Sabtu, 02 Maret 2013

Keseimbangan dalam Berpolitik


Keseimbangan dalam Berpolitik
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 01 Maret 2013


JENUH. Saya rasa itulah perasaan publik umumnya ketika mengikuti skenario politik dengan tema yang itu-itu saja. Mudah ditebak apa yang akan dikatakan oleh yang sedang jadi lakon, dan apa komentar para lawan maupun kawannya. Berpolitik bukan lagi menjalankan taktik-taktik dan strategi untuk pendidikan politik demi memenangi persaingan yang memang perlu demi misi dan visi para politisi. Berpolitik untuk kalangan tertentu berubah manuver. Makin lama keruwetan manuver makin membabi-buta. Publik dibuat bingung oleh tindakan-tindakan penuh intrik; kadang-kadang licik, kadangkadang cerdik.

Di kalangan angkatan-angkatan lama wajar bangkit nostalgia akan suasana berpolitik di masa perjuangan kemerdekaan dan masa pembangunan sesudahnya yang berlangsung lebih transparan dan sederhana. Suasana itu tecermin di masa Orde Lama dan Orde Baru. Mungkin generasi muda mencibir dan mencela sistem otoriter yang oleh penguasa waktu itu dirasakan perlu demi kestabilan. Gelora membangun reformasi, yang semula dilandasi keinginan luhur, kini berangsur mengalami distorsi. Sepertinya kita kehilangan pegangan; kehilangan keseimbangan berpolitik.

Keseimbangan politik bisa terjaga bila kekuasaan politik dibagi rata. Doktrin harmoni keseimbangan kekuatan menabukan sikap menolak atau melawan yang mengacaukan. Namun, sekarang yang tidak normal justru makin kentara. Bahkan hukum yang menjadi pilar demokrasi terang-terangan dicoba dilawan dengan sikap angkuh membanggakan kedigdayaan. Menjenuhkan!

Tarik ulur itu dipertontonkan kepada publik. Mereka yang bersangkutan barangkali merasa publik tidak masuk hitungan, rupanya.

Menyiasati yang Mengesalkan

Setop. Jangan pedulikan lagi ocehannya. Itu barangkali satu-satunya cara untuk menghentikan siasat tebar pesona yang dicoba dijalankan. Biarkan hukum berjalan terus untuk menyelesaikan persoalan. Biarkan partaipartai politik menjalankan pekerjaan rumah masingmasing untuk menjaga kredibilitas mereka. Biarkan pula kutu loncat lalu lalang mencari tempat pijakan. Apa lagi yang dicari? Kapan kalangan elite mulai memikirkan kepentingan rakyat jelata?

Masalahnya, menurut sosiolog Amerika, C Wright Mills, dalam The Power Elite (1956), salah satu kekeliruan teori menjaga keseimbangan politik adalah karena para anggota perwakilan rakyat terdiri dari kalangan yang tidak bisa benar-benar mewakili kepentingan kelas bawah. Selain itu, kemapanan di perwakilan dijaga sehingga mereka berusaha mempertahankan kedudukan mereka. Itu yang membuat mereka tidak ingin berseberangan dengan kekuasaan. Malahan mereka yang mengesankan memanipulasi situasi. Dan isu-isu penting bagi kalangan bawah sulit mendapat tempat dalam kampanye-kampanye politik, atau dalam pembahasan di perwakilan rakyat.

Yang dibicarakan Mills adalah perwakilan rakyat di negaranya. Mudah-mudahan berbeda dengan situasi di masyarakat ini, sekalipun kecenderungannya kepentingan-kepentingan kalangan bawah memang sering bukan menjadi fokus perhatian. Seperti yang sedang kita alami waktu ini, kalangan politisi lebih asyik dengan kepentingan sendiri. Publik hanya menjadi penonton.

Humor Politik untuk Publik

Yang mungkin tidak disadari kalangan politisi yang asyik sendiri, skenario yang mereka pertontonkan sering menjadi obrolan humoristis di kalangan publik. Sekadar contoh, rasanya tidak ada patung atau monumen nasional di negara lain mana pun yang menjadi objek gurauan seperti monument nasional kita. Rasanya belum pernah ada politikus Amerika yang menggunakan patung Abraham Lincoln untuk mengikat janji atau objek gurauan. Mungkin saja mereka sakralkan atau hormati; selain tentu humor semacam itu besar kemungkinan tidak pernah terpikirkan mereka. Lain ladang, lain belalang.

Salahkah kita mencari humor dalam masalah seserius urusan politik? Mungkin tidak. Akal sehat dan rasa keadilan, toleransi dan kemanusiaan, semua itu erat berkaitan dengan humor. Dalam politik, unsur-unsur humor sering dipakai mencegah sikap terlalu serius. Dalam percaturan politik yang sering kali menghilangkan rasa perikemanusiaan, rasa humor bisa dipakai menangkal kebrutalan. Humor bisa menumbuhkan toleransi, erat hubungannya dengan mawas diri; karena itu membawa kita kepada sikap yang lebih adil.

Dapat kita simpulkan, rasa humor adalah sikap kita dalam menanggapi kehidupan yang memungkinkan kita membukikan bahwa kita ini hanya manusia. Mereka yang memiliki rasa humor akan mampu menelaah inti kehidupan tanpa kekesalan yang mendalam. Mereka yang diberkahi rasa humor memiliki sikap lebih seimbang dalam dirinya; lebih besar daripada yang dipunyai orang-orang lain. Kata novelis Jerman , Wilhelm Raabe (abad ke-19), “Rasa humor adalah sabuk pengaman untuk me ngarungi arus kehidupan.”

Filosof Belanda Jan Huizinga dalam karyanya Homo Ludens (1938) mengungkap tentang berkah humor yang dilimpahkan kepada manusia. Ia menyimpulkan, menurut Plato, “Tuhan sajalah yang harus ditanggapi secara serius, tetapi manusia hendaknya ditanggapi dengan rasa humor.”

Maka jangan lagi kita terlalu serius menanggapi ocehan yang bukan-bukan dari oknum-oknum politisi. Mungkin sementara ini lebih manusiawi bila kita menanggapinya dengan rasa humor; demi menjaga keseimbangan dalam berpolitik. Yang lebih penting, kita isi tahun panas menuju 2014 dengan perencanaan dan pendidikan politik yang rapi. Pesta demokrasi bukan hanya untuk kalangan elite. Rakyat banyak pun perlu bisa mengerti dan ikut menikmati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar