JENUH. Saya rasa itulah
perasaan publik umumnya ketika mengikuti skenario politik dengan tema yang
itu-itu saja. Mudah ditebak apa yang akan dikatakan oleh yang sedang jadi
lakon, dan apa komentar para lawan maupun kawannya. Berpolitik bukan lagi
menjalankan taktik-taktik dan strategi untuk pendidikan politik demi
memenangi persaingan yang memang perlu demi misi dan visi para politisi.
Berpolitik untuk kalangan tertentu berubah manuver. Makin lama keruwetan
manuver makin membabi-buta. Publik dibuat bingung oleh tindakan-tindakan
penuh intrik; kadang-kadang licik, kadangkadang cerdik.
Di kalangan angkatan-angkatan lama wajar
bangkit nostalgia akan suasana berpolitik di masa perjuangan kemerdekaan
dan masa pembangunan sesudahnya yang berlangsung lebih transparan dan
sederhana. Suasana itu tecermin di masa Orde Lama dan Orde Baru. Mungkin
generasi muda mencibir dan mencela sistem otoriter yang oleh penguasa waktu
itu dirasakan perlu demi kestabilan. Gelora membangun reformasi, yang
semula dilandasi keinginan luhur, kini berangsur mengalami distorsi.
Sepertinya kita kehilangan pegangan; kehilangan keseimbangan berpolitik.
Keseimbangan politik bisa terjaga bila
kekuasaan politik dibagi rata. Doktrin harmoni keseimbangan kekuatan
menabukan sikap menolak atau melawan yang mengacaukan. Namun, sekarang yang
tidak normal justru makin kentara. Bahkan hukum yang menjadi pilar
demokrasi terang-terangan dicoba dilawan dengan sikap angkuh membanggakan
kedigdayaan. Menjenuhkan!
Tarik ulur itu dipertontonkan kepada
publik. Mereka yang bersangkutan barangkali merasa publik tidak masuk
hitungan, rupanya.
Menyiasati yang Mengesalkan
Setop. Jangan pedulikan lagi
ocehannya. Itu barangkali satu-satunya cara untuk menghentikan siasat tebar
pesona yang dicoba dijalankan. Biarkan hukum berjalan terus untuk
menyelesaikan persoalan. Biarkan partaipartai politik menjalankan pekerjaan
rumah masingmasing untuk menjaga kredibilitas mereka. Biarkan pula kutu
loncat lalu lalang mencari tempat pijakan. Apa lagi yang dicari? Kapan
kalangan elite mulai memikirkan kepentingan rakyat jelata?
Masalahnya, menurut sosiolog
Amerika, C Wright Mills, dalam The
Power Elite (1956), salah satu kekeliruan teori menjaga keseimbangan
politik adalah karena para anggota perwakilan rakyat terdiri dari kalangan
yang tidak bisa benar-benar mewakili kepentingan kelas bawah. Selain itu,
kemapanan di perwakilan dijaga sehingga mereka berusaha mempertahankan
kedudukan mereka. Itu yang membuat mereka tidak ingin berseberangan dengan
kekuasaan. Malahan mereka yang mengesankan memanipulasi situasi. Dan
isu-isu penting bagi kalangan bawah sulit mendapat tempat dalam
kampanye-kampanye politik, atau dalam pembahasan di perwakilan rakyat.
Yang dibicarakan Mills adalah perwakilan
rakyat di negaranya. Mudah-mudahan berbeda dengan situasi di masyarakat
ini, sekalipun kecenderungannya kepentingan-kepentingan kalangan bawah
memang sering bukan menjadi fokus perhatian. Seperti yang sedang kita alami
waktu ini, kalangan politisi lebih asyik dengan kepentingan sendiri. Publik
hanya menjadi penonton.
Humor Politik untuk Publik
Yang mungkin tidak disadari kalangan
politisi yang asyik sendiri, skenario yang mereka pertontonkan sering
menjadi obrolan humoristis di kalangan publik. Sekadar contoh, rasanya
tidak ada patung atau monumen nasional di negara lain mana pun yang menjadi objek
gurauan seperti monument nasional kita. Rasanya belum pernah ada politikus Amerika
yang menggunakan patung Abraham Lincoln untuk mengikat janji atau objek gurauan.
Mungkin saja mereka sakralkan atau hormati; selain tentu humor semacam itu
besar kemungkinan tidak pernah terpikirkan mereka. Lain ladang, lain belalang.
Salahkah kita mencari humor dalam masalah
seserius urusan politik? Mungkin tidak. Akal sehat dan rasa keadilan,
toleransi dan kemanusiaan, semua itu erat berkaitan dengan humor. Dalam
politik, unsur-unsur humor sering dipakai mencegah sikap terlalu serius.
Dalam percaturan politik yang sering kali menghilangkan rasa
perikemanusiaan, rasa humor bisa dipakai menangkal kebrutalan. Humor bisa
menumbuhkan toleransi, erat hubungannya dengan mawas diri; karena itu
membawa kita kepada sikap yang lebih adil.
Dapat kita simpulkan, rasa humor adalah
sikap kita dalam menanggapi kehidupan yang memungkinkan kita membukikan
bahwa kita ini hanya manusia. Mereka yang memiliki rasa humor akan mampu
menelaah inti kehidupan tanpa kekesalan yang mendalam. Mereka yang
diberkahi rasa humor memiliki sikap lebih seimbang dalam dirinya; lebih
besar daripada yang dipunyai orang-orang lain. Kata novelis Jerman ,
Wilhelm Raabe (abad ke-19), “Rasa humor adalah sabuk pengaman untuk me ngarungi
arus kehidupan.”
Filosof Belanda Jan Huizinga dalam karyanya
Homo Ludens (1938) mengungkap
tentang berkah humor yang dilimpahkan kepada manusia. Ia menyimpulkan,
menurut Plato, “Tuhan sajalah yang
harus ditanggapi secara serius, tetapi manusia hendaknya ditanggapi dengan
rasa humor.”
Maka jangan lagi kita terlalu serius
menanggapi ocehan yang bukan-bukan dari oknum-oknum politisi. Mungkin
sementara ini lebih manusiawi bila kita menanggapinya dengan rasa humor;
demi menjaga keseimbangan dalam berpolitik. Yang lebih penting, kita isi
tahun panas menuju 2014 dengan perencanaan dan pendidikan politik yang
rapi. Pesta demokrasi bukan hanya untuk kalangan elite. Rakyat banyak pun
perlu bisa mengerti dan ikut menikmati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar