Sabtu, 02 Maret 2013

Perbuatan Immoral dan Bystander Effect


Perbuatan Immoral dan Bystander Effect
Beni Bevly  ;  Business Leadership Expert, Penulis Multiple Buku yang bermukim di Silicon Valley, Amerika Serikat, dan Consultant Senior pada Afton Asia
JARINGNEWS, 01 Maret 2013


Cukup lumrah jika kita baca koran di Indonesia akan menemui berita perbuatan immoral, seperti kasus korupsi serta perbuatan kriminal lainnya. Lalu pembaca dapat menyimpulkan bahwa sering kali perbuatan seperti itu sudah diketahui oleh pihak lain tetapi pihak ini tidak complain atau mengadukan pada yang berwajib. Bahkan tidak jarang mereka lalu ikut terjun untuk melakukan hal yang sama. Gejala sosial apakah ini? Untuk menyelami lebih jauh mungkin ada baiknya kita lihat salah satu gejala sosial yang disebut Bystander Effect.

Bystander Effect atau Genovese Syndrome pertama kali dipopulerkan oleh John Darley dan Bibb Latané pada tahun 1968, karena tergerak oleh kasus pembunuhan terhadap Kitty Genovese tahun 1964. Pada saat kasus itu terjadi, dikabarkan disaksikan oleh 38 orang, tetapi mereka tidak menolong korban atau melaporkan pada pihak berwajib. Ternyata banyak kasus yang serupa dan semestinya tidak terjadi tetapi dibiarkan oleh individu-individu yang hadir. Gejala sosial seperti inilah yang disebutBystandaer Effect.

Dalam Bystander Effect, probabilitas dari bantuan sering berlawanan dengan jumlah orang yang hadir, lewat atau saksi mata (bystander). Dengan kata lain, semakin banyak orang yang berada di sekitar tempat kejadian musibah, semakin sedikit kemungkinan orang-orang yang berada di situ akan membantu. Mengapa demikian? Secara umum, hal ini dipercayai karena dengan meningkatnya jumlah mereka, maka mereka akan semakin tidak memperhatikan situasi, tidak melihat kejadian tersebut sebagai suatu permasalahan, dan akan semakin tidak mengambil tanggung jawab untuk bertindak. 

Dalam konteks Indonesia, agaknya kehidupan sosial, terutama di kota besar seperti Jakarta sudah sedemikian padat dan bisingnya sehingga menenggelamkan hati nurani banyak orang. Kondisi ini menyebabkan banyak orang yang hadir di tempat ketika ada sekelompok atau seorang berbuat kejahatan tidak mendapat perhatian lagi, atau hal ini telah menjadi suatu norma baru bahwa berbuat curang dan jahat, seperti korupsi dan menipu adalah perbuatan yang wajar dan pintar. Jika ada pihak lain yang tidak setuju maka ia akan mendiamkan saja.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa seorang individu dalam berkelompok sering tidak membantu korban dari suatu peristiwa dan mendiamkan perbuatan  immoral dari pihak lain? Pada umumnya, para ahli memperhatikam tiga proses utama bagi seorang untuk bertindak dalam situasi seperti ini, yaitu:

Pertama, noticing atau memperhatikan. Dalam suatu penelitiannya, partisipan ditempatkan dalam suatu ruangan dan kemudian dipompakan asap ke dalam ruangan tersebut. Partisipan yang bekerja sendirian bisa segera melihat adanya asap yang masuk, yaitu sekitar 5 detik, sedangkan yang bekerja berkelompok membutuhkan waktu yang lebih lama, yaitu 20 detik untuk menyadari akan ada asap yang masuk ke ruangan. 

Hal ini terjadi karena dalam berkelompok, orang cenderung tidak melihat kondisi sekitarnya. Banyak yang beranggapan adalah tidak sopan untuk melihat atau memelototi orang lain di tempat umum. Sebaliknya, ketika mereka hanya sendiri, mereka lebih bebas atau lebih sadar akan keadaan lingkungan mereka dan karena itu pula, mereka jadi bisa memperhatikan apa bila orang lain melakukan perbuatan immoral dan ada yang membutuhkan bantuan.

Kedua, interpretation atau menginterpretasikan. Ketika suatu situasi telah menarik perhatian, untuk seorang bystander bertindak, mereka harus menginterpretasikan situasi atau kejadian itu sebagai emergency terlebih dahulu. Sesuai dengan prinsip dasar dari pengaruh sosial, bystander memonitor reaksi-reaksi dari orang dalam situasi emergency untuk melihat apakah orang lain berpikir bahwa penting bagi mereka untuk turun tangan. Akan tetapi, pada saat itu, semua orang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bystander tersebut, maka semua orang menyimpulkan bahwa tidak bertindaknya orang lain sebagai tidak diperlukannya bantuan.

Ketiga, taking responsibility atau bertanggung jawab. Halangan utama yang lain untuk seorang bertindak membantu orang lain disebut diffusion of responsibility. Hal ini terjadi ketika semua berasumsi bahwa akan ada orang lain yang akan bertindak untuk membantu dan setiap orang merasa lebih sedikit tanggung jawabnya daripada orang lain sehingga mereka berpikir tidak perlu melakukan sesuatu. Mereka juga bisa berasumsi mungkin ada orang lain yang lebih qualifieduntuk membantu, sehingga mereka melihat bantuannya tidak diperlukan. Mereka juga bisa mengira bahwa bantuannya tidak diinginkan, atau bisa memperburuk situasi sehingga bisa menyebabkan mereka diminta pertanggungjawaban.

Dengan melihat proses ini, maka mestinya perbuatan immoral bisa dicegah dengan meng-encourage orang di sekitarnya untuk terlibat dalam menantang pelaku atau menolong korbannya. Agaknya inisiatif pencegahan ini harus datang dari level pimpinan. Di negara maju, umumnya, pemimpin menyediakan complaint system jadi bystander memiliki pilihan untuk bertindak. Hal yang sangat membantu untuk meng-encourage bystander untuk melakukancomplain adalah pemimpin harus bisa meyakinkan bahwa mereka tidak menyimpan record, dancomplain mereka diberlakukan total confidential. Mereka juga memberikan berbagai trainingseperti training anti-korupsi, safety, sexual harassment dan lain-lain. 

Di tingkat pemerintahan, seperti di AS, mereka menghidupkan kultur  whistleblower, yaitu mendukung supaya ada pihak yang melaporkan perbuatan immoral dari rekan kerja ataupun atasan mereka. Pelaporan ini dilindungi hukum sejak tahun 1863 di bawah United States False Claims Act (direvisi pada tahun 1986) yang meng-encourage whistleblower dengan menjanjikan untuk memberikan persentasi tertentu bagi pelaku whistleblowing  dari uang yang berhasil diambil kembali atau dimenangkan oleh pemerintah, dan pemerintah berjanji untuk memberi perlindungan pada whistleblower.

The Charter of Human Rights and Freedoms of Quebec secara khusus mewajibkan warganya untuk untuk membantu orang yang ditimpa bahaya kecuali perbuatan membantu itu membahayakan dirinya sendiri atau orang ketiga, atau orang tersebut memiliki alasan yang valid.

Di Serbia, jika seseorang tidak membantu pihak lain yang dalam keadaan  emergency, maka orang tersebut akan diancam hukum penjara hingga 8 tahun.

Kembali ke Indonesia, jika cara pencegahan dan menolong korban dari perbuatan immoral diterapkan seperti apa yang telah dilakukan negara-negara maju ini, maka tidak akan mudah lagi bagi kita untuk membaca berita korupsi dan perbuatan immoral lainnya di koran.

Akhir kata, saya ingin mengutip perkataan Edmund Burke, bahwa the only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar