Politik
antara Das Sein dan Das Sollen
Mohammad Nasih ;
Pengajar di Program Pascasarjana
Ilmu Politik UI dan FISIP
UMJ Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat
|
|
KORAN
SINDO, 23 Maret 2013
Kata “politik” berasal dari bahasa Yunani
“polis”, berarti kota. Dalam konteks Yunani Kuno saat itu, kota itulah
negara. Wilayah negara tidak terlalu luas dan penduduknya hanya puluhan
ribu.
Karena itu, polisdi Yunani Kuno dikonsepsikan sebagai “negarakota” (city state). Karena itu pula,
politik dipahami sebagai segala daya upaya untuk menata kota (baca:
negara). Jelas sekali bahwa politik berkonotasi positif untuk menciptakan
kebaikan bersama. Negara menjadi sarana untuk menciptakan
kebijakan-kebijakan politik untuk mengatur atau mengelola negara sehingga
kebaikan bersama bisa terwujud.
Namun, kata “politik” kemudian mengalami pergeseran semantik sehingga
menjadi berkonotasi negatif. Pergeseran ini terjadi karena politik yang
seharusnya diselenggarakan oleh para filsuf, karena merekalah yang
memiliki perspektif komprehensif untuk membangun negara, tetapi
kenyataannya seringkali justru dikuasai oleh orang-orang dengan kualitas
medioker, bahkan lebih rendah lagi, hanya karena mereka memiliki
popularitas dan elektabilitas tinggi dalam masyarakat yang memiliki hak
pilih.
Di antara mereka adalah para badut, yang sama sekali tidak memiliki rekam
jejak dalam politik, tetapi menjadi sangat populer karena sering
melakukan pertunjukan keliling kampung. Saat ini popularitas itu juga
dimiliki para badut dalam arti yang sesungguhnya melalui media-media infotainment. Juga oleh
politisi medioker dengan kualifikasi badut tanpa rekam jejak dalam dunia
politik tersebut melalui iklan politik yang masif dan gencar di berbagai
media.
Mereka pun menjadi badut karena dalam iklan politik tersebut menampilkan
diri sebagai yang bukan karakter sendiri. Dari sini kekuasaan politik
kemudian mengalami degradasi fungsi karena berada di tangan orangorang
yang tidak memiliki kualifikasi memadai untuk mengelola dan menata
negara. Selain itu, kata politik, oleh sebagian besar orang, terutama di
Indonesia, kemudian dipahami secara salah karena dianggap merupakan
gabungan dua kata “poli” yang berarti banyak dan “tik” yang diartikan
sebagai taktik.
Definisi keliru ini bisa dikatakan terjadi karena dugaan saja sebab
kemiripan pengucapan. Inilah yang menjadi awal mula pandangan keliru
bahwa politik adalah banyak taktik. Pemahaman ini semakin memperkuat
definisi pemikir politik Barat, di antaranya Lasswell, yang mengatakan
bahwa politik sekadar sebagai siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana
(who gets what, when, and how).
Tidak pernah terpikir pertanyaan “mengapa” mesti berpolitik. Ketiadaan
pertanyaan “mengapa” itulah yang menyebabkan kekuasaan politik menjadi
citacita. Jabatan kemudian menjadi tujuan akhir dalam aktivitas politik.
Padahal kekuasaan yang merupakan implikasi dari jabatan sesungguhnya
sarana untuk menjawab mengapa kekuasaan mesti diperebutkan dalam
mekanisme politik yang kompetitif.
Atau kalau toh muncul pertanyaan mengapa mesti berpolitik, jawabannya
adalah orientasi material yang disebabkan kedangkalan cara berpikir. Itu
terjadi karena politik telah dikuasai oleh kalangan medioker yang tidak
terbiasa berpikir mendalam. Mereka hanya ingin mengubah kehidupan sendiri
dan keluarga, dan paling luas adalah kelompok sendiri, menjadi lebih baik
dengan kekayaan material yang bisa didapatkan lebih mudah dengan
menggunakan kekuasaan politik.
Inilah yang menyebabkan politik yang seharusnya (das sollen) menjadi sarana untuk menciptakan kebaikan dan
perbaikan negara, dalam kenyataannya (das
sein) justru menjadi sarana penyebab kedestruktifan. Kekuasaan
politik seringkali justru dijadikan sebagai sarana untuk menindas dan
menghisap darah rakyat. Das sollen
dan das sein politik sangat
ditentukan oleh siapa yang menjadi politisi.
Jika politisinya baik, das sollen politik tercapai. Dengan kata lain,
terjadi kesesuaian antara das
sollen dan das sein politik. Hanya ketika das sollen dengan das
sein bersesuaianlah negara bisa menjadi sarana untuk menciptakan
kebaikan bersama. Makin tidak berkualitas politisi, kesenjangan antara das sollen dan das sein politik akan menjadi
semakin jauh. Politik sesungguhnya ekspresi cinta. Politik orang baik
terekspresi menjadi cinta kepada umat manusia.
Politik orang jahat terekspresi menjadi cinta kepada harta. Yang pertama
melahirkan perbaikanperbaikan dalam konteks negara maupun masyarakat.
Sedangkan yang kedua menimbulkan berbagai kerusakan kepada keduanya.
Praktik korupsi terjadi karena kecintaan kepada harta kekayaan material.
Kekuasaan politik yang melahirkan berbagai kewenangan digunakan sebagai
sarana untuk mengumpulkan harta kekayaan negara demi memenuhi kerakusan
diri sendiri.
Akumulasi materi yang didapatkan dengan menggunakan kekuasaan kemudian
digunakan untuk memperbesar kekuasaan dan kekuasaan yang lebih besar itu
digunakan untuk mengakumulasi materi. Demikian seterusnya tanpa batas
atau sampai ada sebuah gerakan revolusioner yang mampu menghentikannya.
Karena kenyataan politik yang buruk tersebut, diperlukan politisi yang
baik dengan jumlah yang cukup untuk mewujudkan cita-cita politik karena
politik merupakan sarana utama dan sangat signifikan untuk menata negara.
Bukanlah orang baik dalam arti sesungguhnya apabila belum membuktikan
diri sebagai pribadi yang memiliki daya tahan dalam menjalankan kekuasaan
dengan berbagai kewenangan yang besar dari berbagai godaan material.
Orang baik yang sebenarnya adalah orang yang tetap menjadi baik ketika
memiliki kekuasaan besar dan memiliki kesempatan untuk menyelewengkannya.
Sedangkan mereka yang menyeleweng ketika memiliki kekuasaan sejatinya
adalah orang jahat. Kebaikan yang tampak dalam waktu sebelum memiliki
kekuasaan sesungguhnya hanya karena tidak memiliki kesempatan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar