina
pribadi Nabi Muhammad, Paus Benediktus menilai film itu merupakan produk
yang tidak beradab.
Kita berharap Paus Fransiskus I juga
melanjutkan kebijakan para pendahulunya yang apresiatif pada Islam, demi
sebuah dunia yang lebih baik, damai, dan saling menghormati. Bagaimanapun,
junjungan kaum kristiani, yakni Almasih, adalah salah satu rasul utama yang
teguh hati atau ulul azmi bagi kaum muslim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar