Rabu, 20 Maret 2013

SBY & Manuver Para Jenderal


SBY & Manuver Para Jenderal
Syamsuddin Haris  ;  Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI 
KORAN SINDO, 20 Maret 2013
  

Setelah menerima kunjungan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima kunjungan tujuh orang jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat lainnya. 

Berbagai spekulasi berkembang, namun ada apa sebenarnya? Seperti diketahui, Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto adalah salah seorang calon presiden dengan elektabilitas relatif tinggi saat ini. Sementara itu, Letjen (Purn) Luhut Panjaitan yang memimpin rombongan tujuh jenderal ditengarai adalah elite tentara yang mendukung capres lainnya, Aburizal Bakrie, yang juga ketua umum Partai Golongan Karya. 

Di sisi lain, Partai Demokrat yang memenangkan Pemilu 2009 namun tengah terpuruk elektabilitasnya, belum memiliki seorang pun capres yang layak untuk menggantikan SBY. Jadi sangat wajar apabila muncul berbagai spekulasi politik yang melihat kunjungan para jenderal TNI AD tersebut, sebagai upaya dan strategi SBY mencari posisi tawar yang tepat menjelang pertarungan keras Pemilu 2014. 

Paling kurang ada tiga pembacaan yang bisa dilakukan atas kunjungan para jenderal tersebut. Pertama, selaku pendiri dan tokoh sentral Demokrat, SBY berupaya membaca peta dan peluang calon-calon presiden mendatang, sekaligus mencari figur capres yang “mumpuni” untuk didukung jika pada akhirnya Demokrat tidak memiliki kader internal yang layak sebagai capres. 

Kedua, SBY berkepentingan untuk menjajaki kemungkinan mendukung salah satu capres yang juga didukung oleh kalangan perwira tinggi TNI AD. Agar tidak dianggap hanya menjajaki dukungan bagi Prabowo, SBY juga mengundang para jenderal yang secara politik berseberangan dengan mantan mantu Presiden Soeharto itu. Walaupun demikian, tidak berarti pula pertemuan SBY dan para jenderal sebagai sinyal untuk mendukung salah satu capres yang didukung elite tentara, mengingat momentum pertarungan Pilpres 2014 yang masih panjang. 

Ketiga, SBY berkepentingan untuk memastikan dukungan politik para jenderal TNI AD hingga 2014 di tengah “paceklik” dukungan politik secara parlementer, khususnya dukungan partai-partai koalisi yang tergabung dalam sekretariat gabungan (setgab) parpol koalisi pendukung SBY. Sudah menjadi pengetahuan umum, Setgab Koalisi lebih merupakan “beban” ketimbang solusi bagi efektivitas pemerintahan SBY. 

Manuver Para Jenderal 

Selain itu, dukungan politik para jenderal diperlukan SBY di tengah simpang siur isu penggulingan kekuasaan yang konon diwacanakan sejumlah aktivis yang mengusung bendera sebagai Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI). Terkait isu terakhir, SBY juga bertemu para pemimpin redaksi sejumlah media nasional serta beberapa pemimpin ormas Islam di Istana Negara. 

Di sisi lain, para jenderal TNI AD juga memiliki kepentingan yang bernuansa “esprit de corps” kalangan tentara. Pertama, kalangan jenderal tampaknya ingin memastikan agar capres yang didukung SBY berasal dari atau sekurang-kurangnya didukung para elite TNI AD. Karena pertemuan dengan SBY berlangsung setelah kunjungan Prabowo, para jenderal bisa jadi tak sekadar mencoba mengimbangi manuver ketua Dewan Pembina Partai Gerindra tersebut, tetapi juga berusaha mendelegitimasinya sebagai capres mendatang. 

Popularitas elektoral Prabowo seperti dikonfirmasi sejumlah survei publik tidak hanya mengkhawatirkan sebagian aktivis hak-hak asasi manusia, tetapi juga para jenderal di lingkungan TNI AD. Bagi sebagian jenderal, dugaan keterlibatan Prabowo dalam sejumlah kasus penculikan aktivis menjelang 1998, begitu pula kerusuhan 13–15 Mei 1998, adalah noda hitam bagi korps TNI AD. 

Bisa jadi hal ini merisaukan kalangan militer yang hampir selalu merasa sebagai pembela terdepan kepentingan bangsa kita. Kedua, para jenderal melihat Partai Demokrat sebagai salah satu parpol yang bisa mewadahi aspirasi dan kepentingan mereka, khususnya terkait capres mendatang. Apalagi, parpol yang didirikan SBY ini belum memiliki satu pun nama capres yang diunggulkan. 

Sekurangkurangnya para jenderal berharap agar Demokrat dan SBY tidak salah memilih orang, atau tak keliru memberi dukungan jika Demokrat benar-benar tidak memiliki kandidat yang layak. Pertanyaannya, apakah manuver politik Prabowo dan juga tujuh jenderal TNI memengaruhi SBY dan Partai Demokrat? Lebih jauh lagi, bagaimana membacanya dalam konteks peta politik Pemilu 2014? 

Konstitusi dan Demokrasi 

Dalam kondisi internal yang terpuruk akibat skandal suap dan korupsi, fokus perhatian Demokrat dan SBY saat ini bukanlah soal capres, melainkan mencari ketua umum baru pengganti Anas Urbaningrum. Karena itu, manuver para jenderal perlu dilihat dalam konteks upaya elite tentara untuk meyakinkan publik bahwa mereka “masih ada” atau “hadir” mengawal NKRI. Setelah Soeharto dan Orde Baru tumbang, satusatu jalan bagi elite tentara tetap hadir di panggung politik adalah melalui parpol. 

Itulah yang dilakukan Jenderal Wiranto (melalui Partai Hati Nurani Rakyat), Prabowo (Gerindra), serta Jenderal Edi Sudradjat dan Letjen Sutiyoso (Partai Keadilan dan Persatuan, kemudian menjadi PKP Indonesia). Sejumlah elite militer lainnya sudah terlebih dahulu masuk ke dalam parpol nasionalis lainnya seperti Golkar, Demokrat, dan PDI Perjuangan. 

Singkatnya, ketika era sistem demokrasi dijemput, Dwifungsi ABRI sudah almarhum, dan tentara harus kembali ke barak, para elite militer membutuhkan wadah untuk peran politik mereka agar bisa turut mewarnai perjalanan demokrasi Indonesia ke depan. Kehendak para jenderal untuk turut mewarnai perjalanan bangsa kita ke depan sudah tentu patut diapresiasi. 

Hanya perlu segera dicatat, apa pun bentuk keinginan dan kehendak mulia itu, harus dipastikan tidak menabrak atau melanggar koridor konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan hukum yang telah disepakati melalui empat tahap amendemen atas UUD 1945. Itu artinya tidak ada larangan bagi siapa pun, termasuk para mantan jenderal, untuk turut mewarnai demokrasi negeri ini, selama dapat memosisikan diri secara setara dengan warga negara lainnya. Soalnya, era privilege atau “hak istimewa” golongan militer dalam politik sudah kita kubur bersama. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar