Cukup lumrah jika kita baca koran di
Indonesia akan menemui berita perbuatan immoral, seperti kasus
korupsi serta perbuatan kriminal lainnya. Lalu pembaca dapat menyimpulkan
bahwa sering kali perbuatan seperti itu sudah diketahui oleh pihak lain
tetapi pihak ini tidak complain atau mengadukan pada yang
berwajib. Bahkan tidak jarang mereka lalu ikut terjun untuk melakukan hal
yang sama. Gejala sosial apakah ini? Untuk menyelami lebih jauh mungkin ada
baiknya kita lihat salah satu gejala sosial yang disebut Bystander
Effect.
Bystander Effect atau Genovese Syndrome pertama
kali dipopulerkan oleh John Darley dan Bibb Latané pada tahun 1968, karena
tergerak oleh kasus pembunuhan terhadap Kitty Genovese tahun 1964. Pada
saat kasus itu terjadi, dikabarkan disaksikan oleh 38 orang, tetapi mereka
tidak menolong korban atau melaporkan pada pihak berwajib. Ternyata banyak
kasus yang serupa dan semestinya tidak terjadi tetapi dibiarkan oleh
individu-individu yang hadir. Gejala sosial seperti inilah yang disebutBystandaer
Effect.
Dalam Bystander Effect, probabilitas dari bantuan sering
berlawanan dengan jumlah orang yang hadir, lewat atau saksi mata (bystander).
Dengan kata lain, semakin banyak orang yang berada di sekitar tempat
kejadian musibah, semakin sedikit kemungkinan orang-orang yang berada di
situ akan membantu. Mengapa demikian? Secara umum, hal ini dipercayai
karena dengan meningkatnya jumlah mereka, maka mereka akan semakin tidak
memperhatikan situasi, tidak melihat kejadian tersebut sebagai suatu
permasalahan, dan akan semakin tidak mengambil tanggung jawab untuk
bertindak.
Dalam konteks Indonesia, agaknya kehidupan sosial, terutama di kota besar
seperti Jakarta sudah sedemikian padat dan bisingnya sehingga
menenggelamkan hati nurani banyak orang. Kondisi ini menyebabkan banyak
orang yang hadir di tempat ketika ada sekelompok atau seorang berbuat
kejahatan tidak mendapat perhatian lagi, atau hal ini telah menjadi suatu
norma baru bahwa berbuat curang dan jahat, seperti korupsi dan menipu
adalah perbuatan yang wajar dan pintar. Jika ada pihak lain yang tidak
setuju maka ia akan mendiamkan saja.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa seorang individu dalam berkelompok sering
tidak membantu korban dari suatu peristiwa dan mendiamkan perbuatan immoral dari
pihak lain? Pada umumnya, para ahli memperhatikam tiga proses utama bagi
seorang untuk bertindak dalam situasi seperti ini, yaitu:
Pertama, noticing atau memperhatikan. Dalam suatu
penelitiannya, partisipan ditempatkan dalam suatu ruangan dan kemudian
dipompakan asap ke dalam ruangan tersebut. Partisipan yang bekerja
sendirian bisa segera melihat adanya asap yang masuk, yaitu sekitar 5
detik, sedangkan yang bekerja berkelompok membutuhkan waktu yang lebih
lama, yaitu 20 detik untuk menyadari akan ada asap yang masuk ke
ruangan.
Hal ini terjadi karena dalam berkelompok, orang cenderung tidak melihat
kondisi sekitarnya. Banyak yang beranggapan adalah tidak sopan untuk
melihat atau memelototi orang lain di tempat umum. Sebaliknya, ketika
mereka hanya sendiri, mereka lebih bebas atau lebih sadar akan keadaan
lingkungan mereka dan karena itu pula, mereka jadi bisa memperhatikan apa
bila orang lain melakukan perbuatan immoral dan ada yang
membutuhkan bantuan.
Kedua, interpretation atau menginterpretasikan.
Ketika suatu situasi telah menarik perhatian, untuk seorang bystander bertindak,
mereka harus menginterpretasikan situasi atau kejadian itu sebagai emergency terlebih
dahulu. Sesuai dengan prinsip dasar dari pengaruh sosial, bystander
memonitor reaksi-reaksi dari orang dalam situasi emergency untuk
melihat apakah orang lain berpikir bahwa penting bagi mereka untuk turun
tangan. Akan tetapi, pada saat itu, semua orang melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan bystander tersebut, maka semua
orang menyimpulkan bahwa tidak bertindaknya orang lain sebagai tidak
diperlukannya bantuan.
Ketiga, taking responsibility atau bertanggung jawab. Halangan
utama yang lain untuk seorang bertindak membantu orang lain disebut diffusion
of responsibility. Hal ini terjadi ketika semua berasumsi bahwa akan
ada orang lain yang akan bertindak untuk membantu dan setiap orang merasa
lebih sedikit tanggung jawabnya daripada orang lain sehingga mereka
berpikir tidak perlu melakukan sesuatu. Mereka juga bisa berasumsi mungkin
ada orang lain yang lebih qualifieduntuk membantu, sehingga
mereka melihat bantuannya tidak diperlukan. Mereka juga bisa mengira bahwa
bantuannya tidak diinginkan, atau bisa memperburuk situasi sehingga bisa
menyebabkan mereka diminta pertanggungjawaban.
Dengan melihat proses ini, maka mestinya perbuatan immoral bisa
dicegah dengan meng-encourage orang di sekitarnya untuk
terlibat dalam menantang pelaku atau menolong korbannya. Agaknya inisiatif
pencegahan ini harus datang dari level pimpinan. Di negara maju, umumnya,
pemimpin menyediakan complaint system jadi bystander memiliki
pilihan untuk bertindak. Hal yang sangat membantu untuk meng-encourage
bystander untuk melakukancomplain adalah pemimpin
harus bisa meyakinkan bahwa mereka tidak menyimpan record, dancomplain mereka
diberlakukan total confidential. Mereka juga memberikan
berbagai trainingseperti training anti-korupsi, safety,
sexual harassment dan lain-lain.
Di tingkat pemerintahan, seperti di AS, mereka menghidupkan kultur whistleblower,
yaitu mendukung supaya ada pihak yang melaporkan perbuatan immoral dari
rekan kerja ataupun atasan mereka. Pelaporan ini dilindungi hukum sejak
tahun 1863 di bawah United States False Claims Act (direvisi
pada tahun 1986) yang meng-encourage whistleblower dengan
menjanjikan untuk memberikan persentasi tertentu bagi pelaku whistleblowing
dari uang yang berhasil diambil kembali atau dimenangkan oleh pemerintah,
dan pemerintah berjanji untuk memberi perlindungan pada whistleblower.
The Charter of Human Rights and Freedoms of Quebec secara
khusus mewajibkan warganya untuk untuk membantu orang yang ditimpa bahaya
kecuali perbuatan membantu itu membahayakan dirinya sendiri atau orang
ketiga, atau orang tersebut memiliki alasan yang valid.
Di Serbia, jika seseorang tidak membantu pihak lain yang dalam
keadaan emergency, maka orang tersebut akan diancam hukum
penjara hingga 8 tahun.
Kembali ke Indonesia, jika cara pencegahan dan menolong korban dari
perbuatan immoral diterapkan seperti apa yang telah dilakukan
negara-negara maju ini, maka tidak akan mudah lagi bagi kita untuk membaca
berita korupsi dan perbuatan immoral lainnya di koran.
Akhir kata, saya ingin mengutip perkataan Edmund Burke, bahwa the
only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar