Sabtu, 02 Maret 2013

Bagiku, Korupsi Bukan Cobaan


Bagiku, Korupsi Bukan Cobaan
Heri Prabowo  ;  Mantan Narapidana Kasus Mafia Pajak,
Penulis Novel ''Catatan Harian Seorang Mafia Pajak''
JAWA POS, 01 Maret 2013


KETIKA saya menjadi pesakitan karena terjerat kasus hukum (mafia pajak), rekan kerja, kolega, dan sejumlah teman datang membesuk. Mereka menyatakan ikut prihatin. Beberapa di antara mereka memberikan nasihat agar saya bersabar menghadapi cobaan hidup. Tentu saja saya senang dengan dukungan moral itu. 

Di tempat lain, teman saya, seorang tahanan yang terjerat kasus lalu lintas, juga menerima nasihat serupa dari kerabatnya. Teman saya adalah seorang sopir truk yang tanpa sengaja menabrak seorang perempuan tua tunawisma yang menyeberang jalan sembarangan. 

Tebersit pertanyaan dalam hati saya, apakah sengaja menjadi mafia sama dengan tanpa sengaja menabrak orang? Apakah keduanya sama-sama cobaan hidup dari Tuhan?

Dalam kehidupan ini, setiap orang pasti pernah mendapat cobaan dari Tuhan. Ada yang berat, ada yang ringan. Cobaan hidup adalah ujian Tuhan kepada kita agar kita menjadi makhluk yang baik dan berkualitas. Karena itu, ujian Tuhan tentu umumnya datang tak diduga, tidak bisa diprediksi, dan tidak memiliki hubungan sebab akibat secara langsung.

Saya memang tidak pernah menyangka akan terjerat kasus hukum. Tapi, saya tahu bahwa melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan negara akan bisa terjerat hukum. Artinya, hal itu bisa diprediksi. Ada hubungan sebab akibat secara langsung. Jadi, rasanya apa yang saya alami bukan cobaan hidup.

Sedangkan teman saya yang seorang sopir truk itu sudah mengendarai kendaraannya dengan benar. Tiba-tiba, seorang perempuan tua menyelonong di jalan. Teman saya berusaha menghindar dan mengerem. Tapi, rem truk tuanya kurang pakem. Tragedi pun terjadi. Walau tak ada tuntutan dari keluarga korban karena korban tunawisma, polisi menahannya (karena kecelakaan lalu lintas memang bukan delik aduan, Red). Teman saya tidak paham hukum dan tak mampu menyewa pengacara. Dihukumlah dia. Itu merupakan cobaan hidup baginya.

Di negeri yang dipenuhi koruptor dan hanya sebagian kecil yang diproses hukum ini, orang yang terjerat hukum punya pikiran bahwa dirinya sial saja. Padahal, kesialan tidak bisa berasal dari pilihan hidup kita. Sebagai contoh, ketika mobil saya ditabrak orang, saat itu saya benar-benar sial. Bayangkan, di pintu tol, sebuah jip di depan saya tiba-tiba mundur dengan kencang, lalu menghajar mobil saya. Tentu saja itu terjadi bukan karena saya salah pilih pintu tol. Itu terjadi karena si pengendara jip sedang mabuk. Memang ada keyakinan yang menghubung-hubungkan kesialan kita dengan tingkah laku buruk yang pernah kita lakukan. Tapi, sekali lagi, tidak ada hubungan sebab akibat secara langsung.

Di negara tempat mafia hukum masih bergentayangan, memang ada orang yang tidak korupsi divonis bersalah. Hal itu tentu menjadi cobaan sekaligus kesialan buat dirinya. Bagi seorang koruptor, cobaan hidup justru telah datang jauh sebelumnya. Saat tumpukan harta haram ada di depan mata, itulah cobaan dari Tuhan yang sesungguhnya. Bila menolak, dia berhasil melewati cobaan yang mahaberat itu.

Dikatakan cobaan berat karena dalam dunia mafia dan korupsi ada semboyan ''kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda''. Tidak heran, banyak orang yang bersentuhan dengan korupsi yang enggan keluar dari dunia tersebut. Sebab, korupsi benar-benar menggoda. Apalagi bila dilakukan bersama-sama. Ada perasaan aman dan nyaman karena jika di kemudian hari terjadi masalah, mereka saling melindungi. Padahal, kala benar-benar terjepit, watak asli koruptor akan muncul. Berusaha cuci tangan dan mencari kambing hitam.

Tidak hanya itu, para koruptor atau mafia yang tertangkap terkadang masih mencoba mencari celah untuk tetap tak jauh dari dunia korupsi. Mereka menyuap agar mendapat hukuman ringan. Menyuap agar mendapat kamar yang ''mewah'' dan makan enak di penjara. Maka, muncul ungkapan ''uang setan dimakan jin''. Uang setan hasil korupsi jadi bancakan para jin mafia hukum.

Tidak salah bila sejumlah pakar hukum mengusulkan agar para koruptor dan mafia dimiskinkan saja. Itu akan memutus lingkaran setan tersebut. Para mafia hukum, kolega, atau rekan kerja yang dulu melakukan korupsi (tapi masih bebas) akan memutuskan hubungannya dengan bekas koruptor yang sudah ''miskin''. Ada uang disayang, tak ada uang ditendang. Tak punya jabatan, dilupakan.

Namun, jika mau berintrospeksi, dia justru sadar bahwa dirinya sedang dimuliakan. Sebab, dengan menjadi ''miskin'', mereka akan lebih dekat kepada Tuhannya. Dia akan bersyukur atas rezeki yang diperolehnya walau hanya sedikit. Jauh dari nilai uang haram yang dulu dengan mudah mereka peroleh. Bukankah sebaik-baik hamba Tuhan adalah yang mau bersyukur.

Toh, semiskin-miskinnya bekas koruptor, hartanya masih jauh di atas kriteria orang miskin penerima subsidi pemerintah. Jadi, para aparat hukum tak perlu segan memiskinkan koruptor. Bagi koruptor, percayalah, dengan dihukum di dunia, Anda menjadi lebih bersih daripada para kolega atau rekan kerja Anda yang korupsi tapi lolos jerat hukum hingga mati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar