"Ada apa dengan media
kita? Mengapa ia menjadi sedemikian ramah dan mesra kepada rezim isu?"
POLITIKUS buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk
memperkaya diri dan golongannya; sedangkan politikus baik adalah sekelompok
politikus yang belum ketahuan kedok atau belangnya. Satire tersebut
tergolong sindiran yang sangat tajam.
Kasus Anas Urbaningrum yang seharusnya berada di ranah hukum
misalnya, menjadi bias ketika ia membelokkan topik ke ranah politik lewat
retorika yang penuh teka-teki dan perlawanan.
Media dan masyarakat pun terpancing mengikuti kelanjutan misteri –
karena secara tersirat pernyataan Anas yang menjanjikan – sejumlah kasus
besar yang sekian lama menggantung; dan Century salah satunya. Tak hanya
terpancing, media bahkan ikut terseret dalam permainan itu.
Satu celah yang dilupakan oleh media dan banyak pengamat, berhasil
dibuka oleh Prof Sahetapy pada tayangan ''Indonesia
Lawyer Club'' TVOne, pada 5 Maret 2013 terkait moralitas Anas
sebenarnya. Seandainya benar Anas mengetahui sejumlah kejahatan besar atau
skandal di lingkungan elite penguasa, mengapa ia sekian lama mendiamkan?
Baru setelah tersandung kasus, Anas bertekad membuka itu lewat halaman per
halaman karena merasa menjadi korban konspirasi.
Mungkin benar anggapan bahwa mustahil kita mengharapkan ucapan jujur
dari seseorang yang saat itu berada dalam risiko dan tekanan. Tapi
seseorang yang berjiwa negarawan dan memiliki komitmen tinggi terhadap
kebenaran, seberat apa pun risiko yang dihadapi seharusnya bukan menjadi
alasan.
Skandal demi skandal hilang timbul tanpa ada kejelasan. Konspirasi
demi konspirasi diciptakan untuk mengalihkan perhatian. Isu demi isu datang
dan pergi seenak hati. Semua itu seperti memberi bukti bahwa republik ini
bergerak tanpa visi. Akan dibawa ke mana sebenarnya negeri ini?
Agenda 2014
Tumpang-tindih arus wacana terkesan berisik, membingungkan, dan bikin
pening orientasi. Apakah semua itu akan mengantarkan kita pada substansi
yang produktif dan membawa pencerahan baru? Atau sekadar hiruk-pikuk
spekulasi yang berujung pada antiklimaks persepsi.
Hiruk-pikuk kasus korupsi, prahara pada partai politik, bab-bab
lanjutan perang urat saraf antara Anas dan pihak yang disebutnya Sengkuni
atau Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik
kebocoran sprindik; terasa paling mewarnai kemeriuhan opini pada media. Ada
apa dengan media kita? Mengapa ia menjadi sedemikian ramah dan mesra kepada
rezim isu?
Hampir luput dari perhatian kita, sejumlah agenda tersembunyi untuk
menyongsong 2014 yang sudah di ambang pintu; mungkinkah itu yang membuat
sejumlah partai politik tiba-tiba menjadi sangat paranoid? Seakan-akan di
negeri, yang masih menanggung utang berbagai persoalan krusial dan
substantif, tak ada urusan lain yang lebih penting selain menyiapkan segala
perangkat dan mental untuk menyongsong 2014?
Bukan rahasia lagi, kesulitan parpol mencari kader caleg bersih dan
bermutu ditambah tanda-tanda masyarakat mulai surut kepercayaan dan skeptis
terhadap partai, makin menguatkan sinyalemen bahwa eksistensi parpol berada
dalam tekanan psikologis serius.
Media sesungguhnya punya peran besar untuk fokus pada figur calon
pemimpin yang akan mengawal Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Dengan
mewacanakan mereka, apakah dari unsur parpol atau independen, barangkali
akan lebih hemat energi dan pemikiran. Apalagi bila media mengakomodasi
partisipasi masyarakat lewat ruang atau forum yang disediakan.
Tradisi model kampanye pemilu perlu di-set up ulang karena hanya akan
melahirkan spekulasi dan biaya tinggi. Biaya tinggi hanya akan melahirkan
pemimpin yang sibuk dengan hitungan untung rugi. Ongkos politik dan biaya
politik harus direduksi secara frontal supaya kita kembali ke model
demokrasi yang murah dan alami. Salah satu cara untuk mencapai itu, media
perlu melakukan wacana dan bursa calon pemimpin masa depan sedini mungkin.
Medialah sesungguhnya pemegang kendali opini masyarakat. Pada
pundaknya termuat tanggung jawab besar untuk ikut mengawal arah dan
orientasi bangsa. Potret DPR dalam satu dekade ini yang penuh anomali dan
ambivalensi, biarkanlah jadi cerita lama.
Untuk menyiapkan perbaikan negeri ini ke depan, media perlu memberi
perhatian istimewa pada isu
kepemimpinan dan kebangsaan.
Salah satu solusi untuk Indonesia yang masuk akal ternyata dibutuhkan
pemimpin yang baik. Dari pemimpin yang baik akan lahir sistem yang baik
(tradisi paternalistik membuat peran pemimpin menjadi penentu, bukan
sistem). Dari sistem yang baik akan tercipta birokrasi yang baik. Dengan
birokrasi yang baik, masyarakat akan menikmati kenyamanan dan
kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar