Kegelisahan
kian membuncah mencermati kegagalan pemerintah menanggulangi kemiskinan.
Tidak banyak yang memberitakan perihal kemiskinan ini, karena perhatian
media terserap ke puluhan kasus korupsi. Memang korupsi makin
memperpurukkemiskinan. Tetapi yang sangat mencemaskan adalah kebijakan dan
program pemerintah sendiri justru anti pada penanggulangan kemiskinan.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono terlihat kebingungan dan galau atas
kemiskinan ini. Di satu sisi dia bangga bahwa pemerintahannya bisa
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Termasuk banyak mendapatkan
pujian dari dunia internasional, karena pada masa kepemimpinannya ekonomi
tumbuh tertinggi kedua di dunia setelah China.
Tetapi,
bak sebuah koin uang, sisi lainnya justru kesenjangan ekonomi yang kian lebar
dan kemiskinan yang tak kunjung berkurang. Artinya ada kelompok kecil makin
kaya raya dan jutaan lainnya makin miskin. Bukankah jika demikian
pemerintah membangun untuk kelompok kaya dan menengah saja, dan mengacuhkan
kebanyakan yang miskin?
Bila
saja para ekonom tidak melupakan peringatan Simon Kuznets, pastilah
kegalauan dan kegelisahan itu bisa dijawab. Simon Kuznets adalah ekonom
penerima Nobel Ekonomi tahun 1971, penggagas formula GNP yang dipakai untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi. Dari awal dia telah memperingatkan agar GNP
tidak dijadikan indikator mengukur dari kesejahteraan sebuah bangsa, karena
bukan itu tujuannya.
Tapi
apa lacur, peringatan Kuznets tak digubris para pengambil kebijakan
pembangunan dari pusat hingga daerah cuma punya tujuan pertumbuhan ekonomi
saat ini.
Mari
kita periksa mengapa pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan elite kaya dan
menengah dan memperpuruk kondisi kemiskinan.
Pertumbuhan
ekonomi hanyalah persentase dari rasio antara pendapatan bruto nasional
(GNP) dalam rentang waktu/tahun berurutan. Formula dari GNP = C+I+G+(X-M),
yang berarti nilai total dari konsumsi (C), investasi (I), anggaran
pemerintah (G) dan selisih nilai ekspor dikurangi impor (X-M). Sebenarnya
GNP hanyalah catatan seluruh transaksi ekonomi yang terjadi di sebuah
negara; dan transaksi memang hal berbeda dari penurunan kemiskinan.
Seharusnya
seluruh catatan transaksi tersebut tidak bisa dipakai untuk menentukan
indikator kesejahteraan atau bahkan pengurangan kemiskinan.
Paling
gampangnya tentu, kalau yang bertransaksi melalui investasi adalah pemilik
modal sehingga terjadi aliran dana ke pemilik modal dan kelas menengah,
maka sebenarnya tidak terjadi distribusi pendapatan ke rakyat kecil malah
pelemahan ekonomi rakyat.
Hal
lain malah harusnya GNP menggunakan pendapatan masyarakat karena bisa
menilai berapa penerimaaan yang ada, namun GNP justru membukukan nilai
konsumsi (C). Artinya makin konsumtif masyarakat dimaknai menumbuhkan
ekonomi.
Contohnya
makin banyak rakyat yang mengkredit sepeda motor atau perabot rumah tangga
disebut ikut bagus untuk pertumbuhan ekonomi. Masa utang rakyat makin
meningkat disebut bagus buat ekonomi. Bukankah yang benar agar tidak
miskin, rakyat harus memiliki tabungan, bukan malah banyak utang.
Di balik
dorongan untuk bersikap konsumtif di kalangan masyarakat adalah keinginan
korporasi besar agar investasinya aman atau balik dengan untung besar.
Kembali di sini pertumbuhan ekonomi disokong oleh investasi perusahaan
besar (I). Investor besar sangat tertarik karena mudah mendapatkan lahan
dan buruh boleh dibayar murah.
Kondisi
investasi yang demikian ini berdampak pada beberapa hal. Pertama, dana yang
dipakai oleh korporasi beberapa adalah deposito publik yang harusnya
dialokasikan untuk menggerakkan ekonomi si miskin. Karena dipakai korporasi
besar, kredit untuk orang miskin menjadi tiada atau sangat kecil.
Kedua, lahan-lahan
produktif yang seharusnya bisa dipakai rakyat untuk melangsungkan
kehidupannya makin sulit diperoleh, karena dialokasikan untuk korporasi
besar. Akibatnya 30 juta buruh tani terus miskin karena tidak mendapatkan
lahan. Mengapa pengusaha yang sudah berkemewahan terus bisa mendapatkan
lahan, sedangkan buruh tani tidak.
Pada
belanja anggaran pemerintah (G) setiap tahun terjadi peningkatan, tetapi
yang tidak pernah dimasukkan dalam neraca bahwa peningkatan tersebut
diperoleh dari utang dan obligasi pemerintah. Dua dampak kepada rakyat
miskin akibat utang.
Pertama,
penggunaan anggaran sendiri lebih banyak untuk mempermudah kelompok
menengah dan atas daripada mempermudah ekonomi rakyat. Misalnya,
pembangunan infrastruktur jalan diutamakan untuk wilayah urban dan
perkotaan, bukan untuk memperbaiki infrastruktur di daerah tertinggal untuk
rakyat miskin. Angkutan umum gratis untuk rakyat yang diselenggarakan
pemerintah pun tidak ada.
Kedua, beban
pembayaran utang dengan bunganya sangat besar, akibatnya dana yang harusnya
untuk melayani kepentingan rakyat terpotong untuk membayar utang.
Variabel
pendongkrak pertumbuhan sisanya adalah selisih ekspor dan impor (X-M), juga
memiliki karakter antipenanggulangan kemiskinan. Buktinya kegiatan ekspor
sampai hari ini ekspor kita bukan dikontribusi oleh ekonomi rakyat, tetapi
lebih besar dikontribusi korporasi besar yang melakukan ekstraksi sumber
daya alam dan industri yang berbasis upah buruh rendah.
Dampaknya
buruh tetap dibayar murah dan Indonesia mengalami kerusakan ekosistem dan
ekologi yang parah. Jutaan hektare hutan dibabat dan dikonversi menjadi
perkebunan monokultur. Pertambangan batu bara juga tidak berdampak pada
ekonomi rakyat, hanya kerusakan lingkungan yang dinikmati rakyat.
Perbedaan Fundamental
Dari
paparan di atas tampak bahwa para pengambil kebijakan pembangunan di
republik ini kurang memahami bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kualitas hidup ada perbedaan yang fundamental. Karenanya dalam
penanggulangan kemiskinan, paradigma yang harusnya diambil adalah
peningkatan kualitas hidup, bukan pertumbuhan ekonomi.
Atas
dasar ini pula arah kebijakan pemerintah yang dikenal
dengan pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment sebenarnya
memiliki logika yang bertabrakan. Ini karena pro-growth justru sebenarnya
makin menciptakan pengangguran, kemiskinan dan kerusakan lingkungan.
Kualitas
hidup bagi kalangan rakyat miskin akan terjadi manakala terjadi distribusi
dan terbukanya akses pada faktor-faktor produksi seperti lahan, kredit,
pasar yang layak, perlindungan harga dan pelayanan murah pelayanan sosial
seperti pendidikan dan kesehatan.
Secara
kelembagaan fokus pada peningkatan kualitas hidup si miskin juga
dipersyaratkan dengan adanya intervensi yang kuat dari pemerintah. Bukan
atas nama pertumbuhan justru memperkecil peran pemerintah melalui pasar
bebas dan berbagai deregulasi.
Pemikir
pembangunan heterodoks Prof Ha-Joon Chang meyakinkan pemerintah banyak
negara berkembang untuk menendang saja tangga pembangunan konvensional
atau kicking away the ladder yang disarankan lembaga keuangan
internasional. Menurutnya pendekatan neoliberal dengan pasar bebas dan
investasi bebas justru dalam sejarah tidak pernah dijalankan di negara
Eropa pada awalnya.
Sampai
di sini manakala ada pengambil kebijakan pembangunan yang masih mengatakan
pertumbuhan ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan, berarti dia sebenarnya
menebar kepalsuan belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar