Sabtu, 23 Maret 2013

Kearifan terhadap Air


Kearifan terhadap Air
Toto Subandriyo  ;  Peminat Masalah Sosial-Ekonomi, 
Alumnus IPB dan Magister Manajemen UNSOED
KORAN SINDO, 23 Maret 2013
  

Makhluk hidup selalu membutuhkan air sebagai kebutuhan yang tak tergantikan barang lain (nonsubstitution good). Namun, saat ini keberadaan air di planet bumi secara kuantitas maupun kualitas sangat mencemaskan. 

Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa- Bangsa (FAO) telah mengingatkan bahwa pada 2025 akan terdapat 1,8 miliar penduduk dunia tinggal di daerah yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kalimat bersayap yang pernah dilontarkan Ismael Serageldin, mantan Wakil Presiden Bank Dunia, mulai terbukti kebenarannya. 

Serageldin pernah mengingatkan bahwa perang pada masa depan tidak lagi dipicu oleh perebutan emas hitam (minyak), tetapi oleh emas biru (air). Air akan menjadi barang paling berharga bagi manusia, krisis air akan memicu berbagai konflik. Beberapa tahun lalu The Observer pernah memberitakan bocoran laporan Pentagon yang menyebutkan bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi situasi kekurangan sangat dahsyat (catastrophic shortage) terhadap air di muka bumi. 

Situasi seperti itu akan mengarah pada menyebarnya benihbenih peperangan di sekitar 2020. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai terlihat nyata. Pertengahan 2005 banyak media Tanah Air melansir pemberitaan kantor berita Reuters tentang konflik perebutan sumber air yang memicu pembantaian massal di Kenya, Afrika. 

Ratusan suku Borana, Ethiopia, mengepung sebuah sekolah dasar dan perkampungan yang didominasi warga klan Gabra dari Kenya. Insiden itu menewaskan sedikitnya 72 orang, 22 di antaranya anak-anak. Begitu esensialnya air bagi umat manusia sehingga PBB melalui Resolusi Nomor 147 menetapkan tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia dan diperingati pertama kali pada 1993. 

Paradoks Air-Mutiara 

Dari sudut pandang ekonomi, kita mengenal istilah paradoks air-mutiara (water-diamond paradox). Air yang begitu esensial bagi kehidupan manusia dinilai sangat murah, sedangkan mutiara yang sebatas perhiasan dinilai sangat mahal. Saat ini masyarakat masih memandang air sebagai sumber daya alam yang tidak terbatas dan bersifat givendari alam. 

Paradigma seperti ini membuat pola hidup mereka sangat boros terhadap air dan sangat tidak harmonis dengan alam yang telah secara arif menyediakan sumber-sumber air. Sebuah literatur menyebutkan, jika tingkat degradasi hutan terus berlanjut, pada 2015 Pulau Jawa diperkirakan akan mengalami defisit air sebesar 134,1 miliar m3/tahun. 

Sejalan dengan tema peringatan Hari Air Sedunia Ke- 20, kerja sama di bidang air perlu menjadi perhatian pemerintah di semua tingkatan. Sejak bergulir era otonomi daerah dan era reformasi, konflik pengelolaan sumber daya air banyak mencuat ke wacana publik. Sumber daya air yang telah dikelola secara turuntemurun sejak zaman kolonial tanpa permasalahan berarti, kini banyak yang digugat oleh warga masyarakat yang merasa lebih mempunyai hak untuk mengelola. 

Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyebutkan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. 

Meski telah diatur dengan jelas, implementasinya tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Akhir-akhir ini tidak jarang terjadi konflik antara perusahaan daerah air minum (PDAM) dan para petani yang merasa lebih berhak mengelola sumber air di desanya. Hal ini tidak pernah terjadi pada waktu-waktu sebelumnya. Kenyataan seperti ini harus menjadi perhatian serius pemerintah kota-kota besar di wilayah pesisir seperti Kota Semarang, Surabaya, dan Jakarta yang notabene akses air bersih bagi penduduknya harus diambilkan dari daerah tetangga. 

Untuk mengantisipasi terjadi konflik dalam pengelolaan sumber daya air, perlu dilakukan perencanaan dengan prinsip proportional water sharing. Cara pengelolaan air harus memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, industri, air minum, air untuk kepentingan sanitasi, serta potensi lestari sumber daya air tersebut. 

Memanen Hujan 

Banyak upaya yang dapat kita lakukan agar kita dapat terhindar dari krisis air seperti yang telah diuraikan di muka. Upaya pertama adalah menanamkan budaya hemat air dan budaya hidup harmonis dengan lingkungan. Pola hidup hemat air harus dijadikan gerakan nasional kepada seluruh komponen masyarakat. 

Semuanya dimulai dari hal paling sepele seperti pemanfaatan ulang (reuse) air buangan untuk menyiram tanaman (gardening) atau mengguyur toilet (flushing). Sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar yaitu sekitar 66%. Menurut World Water Council, jika tidak ada inovasi teknologi produksi yang signifikan dalam meningkatkan produksi, pada 2020 sistem produksi pertanian akan membutuhkan 17% air lebih banyak dari yang sekarang. 

Karena itu, upaya-upaya terobosan dalam teknologi budi daya perlu dilakukan agar penggunaan air lebih efisien. Satu di antaranya kampanye more crop per drop yang telah direkomendasikan FAO perlu lebih dimasyarakatkan kepada petani. Fenomena banjir yang melanda Jakarta beberapa tahun terakhir boleh jadi merupakan “pemanenan buah” dari apa yang telah ditanam sebelumnya berupa pola hidup masyarakat yang tidak harmonis dengan lingkungan.

Ribuan hektare hutan dikonversi menjadi bangunan fisik seperti permukiman, jalan, industri, serta prasarana umum lain dengan permukaan tanah kedap air. Implikasi yang tidak dapat dihindari adalah penurunan laju resapan air ke dalam tanah dan meningkatnya laju air larian (run off) yang merupakan penyebab utama banjir. Upaya kedua yaitu memanen hujan (rain harvest). 

Prinsip upaya ini adalah memaksimalkan penampungan air hujan dengan membangun sarana infrastruktur penampung air seperti waduk, embung, situ, sumur-sumur resapan, dan resapan biopori sehingga air yang terbuang ke laut hanya sedikit. Upaya ini untuk mencegah bencana banjir yang selalu datang pada musim hujan dan air yang tertampung dimanfaatkan pada musim kemarau. 

Upaya ketiga, melakukan gerakan penghijauan lahan secara komprehensif dan berkelanjutan. Budaya “muda menanam, tua memanen” perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Penetapan Desember sebagai “Bulan Menanam” perlu dijadikan sebagai gerakan nasional berkelanjutan, bukan hanya seremonial. Upaya seperti ini telah dilakukan Korea Selatan sejak 1949 dengan menetapkan 5 April sebagai Hari Menanam Nasional. 

Hasilnya, kerusakan lingkungan akibat Perang Korea dapat dipulihkan dengan cepat. Upaya keempat yaitu penegakan hukum bagi perusak lingkungan. Selama ini upaya penegakan hukum bagi para perusak lingkungan masih belum dilakukan secara tegas. Jarang sekali kita mendengar kasus-kasus perusakan lingkungan berakhir di meja hijau. Saatnya paradigma antroposentrisme di masyarakat dicerahkan. Pembangunan dilaksanakan tanpa merusak alam dan lingkungan. Nah, di sinilah kearifan kita dituntut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar