Cukup lama berkembang dugaan di masyarakat adanya perilaku korup yang
dilakukan oleh aparat kepolisian, namun selama itu belum pernah terungkap
secara tuntas baik dalam hal tersangka utama, para tersangka lain yang ikut
serta maupun barang bukti yang disita secara besar-besaran.
Ditetapkannya Irjen Pol DS sebagai tersangka kasus simulator SIM oleh KPK,
disertai penyitaan barang bukti yang jumlah dan kualitasnya sangat
fantastis, membuat masyarakat dan warga kepolisian sendiri terhenyak
menyaksikan kasus korupsi tersebut. Dari peristiwa itu ada yang bertanya,
apakah dugaan korupsi itu hanya dilakukan oleh Irjen Pol DS sendiri?
Pertanyaan ini tentu tidak dilihat dari sisi negatif, justru menjadi
pendorong bagi KPK untuk melakukan penyelidikan secara luas dan mendalam.
Dugaan perilaku korup menjadi masalah utama dalam tubuh Polri yang banyak
mendapat sorotan dari masyarakat saat ini. Konon penyakit itu cukup lama
berjangkit di organisasi kepolisian yang tampaknya cukup sulit untuk
disembuhkan.
Perilaku korup menjadi parah karena tidak saja terjadi di lingkungan
internal Polri, tetapi dimungkinkan ada kaitannya dengan instansi di luar
polisi dalam konteks struktural maupun fungsional dan terbentuk dalam
hubungan simbiosis mutualisme. Dugaan korupsi yang dilakukan Irjen Pol DS
berkaitan dengan jabatannya, dalam dunia kriminologi disebut occupational crime (kejahatan dalam
jabatan), yaitu pertukaran antara kekuasaan yang diberikan pada suatu
jabatan dengan peluang untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan baik
dari luar maupun dari dalam organisasi.
Menurut Punch (1985), korupsi polisi semacam itu terjadi karena polisi
menerima atau dijanjikan keuntungan yang signifikan untuk: (1) melakukan
sesuatu yang ada dalam kewenangannya, (2) melakukan sesuatu di luar
kewenangannya, (3) melakukan diskresi legitimasi dengan alasan yang tidak
patut,( 4) menggunakancara diluar hukum untuk mencapai tujuan. Keuntungan
yang dimaksud dalam konsep ini mengacu pada kepentingan pribadi polisi,
walaupun ada juga sebagian keuntungan yang diperuntukkan bagi ”kepentingan
operasional” (noble cause korupion).
Peta Korupsi di
Kepolisian
Tahun 2004 Gubernur PTIK Irjen Pol Farouk Muhammad mendorong mahasiswa PTIK
Angkatan 39A untuk melakukan penelitian fenomena korupsi di lingkungan
Polri. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa penyakit korupsi di
lingkungan Polri telah merambah baik di bidang operasional maupun
pembinaan. Adapun bentuk korupsi; pertama, korupsi internal, dalam arti
korupsi yang dilakukan oleh petugas polisi dengan tidak melibatkan masyarakat
umum.
Bentuk korupsi ini menyangkut kepentingan pelaku dalam lingkup kedinasan,
tidak menyentuh langsung kepentingan publik. Contohnya korupsi dalam hal
jual-beli jabatan (purchase of position),
korupsi penerimaan menjadi anggota polisi (recruitment), korupsi dalam seleksi masuk pendidikan lanjutan,
korupsi dalam pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan.
Kedua, korupsi eksternal, yaitu korupsi yang melibatkan kepentingan
masyarakat secara langsung. Yang dimaksud masyarakat adalah mereka yang
terlibat atau memiliki urusan dengan polisi baik sebagai korban kejahatan,
tersangka, maupun saksi serta masyarakat yang membutuhkan pelayanan.
Korupsi ini terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan
penegakan hukum (law enforcement)
serta public service (pelayanan
masyarakat).
Termasuk dalam hal ini adalah setiap bentuk penyalahgunaan wewenang oleh
pejabat polisi yang melibatkan warga masyarakat yang bukan anggota polisi.
Korupsi ini dapat menyangkut kepentingan warga masyarakat secara langsung
maupun menyangkut kepentingan polisi dalam konteks kedinasan.
Contohnya adalah korupsi dalam hal mendamaikan kasus perdata yang dianggap
pidana, tidak melakukan penyidikan secara tuntas suatu kejahatan, pungutan
pada penerbitan berbagai bentuk surat SIM, SCTK, STNK, BPKB, surat laporan
kehilangan barang, pungutan liar di jalanan terhadap pelanggar lalu lintas,
menerima suap dari kasus perjudian maupun tempat hiburan yang diduga
terdapat usaha ilegal, dll. Ditemukan pula dua pola perilaku korup di lingkungan
kepolisian.
Pertama pada strata pimpinan, perilaku korup cenderung dalam bentuk white collar crime, sedangkan pada
strata bawahan cenderung dalam bentuk blue
collar crime. Keduanya merupakan proses pembelajaran yang berlangsung
lama dan dalam hubungan komplementer. Lahirnya perilaku korup dalam
hubungan komplementer antara pimpinan dan anggota, karena kedua pihak tidak
berada dalam kehidupan organisasi yang menjamin adanya kebebasan berpikir
kritis atas tanggung jawab dan kewajiban yang diemban (bawahan hanya
mengatakan siap ndan).
Reformasi Polri yang telah berjalan Ī12 tahun ternyata tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kadar pengabdian polisi sesuai dengan doktrinnya
Tri Brata. Dugaan perilaku korup di lingkungan Polri itu cukup lama
terjadi, antara lain penjualan aset-aset perumahan dan perkantoran polisi,
pembelian kapal patroli polisi, pembelian senjata api AK 47, rekening
gendut perwira tinggi dan perwira menengah Polri, namun semua itu tidak
terungkap secara tuntas.
Apalagi keteladanan, kejujuran, dan kesederhanaan dalam kehidupan
sehari-hari masih sulit ditemukan di lingkungan Polri, yang berkembang
justru gaya hidup pemuja harta (hedonism
life). Karena itu sangat mungkin masih akan ada polisi-polisi korup
lain di lingkungan Polri. Pekerjaan polisi itu adalah pekerjaan mulia (nobile officum), di sisi lain
pekerjaan itu merupakan pekerjaan paling rentan dari godaan.
Menurut Adrianus Meilala (2005), penyebab utama mudahnya pekerjaan polisi
diselewengkan karena pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter,
sangat otonom, dan sewaktu-waktu dapat bertindak atas dasar pertimbangan
pribadi (diskresi fungsional). Dalam hal ini, unsur subjektivitas dan
luasnya kekuasaan polisi dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum
juga mengondisikan terjadinya penyimpangan.
Meskipun dalam organisasi Polri ada unsur pengawasan tapi mekanisme kontrol
lewat Irwasum, Propam, dan dewan kehormatan perwira menghadapi situasi dan
kondisi tingkat penyimpangan yang sudah menjalar dari tingkat bawah hingga
pucuk pimpinan, mustahil untuk mengharapkan fungsi kontrol pada mekanisme
internal berjalan efektif. Kompolnas yang dibentuk yang katanya sebagai
pengawas eksternal pun juga tidak bertaring.
Jalan Keluar
Salah satu elemen yang sangat penting dari keterbukaan adalah terkait
dengan transparansi anggaran. Dalam hal pungutan yang dilakukan polisi lalu
lintas di mana pun kesatuannya, tidak boleh diterima sendiri oleh polisi.
Pembayaran atas layanan polisi kepada masyarakat harus diserahkan oleh pemohon
lewat suatu bank. Ketentuan itu berlaku juga bagi satuan-satuan polisi lain
yang melakukan pungutan. Prinsipnya, polisi tidak boleh menerima langsung
dana dari masyarakat.
Demikian pula penerimaan bantuan dana dari proyek-proyek vital dalam rangka
pengamanan harus diserahkan ke kas negara lewat suatu Bank. Dalam kaitan
anggaran, Polri harus mampu menyusun perencanaan anggaran secara realistis
(bottom up). Seluruh kebutuhan
anggaran untuk keperluan operasional maupun pembinaan harus dimasukkan
dalam anggaran nasional melalui anggaran pendapatan dan belanja negara.
Prinsipnya tidak dibenarkan ada pengeluaran polisi yang diperoleh dari
sumber yang berasal dari luar anggaran pemerintah. Hal ini untuk
meminimalisasi tindakan-tindakan korup dari institusi Polri. Perlu
pemantauan secara intensif terhadap pelaksanaan anggaran Polri. Ada dua
jalan yang bisa dilakukan untuk melakukan pemantauan. Pertama dari
eksekutif. Kementerian Keuangan harus memiliki kapasitas untuk melakukan
analisis atas program-program kepolisian.
Hal ini penting karena sering kali sistem manajemen pengeluaran anggaran
publik dimodifikasi sebelum tahun anggaran berakhir. Modifikasi ini memberi
peluang untuk terjadinya penyimpangan anggaran yang disetujui (approved budget) dengan anggaran
yang sebenarnya terpakai (actual
budget). Demikian pula dalam hal penyalurannya kepada kepala satuan
kerja perlu dikaji ulang pola pembagian untuk satuan kerja dalam organisasi
itu sendiri. Kedua, dari legislatif.
Peran legislatif sangat sentral untuk mengendalikan polisi dalam hal
penggunaan anggaran sebab ia diberi hak untuk merancang dan menyetujui
anggaran. Karena itu, legislatif harus efektif dalam memantau pelaksanaan
anggaran polisi. Legislatif harus mampu melacak dan meminta penjelasan
polisi, mengapa ada gap besar, misalnya antara anggaran yang disetujui
dengan anggaran yang sebenarnya terpakai.
Secara periodik, legislatif perlu mengontrol penggunaan anggaran polisi
sesuai atau tidak dengan yang telah diprogramkan. Perlu dilakukan audit
independen terhadap polisi, yaitu audit independen internal dari pemerintah
atas dasar kesepakatan dari eksekutif dan legislatif, di samping audit
independen eksternal dari organisasi di luar pemerintah yang memiliki
jaringan ke luar yang luas.
Tugas dari badan-badan audit independen itu tidak hanya menilai aliran uang
dari anggaran untuk polisi tetapi juga adanya aliran dana dari bantuan
masyarakat serta efektivitas daripada penggunaan anggaran tersebut. Dengan
pemikiran tersebut diharapkan dapat meminimalisasi
penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang berkaitan dengan anggaran di
lingkungan Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar