Setelah menerima kunjungan Letnan Jenderal
(Purnawirawan) Prabowo Subianto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima
kunjungan tujuh orang jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat lainnya.
Berbagai spekulasi berkembang, namun ada apa sebenarnya? Seperti diketahui,
Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo
Subianto adalah salah seorang calon presiden dengan elektabilitas relatif
tinggi saat ini. Sementara itu, Letjen (Purn) Luhut Panjaitan yang memimpin
rombongan tujuh jenderal ditengarai adalah elite tentara yang mendukung
capres lainnya, Aburizal Bakrie, yang juga ketua umum Partai Golongan
Karya.
Di sisi lain, Partai Demokrat yang memenangkan Pemilu 2009 namun tengah
terpuruk elektabilitasnya, belum memiliki seorang pun capres yang layak
untuk menggantikan SBY. Jadi sangat wajar apabila muncul berbagai spekulasi
politik yang melihat kunjungan para jenderal TNI AD tersebut, sebagai upaya
dan strategi SBY mencari posisi tawar yang tepat menjelang pertarungan
keras Pemilu 2014.
Paling kurang ada tiga pembacaan yang bisa dilakukan atas kunjungan para
jenderal tersebut. Pertama, selaku pendiri dan tokoh sentral Demokrat, SBY
berupaya membaca peta dan peluang calon-calon presiden mendatang, sekaligus
mencari figur capres yang “mumpuni” untuk didukung jika pada akhirnya
Demokrat tidak memiliki kader internal yang layak sebagai capres.
Kedua, SBY berkepentingan untuk menjajaki kemungkinan mendukung salah satu
capres yang juga didukung oleh kalangan perwira tinggi TNI AD. Agar tidak
dianggap hanya menjajaki dukungan bagi Prabowo, SBY juga mengundang para
jenderal yang secara politik berseberangan dengan mantan mantu Presiden
Soeharto itu. Walaupun demikian, tidak berarti pula pertemuan SBY dan para
jenderal sebagai sinyal untuk mendukung salah satu capres yang didukung
elite tentara, mengingat momentum pertarungan Pilpres 2014 yang masih
panjang.
Ketiga, SBY berkepentingan untuk memastikan dukungan politik para jenderal
TNI AD hingga 2014 di tengah “paceklik” dukungan politik secara
parlementer, khususnya dukungan partai-partai koalisi yang tergabung dalam
sekretariat gabungan (setgab) parpol koalisi pendukung SBY. Sudah menjadi
pengetahuan umum, Setgab Koalisi lebih merupakan “beban” ketimbang solusi
bagi efektivitas pemerintahan SBY.
Manuver Para
Jenderal
Selain itu, dukungan politik para jenderal diperlukan SBY di tengah simpang
siur isu penggulingan kekuasaan yang konon diwacanakan sejumlah aktivis
yang mengusung bendera sebagai Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI).
Terkait isu terakhir, SBY juga bertemu para pemimpin redaksi sejumlah media
nasional serta beberapa pemimpin ormas Islam di Istana Negara.
Di sisi lain, para jenderal TNI AD juga memiliki kepentingan yang bernuansa
“esprit de corps” kalangan
tentara. Pertama, kalangan jenderal tampaknya ingin memastikan agar capres
yang didukung SBY berasal dari atau sekurang-kurangnya didukung para elite
TNI AD. Karena pertemuan dengan SBY berlangsung setelah kunjungan Prabowo,
para jenderal bisa jadi tak sekadar mencoba mengimbangi manuver ketua Dewan
Pembina Partai Gerindra tersebut, tetapi juga berusaha mendelegitimasinya
sebagai capres mendatang.
Popularitas elektoral Prabowo seperti dikonfirmasi sejumlah survei publik
tidak hanya mengkhawatirkan sebagian aktivis hak-hak asasi manusia, tetapi
juga para jenderal di lingkungan TNI AD. Bagi sebagian jenderal, dugaan
keterlibatan Prabowo dalam sejumlah kasus penculikan aktivis menjelang
1998, begitu pula kerusuhan 13–15 Mei 1998, adalah noda hitam bagi korps
TNI AD.
Bisa jadi hal ini merisaukan kalangan militer yang hampir selalu merasa
sebagai pembela terdepan kepentingan bangsa kita. Kedua, para jenderal
melihat Partai Demokrat sebagai salah satu parpol yang bisa mewadahi
aspirasi dan kepentingan mereka, khususnya terkait capres mendatang.
Apalagi, parpol yang didirikan SBY ini belum memiliki satu pun nama capres
yang diunggulkan.
Sekurangkurangnya para jenderal berharap agar Demokrat dan SBY tidak salah
memilih orang, atau tak keliru memberi dukungan jika Demokrat benar-benar
tidak memiliki kandidat yang layak. Pertanyaannya, apakah manuver politik
Prabowo dan juga tujuh jenderal TNI memengaruhi SBY dan Partai Demokrat?
Lebih jauh lagi, bagaimana membacanya dalam konteks peta politik Pemilu
2014?
Konstitusi dan
Demokrasi
Dalam kondisi internal yang terpuruk akibat skandal suap dan korupsi, fokus
perhatian Demokrat dan SBY saat ini bukanlah soal capres, melainkan mencari
ketua umum baru pengganti Anas Urbaningrum. Karena itu, manuver para
jenderal perlu dilihat dalam konteks upaya elite tentara untuk meyakinkan
publik bahwa mereka “masih ada” atau “hadir” mengawal NKRI. Setelah
Soeharto dan Orde Baru tumbang, satusatu jalan bagi elite tentara tetap
hadir di panggung politik adalah melalui parpol.
Itulah yang dilakukan Jenderal Wiranto (melalui Partai Hati Nurani Rakyat),
Prabowo (Gerindra), serta Jenderal Edi Sudradjat dan Letjen Sutiyoso
(Partai Keadilan dan Persatuan, kemudian menjadi PKP Indonesia). Sejumlah
elite militer lainnya sudah terlebih dahulu masuk ke dalam parpol
nasionalis lainnya seperti Golkar, Demokrat, dan PDI Perjuangan.
Singkatnya, ketika era sistem demokrasi dijemput, Dwifungsi ABRI sudah
almarhum, dan tentara harus kembali ke barak, para elite militer
membutuhkan wadah untuk peran politik mereka agar bisa turut mewarnai
perjalanan demokrasi Indonesia ke depan. Kehendak para jenderal untuk turut
mewarnai perjalanan bangsa kita ke depan sudah tentu patut diapresiasi.
Hanya perlu segera dicatat, apa pun bentuk keinginan dan kehendak mulia
itu, harus dipastikan tidak menabrak atau melanggar koridor konstitusi dan
prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan hukum yang telah disepakati melalui
empat tahap amendemen atas UUD 1945. Itu artinya tidak ada larangan bagi
siapa pun, termasuk para mantan jenderal, untuk turut mewarnai demokrasi
negeri ini, selama dapat memosisikan diri secara setara dengan warga negara
lainnya. Soalnya, era privilege atau “hak istimewa” golongan militer dalam
politik sudah kita kubur bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar