Rabu, 20 Maret 2013

Peran Media dan Rezim Isu


Peran Media dan Rezim Isu
Darminto M Sudarmo  ;  Wartawan Senior
SUARA MERDEKA, 20 Maret 2013


"Ada apa dengan media kita? Mengapa ia menjadi sedemikian ramah dan mesra kepada rezim isu?"

POLITIKUS buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk memperkaya diri dan golongannya; sedangkan politikus baik adalah sekelompok politikus yang belum ketahuan ke­dok atau belangnya. Sa­tire tersebut tergolong sindiran yang sangat ta­jam.

Kasus Anas Urbaningrum yang seharusnya berada di ranah hukum misalnya, menjadi bias ketika ia membelokkan topik ke ranah politik lewat retorika yang penuh teka-teki dan perlawanan.
Media dan masyarakat pun terpancing mengikuti kelanjutan misteri – karena secara tersirat pernyataan Anas yang menjanjikan – sejumlah kasus besar yang sekian lama menggantung; dan Century salah satunya. Tak hanya terpancing, media bahkan ikut ter­seret dalam permainan itu.

Satu celah yang dilupakan oleh media dan ba­nyak pengamat, berhasil dibuka oleh Prof Sahetapy pada tayangan ''Indonesia Lawyer Club'' TVOne, pada 5 Maret 2013 terkait moralitas Anas sebenarnya. Seandainya benar Anas mengetahui sejumlah kejahatan besar atau skandal di lingkungan elite penguasa, mengapa ia sekian lama mendiamkan? Baru setelah tersandung kasus, Anas bertekad membuka itu lewat halaman per halaman karena merasa menjadi korban konspirasi.

Mungkin benar anggapan bahwa mustahil kita mengharapkan ucapan jujur dari seseorang yang saat itu berada dalam risiko dan tekanan. Tapi seseorang yang berjiwa negarawan dan memiliki komitmen tinggi terhadap kebenaran, seberat apa pun risiko yang dihadapi seharusnya bukan menjadi alasan.
Skandal demi skandal hilang timbul tanpa ada kejelasan. Konspirasi demi konspirasi diciptakan untuk mengalihkan perhatian. Isu demi isu datang dan pergi seenak hati. Semua itu seperti memberi bukti bahwa republik ini bergerak tanpa visi. Akan dibawa ke mana sebenarnya negeri ini?

Agenda 2014

Tumpang-tindih arus wacana terkesan berisik, membingungkan, dan bikin pening orientasi. Apakah semua itu akan mengantarkan kita pada substansi yang produktif dan membawa pencerahan baru? Atau sekadar hiruk-pikuk spekulasi yang berujung pada antiklimaks persepsi.

Hiruk-pikuk kasus korupsi, prahara pada partai politik, bab-bab lanjutan perang urat saraf antara Anas dan pihak yang disebutnya Sengkuni atau Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik kebocoran sprindik; terasa paling mewarnai kemeriuhan opini pada media. Ada apa dengan media kita? Mengapa ia menjadi sedemikian ramah dan mesra kepada rezim isu?

Hampir luput dari perhatian kita, sejumlah agenda tersembunyi untuk menyongsong 2014 yang sudah di ambang pintu; mungkinkah itu yang membuat sejumlah partai politik tiba-tiba menjadi sangat paranoid? Seakan-akan di negeri, yang masih menanggung utang berbagai persoalan krusial dan substantif, tak ada urusan lain yang lebih penting selain menyiapkan segala perangkat dan mental untuk menyongsong 2014?

Bukan rahasia lagi, kesulitan parpol mencari kader caleg bersih dan bermutu ditambah tanda-tanda masyarakat mulai surut kepercayaan dan skeptis terhadap partai, makin menguatkan sinyalemen bahwa eksistensi parpol berada dalam tekanan psikologis serius.

Media sesungguhnya punya peran besar untuk fokus pada figur calon pemimpin yang akan mengawal Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Dengan mewacanakan mereka, apakah dari unsur parpol atau independen, barangkali akan lebih hemat energi dan pemikiran. Apalagi bila media mengakomodasi partisipasi masyarakat lewat ruang atau forum yang disediakan.

Tradisi model kampanye pemilu perlu di-set up ulang karena hanya akan melahirkan spekulasi dan biaya tinggi. Biaya tinggi hanya akan melahirkan pemimpin yang sibuk dengan hitungan untung rugi. Ongkos politik dan biaya politik harus direduksi secara frontal supaya kita kembali ke model demokrasi yang murah dan alami. Salah satu cara untuk mencapai itu, media perlu melakukan wacana dan bursa calon pemimpin masa depan sedini mungkin.

Medialah sesungguhnya pemegang kendali opini masyarakat. Pada pundaknya termuat tanggung jawab besar untuk ikut mengawal arah dan orientasi bangsa. Potret DPR dalam satu dekade ini yang penuh anomali dan ambivalensi, biarkanlah jadi cerita lama.

Untuk menyiapkan perbaikan negeri ini ke depan, media perlu memberi perhatian istimewa pada isu 
kepemimpinan dan kebangsaan.

Salah satu solusi untuk Indonesia yang masuk akal ternyata dibutuhkan pemimpin yang baik. Dari pemimpin yang baik akan lahir sistem yang baik (tradisi paternalistik membuat peran pemimpin menjadi penentu, bukan sistem). Dari sistem yang baik akan tercipta birokrasi yang baik. Dengan birokrasi yang baik, masyarakat akan menikmati kenyamanan dan kesejahteraan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar