KETIKA saya menjadi pesakitan karena terjerat kasus hukum
(mafia pajak), rekan kerja, kolega, dan sejumlah teman datang membesuk.
Mereka menyatakan ikut prihatin. Beberapa di antara mereka memberikan
nasihat agar saya bersabar menghadapi cobaan hidup. Tentu saja saya senang
dengan dukungan moral itu.
Di tempat lain, teman saya, seorang tahanan yang terjerat kasus lalu
lintas, juga menerima nasihat serupa dari kerabatnya. Teman saya adalah
seorang sopir truk yang tanpa sengaja menabrak seorang perempuan tua
tunawisma yang menyeberang jalan sembarangan.
Tebersit pertanyaan dalam hati saya, apakah sengaja menjadi mafia sama
dengan tanpa sengaja menabrak orang? Apakah keduanya sama-sama cobaan hidup
dari Tuhan?
Dalam kehidupan ini, setiap orang pasti pernah mendapat cobaan dari Tuhan.
Ada yang berat, ada yang ringan. Cobaan hidup adalah ujian Tuhan kepada
kita agar kita menjadi makhluk yang baik dan berkualitas. Karena itu, ujian
Tuhan tentu umumnya datang tak diduga, tidak bisa diprediksi, dan tidak
memiliki hubungan sebab akibat secara langsung.
Saya memang tidak pernah menyangka akan terjerat kasus hukum. Tapi, saya
tahu bahwa melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan negara
akan bisa terjerat hukum. Artinya, hal itu bisa diprediksi. Ada hubungan
sebab akibat secara langsung. Jadi, rasanya apa yang saya alami bukan
cobaan hidup.
Sedangkan teman saya yang seorang sopir truk itu sudah mengendarai
kendaraannya dengan benar. Tiba-tiba, seorang perempuan tua menyelonong di
jalan. Teman saya berusaha menghindar dan mengerem. Tapi, rem truk tuanya
kurang pakem. Tragedi
pun terjadi. Walau tak ada tuntutan dari keluarga korban karena korban
tunawisma, polisi menahannya (karena kecelakaan lalu lintas memang bukan
delik aduan, Red). Teman saya tidak paham hukum dan tak mampu menyewa
pengacara. Dihukumlah dia. Itu merupakan cobaan hidup baginya.
Di negeri yang dipenuhi koruptor dan hanya sebagian kecil yang diproses
hukum ini, orang yang terjerat hukum punya pikiran bahwa dirinya sial saja.
Padahal, kesialan tidak bisa berasal dari pilihan hidup kita. Sebagai
contoh, ketika mobil saya ditabrak orang, saat itu saya benar-benar sial.
Bayangkan, di pintu tol, sebuah jip di depan saya tiba-tiba mundur dengan
kencang, lalu menghajar mobil saya. Tentu saja itu terjadi bukan karena saya
salah pilih pintu tol. Itu terjadi karena si pengendara jip sedang mabuk.
Memang ada keyakinan yang menghubung-hubungkan kesialan kita dengan tingkah
laku buruk yang pernah kita lakukan. Tapi, sekali lagi, tidak ada hubungan
sebab akibat secara langsung.
Di negara tempat mafia hukum masih bergentayangan, memang ada orang yang
tidak korupsi divonis bersalah. Hal itu tentu menjadi cobaan sekaligus
kesialan buat dirinya. Bagi seorang koruptor, cobaan hidup justru telah
datang jauh sebelumnya. Saat tumpukan harta haram ada di depan mata, itulah
cobaan dari Tuhan yang sesungguhnya. Bila menolak, dia berhasil melewati
cobaan yang mahaberat itu.
Dikatakan cobaan berat karena dalam dunia mafia dan korupsi ada semboyan
''kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda''. Tidak heran,
banyak orang yang bersentuhan dengan korupsi yang enggan keluar dari dunia
tersebut. Sebab, korupsi benar-benar menggoda. Apalagi bila dilakukan
bersama-sama. Ada perasaan aman dan nyaman karena jika di kemudian hari terjadi
masalah, mereka saling melindungi. Padahal, kala benar-benar terjepit,
watak asli koruptor akan muncul. Berusaha cuci tangan dan mencari kambing
hitam.
Tidak hanya itu, para koruptor atau mafia yang tertangkap terkadang masih
mencoba mencari celah untuk tetap tak jauh dari dunia korupsi. Mereka
menyuap agar mendapat hukuman ringan. Menyuap agar mendapat kamar yang
''mewah'' dan makan enak di penjara. Maka, muncul ungkapan ''uang setan
dimakan jin''. Uang setan hasil korupsi jadi bancakan para jin mafia hukum.
Tidak salah bila sejumlah pakar hukum mengusulkan agar para koruptor dan
mafia dimiskinkan saja. Itu akan memutus lingkaran setan tersebut. Para
mafia hukum, kolega, atau rekan kerja yang dulu melakukan korupsi (tapi
masih bebas) akan memutuskan hubungannya dengan bekas koruptor yang sudah
''miskin''. Ada uang disayang, tak ada uang ditendang. Tak punya jabatan,
dilupakan.
Namun, jika mau berintrospeksi, dia justru sadar bahwa dirinya sedang
dimuliakan. Sebab, dengan menjadi ''miskin'', mereka akan lebih dekat
kepada Tuhannya. Dia akan bersyukur atas rezeki yang diperolehnya walau
hanya sedikit. Jauh dari nilai uang haram yang dulu dengan mudah mereka
peroleh. Bukankah sebaik-baik hamba Tuhan adalah yang mau bersyukur.
Toh, semiskin-miskinnya bekas koruptor, hartanya masih jauh di atas
kriteria orang miskin penerima subsidi pemerintah. Jadi, para aparat hukum
tak perlu segan memiskinkan koruptor. Bagi koruptor, percayalah, dengan
dihukum di dunia, Anda menjadi lebih bersih daripada para kolega atau rekan
kerja Anda yang korupsi tapi lolos jerat hukum hingga mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar