Karena pantun saja tak cukup untuk membuktikan
perhatiannya pada Betawi, Gubernur Jokowi menjanjikan hendak memugar makam
Pangeran Jayakarta di Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.
Saat itu, 3 Maret 2013, Jokowi membuka Musyawarah Besar
VI Bamus Betawi. Menilik di mana Jokowi menyatakannya, jelas ia menganggap
Pangeran Jayakarta ini sosok historis bagi orang Betawi. Lebih jauh, ia
meyakini di Jatinegara Kaum itulah dimakamkan Pangeran Jayakarta.
Kepercayaan ini tampaknya bukan baru saja, melainkan sudah sejak ia
mencalonkan diri jadi gubernur. Jokowi, setelah dari KPUD (19 Maret 2012),
menyatakan ingin nyekar dan ngalap berkah ke makam keramat orang yang
dikatakannya sebagai cikal-bakal Kota Jakarta.
Siapakah Pangeran Jayakarta dan apa makna tindakan
Jokowi itu? Menarik untuk tidak sekadar menguji apakah basis tindakan
Jokowi itu suatu kesadaran sejarah. Lebih jauh, apakah Jokowi, yang disebut
sebagai pembawa arus baru demokrasi dan modernisasi, juga bagian dari
politikus kontemporer Indonesia yang lekat dengan aneka corak ritual
pemujaan "orang-orang penting" yang sudah meninggal dengan alasan
politik?
Jika menengok kajian Adolf Heuken, Uka Tjandrasasmita,
Hasan Muarif Ambari, dan Rachmat Ruhiyat, maka nama Pangeran Jayakarta
lebih berkait dengan sejarah Jakarta. Bahkan menurut Slamet Mulyana, dari
nama Pangeran Jayakarta itulah nama Jakarta berasal. Anggapan keliru ini
terus bertahan, meskipun telah dipatahkan dengan ditemukannya kata Xacatara
di buku J. de Barros, Decadas da Asia, yang ditulis pada 1553. Sedangkan
Pangeran Jayakarta diangkat menjadi Adipati Jayakarta 50 tahun setelahnya,
yaitu 1603.
Nama Jakarta memang berasal dari Jayakarta, suatu nama
yang dikenalkan dan menandai babak baru setelah Fatahillah menaklukkan
Kalapa atau kota kuno Jakarta pada 1527. Itulah masa ketika Kalapa sebagai
kota bandar leluhur orang Betawi memudar. Kota bandar besar itu jatuh di
bawah penguasaan Demak, yang didelegasikan pengurusannya kepada kota
pesaingnya, Banten. Fatahillah naik, lalu Tubagus Angke, selanjutnya
Pangeran Jayakarta yang berakhir dalam konflik besar 1619, saat Jayakarta
hancur serta Belanda membangun kota baru di atas reruntuhannya sebagai
basis, menjadi adikuasa baru di Nusantara.
Konflik besar 1619 bermula dari hasrat Pangeran
Jayakarta menghidupkan kembali perniagaan internasional di wilayahnya. Ia
undang Belanda, lalu Inggris. Dan keputusannya itu berbahaya. Situasi
memanas dan akhirnya tak terkendali. Terutama setelah Pangeran Jayakarta
pada 15 Februari 1619 dipanggil Pangeran Ranamanggala karena dianggap
lancang dan merusak perniagaan Banten dengan mengundang Inggris ke
Jayakarta.
Penelitian sejarah menunjukkan, setelah Ranamanggala
memanggilnya, Pangeran Jayakarta tak pernah lagi kembali ke Jayakarta. Ia
dipecat. Sejarawan Hussein Djajadiningrat mengungkapkan, sang pangeran
disingkirkan ke pegunungan di udik wilayah Banten, di Tanara, sebelah barat
Jayakarta. Di sana ia menghabiskan umur sebagai nelayan. Ketika meninggal,
jasadnya dikebumikan di Desa Katengahan, sekitar 5 kilometer dari Serang
dan 90 kilometer sebelah barat Jakarta.
Lantas bagaimana dengan makam di Jatinegara Kaum yang
disebut makam Pangeran Jayakarta? Sejarawan Kota Jakarta, Heuken, dalam
Historical Sites of Jakarta (1995); dan Ruchiyat dalam Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta (2011), mengungkapkan bahwa
Jatinegara Kaum tidak berkait dengan Pangeran Jayakarta, melainkan dengan
Pangeran Purbaya--putra Sultan Ageng Tirtayasa. Makam di sana yang di
sekitar Masjid as-Shalafiah adalah makam elite Banten, yakni Pangeran
Sanghyang, Pangeran Sageri, Raden Sakee, dan Achmad Jaketra.
Ditinjau dari berbagai segi, makam Achmad Jaketra yang
sering diidentifikasi sebagai makam Pangeran Jayakarta yang melawan Kompeni
tidaklah mungkin. Keduanya orang berlainan dan berasal dari periode hidup
berbeda. Achmad Jaketra mengacu pada Mas Ahmad, cucu Kiai Surawinata dari
Banten. Mas Ahmad pun memilih jalan berbeda dari kakeknya itu, bahkan kakek
buyutnya Pangeran Jayakarta, juga kerabat pendahulunya yang dimakamkan di
Jatinegara Kaum. Mereka memerangi Kompeni dan sampai dihukum buang.
Sedangkan Mas Ahmad pada 1724 diangkat Kompeni menjadi regent atau Bupati
Jatinegara Kaum. Sampai 1740, dagregister Kota Batavia mencatat Mas Ahmad
menyerahkan hasil pertanian, terutama kopi 2.372,5 pikul atau 14.650 kg.
Sejak 1913, saat karya kesarjanaan sejarah pertama
Djajadiningrat Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten diterbitkan,
soal makam Pangeran Jayakarta bukan di Jatinegara Kaum sudah disinggung.
Langkah Djajadiningrat diteruskan demi melihat masa lalu Pangeran Jayakarta
terkait dengan Jatinegara Kaum dalam perspektif sejarah bukan mitos. Tapi
ini tak pernah menjadi arus utama. Dalam soal makam Pangeran Jayakarta, story yang datang dari tuturan
interpretatif kuncen lebih diterima ketimbang history sebagai hasil pencarian akademis yang kritis. Diskusi
terbuka sejarah dikhawatirkan menimbulkan keresahan sosial mengingat makam
itu telah menjadi tujuan ziarah nasional dan simbol identifikasi resmi
Jakarta.
Pemerintah Jakarta jelas mendukung sikap itu sejak 1968
melalui program pemugaran dan ziarah rutin gubernur tiap ulang tahun
Jakarta. Demikianlah mitos dipakai melihat sejarah, dan yang tampak hanya
peristiwa yang telah dimitoskan. Tentu saja kemantapan normatif, idealisasi
tokoh, yang dilekatkan pada Pangeran Jayakarta bisa terjamin, meskipun
kearifan sejarah--apalagi pengetahuan sejarah--tertinggal. Jokowi, meskipun
berkonsep "Jakarta Baru", memilih menjadi bagian dari praktek dan
pemikiran para gubernur Jakarta lama.
Akhirnya, bagi Jokowi dan para gubernur
pendahulunya, bukan hanya tak penting simbol identitas Kota Jakarta harus
berakar dari sejarah faktual kota itu sendiri. Tapi juga tindakan mereka
nyekar dan memugar makam sukar dikatakan berkait dengan suatu kesadaran
sejarah. Hal itu lebih merupakan pertunjukan keyakinan umumnya politikus
kontemporer Indonesia, dari kepala desa sampai presiden, akan hubungan
supranatural yang bersifat timbal balik dengan yang disebut the potent dead atau orang-orang
penting yang telah meninggal dan dipercaya berperanan memberi berkah,
perlindungan, nasihat, serta kekuatan politis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar