Sabtu, 23 Maret 2013

Kebisuan ASEAN Terkait Sabah


Kebisuan ASEAN Terkait Sabah
Chusnan Maghribi  ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) 
SUARA MERDEKA, 23 Maret 2013

  
KONFLIK senjata antara militer Diraja Malaysia dan loyalis bersenjata Kesultanan Sulu di (Negara Bagian) Sabah sejak 1 Maret 2013 mengalami perkembangan menarik, baik di ranah pertempuran maupun diplomasi.

Di medan perang, bukan saja clash tersebut sudah merenggut sekurang-kurangnya 70 korban jiwa dari kedua belah pihak, melainkan juga memperlihatkan ketidakmampuan militer Malaysia untuk cepat mengatasi perlawanan sekitar 300 loyalis bersenjata Kesultanan Sulu di Sabah.

Walaupun militer Malaysia sudah mengerahkan segenap kemampuan, termasuk menerjunkan helikopter serbu, guna melumpuhkan keluatan loyalis Kesultanan Sulu, hingga hari ini mereka belum berhasil membekuk seluruh loyalis di Sabah. Bahkan Agbimmudin Kiram, pimpinan loyalis Sulu di Sabah, belum berhasil ditangkap.

Dia masih bergerak liar dan bersumpah untuk terus melancarkan perang gerilya sampai klaim Kesultanan Sulu atas Sabah terwujud. Jika militer Malaysia tetap loyo, tidak lekas berhasil mengatasi perlawanan loyalis Sulu, bukan mustahil perang gerilya itu menjadi kenyataan menjadi perang terbuka, dan entah akan berlangsung sampai kapan.

Dalam ranah diplomasi, perang antara militer Malaysia melawan loyalis Sulu mengundang  perhatian Sekjen PBB Ban Ki-moon dengan menyeru segera dihentikannya konflik dan dimulainya dialog atau perundingan demi menghindari jatuh lebih banyak korban. Seruan Sekjen PBB ini tentu cukup melegakan di tengah kebisuan ASEAN menghadapi insiden Sabah tersebut. Meski insiden Sabah sudah memperlihatkan perkembangan cukup memrihatinkan, realitasnya ASEAN masih saja bungkam. ASEAN tidak mengeluarkan satu pun pernyataan terkait insiden berdarah di Sabah.

Bahan Introspeksi

Kenyataan itu membuat banyak kalangan prihatin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, menyampaikan keprihatinan mendalam dan mengharapkan Brunei Darussalam selaku Ketua ASEAN 2013 segera mengambil langkah proaktif guna menyelesaikan sengketa tersebut.

Mengapa ASEAN membisu? Kemelemahan kepemimpinan ditengarai menjadi penyebab utama kebisuan tersebut. Brunei, selaku ketua tahun ini cenderung pasif, tak punya gereget untuk merespons tiap masalah yang muncul, termasuk terkait dengan insiden Sabah. Ada dugaan kuat, kepasifan Brunei itu berkait erat dengan prinsip nonintervensi yang sejauh ini dipahami banyak negara  anggota ASEAN.  

Kepemimpinan Kamboja di ASEAN tahun 2012 misalnya juga lemah dan hal itu terbukti dengan kemudahan China mendikte terkait dengan sengketa wilayah perairan Laut China Selatan. Namun, kepemimpinan Brunei sekarang ini tampak lebih lemah lagi.

Banyak pihak menyayangkan siap itu mengingat konflik bersenjata antara militer Malaysia dan loyalis Sulu di Sabah sudah menelan banyak korban jiwa, tetapi ASEAN tidak mengeluarkan satu pun pernyataan walau sekadar misalnya meminta pihak-pihak bersengketa untuk menahan diri. Sangatlah masuk akal Presiden SBY kemudian mengemukakan keprihatinannya secara mendalam.

Bila kepemimpinan ASEAN lemah seperti itu, lantas mau di bawa ke mana Komunitas ASEAN yang realisasi perwujudannya tinggal dua tahun ke depan? Akankah Komunitas ASEAN akan menjelma menjadi sebuah komunitas regional yang betul-betul kuat di tengah kepemimpinan lemah semacam itu? Tentu tidak.

Insiden Sabah dan kepemimpinan yang lemah itu menjadi tepat untuk bahan introspeksi para pemangku kebijakan ASEAN guna cepat berbenah sebelum Komunitas ASEAN resmi berlaku pada 2015. Tentu, pembenahan itu demi mewujudkan Komunitas ASEAN yang benar-benar kuat, solid, dan tangguh di tengah kuatnya arus globalisasi dan ketatnya kompetisi antaraktor internasional di segenap lini kehidupan.

Adapun wujud konkret pembenahan itu bisa berupa misalnya mengubah ataupun menambah pasal-pasal dalam ASEAN Charter yang dijadikan pegangan kerja sama antaranggota. Prinsip nonintervensi yang ditegaskan dalam Piagam ASEAN barang kali termasuk pasal yang perlu ditinjau ulang ketika persoalan yang dihadapi ASEAN makin kompleks dan membutuhkan langkah kolektif.

Dengan merevisi prinsip tetap nonintervensi, ke depan diharapkan tak ada lagi alasan bagi ASEAN untuk membisu dalam menghadapi beragam masalah pelik, seperti sengketa wilayah, termasuk sengketa wilayah Sabah antara Malaysia dan Kesultanan Sulu Filipina yang tengah berlangsung sekarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar