Rabu, 20 Maret 2013

Polisi dan Korupsi


Polisi dan Korupsi
Bambang Widodo Umar  ;  Guru Besar Sosiologi Hukum, 
Staf Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI
KORAN SINDO, 20 Maret 2013
  

Cukup lama berkembang dugaan di masyarakat adanya perilaku korup yang dilakukan oleh aparat kepolisian, namun selama itu belum pernah terungkap secara tuntas baik dalam hal tersangka utama, para tersangka lain yang ikut serta maupun barang bukti yang disita secara besar-besaran. 

Ditetapkannya Irjen Pol DS sebagai tersangka kasus simulator SIM oleh KPK, disertai penyitaan barang bukti yang jumlah dan kualitasnya sangat fantastis, membuat masyarakat dan warga kepolisian sendiri terhenyak menyaksikan kasus korupsi tersebut. Dari peristiwa itu ada yang bertanya, apakah dugaan korupsi itu hanya dilakukan oleh Irjen Pol DS sendiri? 

Pertanyaan ini tentu tidak dilihat dari sisi negatif, justru menjadi pendorong bagi KPK untuk melakukan penyelidikan secara luas dan mendalam. Dugaan perilaku korup menjadi masalah utama dalam tubuh Polri yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat saat ini. Konon penyakit itu cukup lama berjangkit di organisasi kepolisian yang tampaknya cukup sulit untuk disembuhkan. 

Perilaku korup menjadi parah karena tidak saja terjadi di lingkungan internal Polri, tetapi dimungkinkan ada kaitannya dengan instansi di luar polisi dalam konteks struktural maupun fungsional dan terbentuk dalam hubungan simbiosis mutualisme. Dugaan korupsi yang dilakukan Irjen Pol DS berkaitan dengan jabatannya, dalam dunia kriminologi disebut occupational crime (kejahatan dalam jabatan), yaitu pertukaran antara kekuasaan yang diberikan pada suatu jabatan dengan peluang untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan baik dari luar maupun dari dalam organisasi. 

Menurut Punch (1985), korupsi polisi semacam itu terjadi karena polisi menerima atau dijanjikan keuntungan yang signifikan untuk: (1) melakukan sesuatu yang ada dalam kewenangannya, (2) melakukan sesuatu di luar kewenangannya, (3) melakukan diskresi legitimasi dengan alasan yang tidak patut,( 4) menggunakancara diluar hukum untuk mencapai tujuan. Keuntungan yang dimaksud dalam konsep ini mengacu pada kepentingan pribadi polisi, walaupun ada juga sebagian keuntungan yang diperuntukkan bagi ”kepentingan operasional” (noble cause korupion). 

Peta Korupsi di Kepolisian 

Tahun 2004 Gubernur PTIK Irjen Pol Farouk Muhammad mendorong mahasiswa PTIK Angkatan 39A untuk melakukan penelitian fenomena korupsi di lingkungan Polri. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa penyakit korupsi di lingkungan Polri telah merambah baik di bidang operasional maupun pembinaan. Adapun bentuk korupsi; pertama, korupsi internal, dalam arti korupsi yang dilakukan oleh petugas polisi dengan tidak melibatkan masyarakat umum. 

Bentuk korupsi ini menyangkut kepentingan pelaku dalam lingkup kedinasan, tidak menyentuh langsung kepentingan publik. Contohnya korupsi dalam hal jual-beli jabatan (purchase of position), korupsi penerimaan menjadi anggota polisi (recruitment), korupsi dalam seleksi masuk pendidikan lanjutan, korupsi dalam pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan. 

Kedua, korupsi eksternal, yaitu korupsi yang melibatkan kepentingan masyarakat secara langsung. Yang dimaksud masyarakat adalah mereka yang terlibat atau memiliki urusan dengan polisi baik sebagai korban kejahatan, tersangka, maupun saksi serta masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Korupsi ini terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement) serta public service (pelayanan masyarakat). 

Termasuk dalam hal ini adalah setiap bentuk penyalahgunaan wewenang oleh pejabat polisi yang melibatkan warga masyarakat yang bukan anggota polisi. Korupsi ini dapat menyangkut kepentingan warga masyarakat secara langsung maupun menyangkut kepentingan polisi dalam konteks kedinasan. 

Contohnya adalah korupsi dalam hal mendamaikan kasus perdata yang dianggap pidana, tidak melakukan penyidikan secara tuntas suatu kejahatan, pungutan pada penerbitan berbagai bentuk surat SIM, SCTK, STNK, BPKB, surat laporan kehilangan barang, pungutan liar di jalanan terhadap pelanggar lalu lintas, menerima suap dari kasus perjudian maupun tempat hiburan yang diduga terdapat usaha ilegal, dll. Ditemukan pula dua pola perilaku korup di lingkungan kepolisian. 

Pertama pada strata pimpinan, perilaku korup cenderung dalam bentuk white collar crime, sedangkan pada strata bawahan cenderung dalam bentuk blue collar crime. Keduanya merupakan proses pembelajaran yang berlangsung lama dan dalam hubungan komplementer. Lahirnya perilaku korup dalam hubungan komplementer antara pimpinan dan anggota, karena kedua pihak tidak berada dalam kehidupan organisasi yang menjamin adanya kebebasan berpikir kritis atas tanggung jawab dan kewajiban yang diemban (bawahan hanya mengatakan siap ndan). 

Reformasi Polri yang telah berjalan Ī12 tahun ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar pengabdian polisi sesuai dengan doktrinnya Tri Brata. Dugaan perilaku korup di lingkungan Polri itu cukup lama terjadi, antara lain penjualan aset-aset perumahan dan perkantoran polisi, pembelian kapal patroli polisi, pembelian senjata api AK 47, rekening gendut perwira tinggi dan perwira menengah Polri, namun semua itu tidak terungkap secara tuntas. 

Apalagi keteladanan, kejujuran, dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari masih sulit ditemukan di lingkungan Polri, yang berkembang justru gaya hidup pemuja harta (hedonism life). Karena itu sangat mungkin masih akan ada polisi-polisi korup lain di lingkungan Polri. Pekerjaan polisi itu adalah pekerjaan mulia (nobile officum), di sisi lain pekerjaan itu merupakan pekerjaan paling rentan dari godaan. 

Menurut Adrianus Meilala (2005), penyebab utama mudahnya pekerjaan polisi diselewengkan karena pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter, sangat otonom, dan sewaktu-waktu dapat bertindak atas dasar pertimbangan pribadi (diskresi fungsional). Dalam hal ini, unsur subjektivitas dan luasnya kekuasaan polisi dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum juga mengondisikan terjadinya penyimpangan. 

Meskipun dalam organisasi Polri ada unsur pengawasan tapi mekanisme kontrol lewat Irwasum, Propam, dan dewan kehormatan perwira menghadapi situasi dan kondisi tingkat penyimpangan yang sudah menjalar dari tingkat bawah hingga pucuk pimpinan, mustahil untuk mengharapkan fungsi kontrol pada mekanisme internal berjalan efektif. Kompolnas yang dibentuk yang katanya sebagai pengawas eksternal pun juga tidak bertaring. 

Jalan Keluar 

Salah satu elemen yang sangat penting dari keterbukaan adalah terkait dengan transparansi anggaran. Dalam hal pungutan yang dilakukan polisi lalu lintas di mana pun kesatuannya, tidak boleh diterima sendiri oleh polisi. Pembayaran atas layanan polisi kepada masyarakat harus diserahkan oleh pemohon lewat suatu bank. Ketentuan itu berlaku juga bagi satuan-satuan polisi lain yang melakukan pungutan. Prinsipnya, polisi tidak boleh menerima langsung dana dari masyarakat. 

Demikian pula penerimaan bantuan dana dari proyek-proyek vital dalam rangka pengamanan harus diserahkan ke kas negara lewat suatu Bank. Dalam kaitan anggaran, Polri harus mampu menyusun perencanaan anggaran secara realistis (bottom up). Seluruh kebutuhan anggaran untuk keperluan operasional maupun pembinaan harus dimasukkan dalam anggaran nasional melalui anggaran pendapatan dan belanja negara. 

Prinsipnya tidak dibenarkan ada pengeluaran polisi yang diperoleh dari sumber yang berasal dari luar anggaran pemerintah. Hal ini untuk meminimalisasi tindakan-tindakan korup dari institusi Polri. Perlu pemantauan secara intensif terhadap pelaksanaan anggaran Polri. Ada dua jalan yang bisa dilakukan untuk melakukan pemantauan. Pertama dari eksekutif. Kementerian Keuangan harus memiliki kapasitas untuk melakukan analisis atas program-program kepolisian. 

Hal ini penting karena sering kali sistem manajemen pengeluaran anggaran publik dimodifikasi sebelum tahun anggaran berakhir. Modifikasi ini memberi peluang untuk terjadinya penyimpangan anggaran yang disetujui (approved budget) dengan anggaran yang sebenarnya terpakai (actual budget). Demikian pula dalam hal penyalurannya kepada kepala satuan kerja perlu dikaji ulang pola pembagian untuk satuan kerja dalam organisasi itu sendiri. Kedua, dari legislatif. 

Peran legislatif sangat sentral untuk mengendalikan polisi dalam hal penggunaan anggaran sebab ia diberi hak untuk merancang dan menyetujui anggaran. Karena itu, legislatif harus efektif dalam memantau pelaksanaan anggaran polisi. Legislatif harus mampu melacak dan meminta penjelasan polisi, mengapa ada gap besar, misalnya antara anggaran yang disetujui dengan anggaran yang sebenarnya terpakai. 

Secara periodik, legislatif perlu mengontrol penggunaan anggaran polisi sesuai atau tidak dengan yang telah diprogramkan. Perlu dilakukan audit independen terhadap polisi, yaitu audit independen internal dari pemerintah atas dasar kesepakatan dari eksekutif dan legislatif, di samping audit independen eksternal dari organisasi di luar pemerintah yang memiliki jaringan ke luar yang luas. 

Tugas dari badan-badan audit independen itu tidak hanya menilai aliran uang dari anggaran untuk polisi tetapi juga adanya aliran dana dari bantuan masyarakat serta efektivitas daripada penggunaan anggaran tersebut. Dengan pemikiran tersebut diharapkan dapat meminimalisasi penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang berkaitan dengan anggaran di lingkungan Polri. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar