SETELAH KPU menetapkan 10 partai politik
sebagai peserta Pemilu 2014, kini kesibukan parpol memasuki tahap
berlomba-lomba menjaring calon anggota legislatif (caleg) DPR serta DPRD
provinsi dan kabupaten/kota, untuk berlaga pada tiap daerah pemilihan
(dapil). Mulai 9 April nama itu harus diserahkan ke KPU untuk diproses
menjadi daftar calon sementara (DCS).
Parpol saat ini sedang sibuk mendesain
aneka model penjaringan caleg supaya bisa memenuhi kuota 3-12 kursi tiap
dapil untuk DPRD provinsi dan kabupaten/ kota, serta 3-10 kursi untuk DPR,
termasuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan pada tiap dapil.
Untuk memenuhi target itu parpol menyusun
aneka strategi. Pertama; membuka kesempatan kepada masyarakat dan kalangan
profesional untuk melamar. Tak pelak sejumlah artis, pengusaha, birokrat,
akademisi, bahkan ibu rumah tangga, ikut meramaikan bursa. Kedua; memberi
kesempatan pada kader internal parpol yang memiliki prospek tinggi
elektoral dan ''bergizi'' tinggi.
Dua model itu tak ubahnya penjaringan caleg
dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Model pertama kian menegaskan bahwa
parpol tak mampu melembagakan pengaderan caleg dari internal. Realitasnya
parpol menawarkan kesempatan kepada pihak luar dengan dalih memperluas
partisipasi masyarakat dan menambah keberagaman sumber daya parpol.
Politik
Transaksional
Namun dari aspek pelembagaan sistem kepartaian,
model itu amat buruk karena hanya akan melahirkan politikus karbitan dan
instan. Sumber daya politikus sejati hanya bisa lahir dari
keikutsertaan mereka dalam proses dan dinamika berorganisasi pada parpol
secara simultan dan berjenjang. Merekrut politikus karbitan dipastikan
hanya menjaring sumber daya opurtunis.
Pilihan model kedua pun amat memprihatinkan
karena parpol hanya memberi jatah kepada caleg yang bersedia menyumbangkan
''gizi'' tinggi. Kader internal yang potensial namun tak memiliki cukup
''gizi'' tersingkir dari pencalonan.
Cara ini bukan saja kian meminggirkan peran
kader internal parpol melainkan juga makin menegaskan ketersanderaan parpol
oleh politik transaksional yang materialistik.
Dua model penjaringan caleg ini juga
memperjelas bahwa penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak,
bukan nomor urut, sejak Pemilu 2009 dan 2014 ini menggiring parpol untuk
menganakemaskan caleg yang memiliki tingkat popularitas tinggi, jaringan
sosial luas, dan segunung uang, untuk menjadi vote getter pada tiap dapil.
Kita pun tidak bisa memungkiri seandainya
pengusaha dan artis akan mendominasi Pemilu 2014. Partai-partai memang
mengincar dua profesi itu untuk dijaring menjadi caleg. Jamak diketahui
bahwa pengusaha dan artis pastilah memiliki uang dan tingkat popularitas
tinggi dibanding profesi lain.
Fakta ini sekaligus menunjukkan orientasi
parpol dalam menjaring caleg tidak hendak memperbaiki kualitas anggota DPR
dan DPRD), namun lebih mengutamakan kemenangan meraup suara rakyat
terlebih dahulu dalam pemilu dengan menampilkan pengusaha yang punya
banyak uang dan artis yang memiliki tingkat popularitas tinggi.
Makin jelas pula bahwa parpol berpandangan
bahwa soal kualitas bisa dipikirkan belakangan. Dominansi caleg dari
kalangan pengusaha dan artis pada Pemilu 2014 akan menurunkan
derajat legitimasi politikus dan sistem kepartaian pada mata publik.
Dipastikan pengusaha dan artis yang bukan
kader tulen partai tak akan mampu menerjemahkan ideologi parpol pada level
kebijakan dan program di parlemen.
Parpol harus mempersiapkan caleg-caleg
untuk Pemilu 2014 seperti dikatakan oleh Robert A Dahl (1992) yakni dengan
mendasarkan pada pemenuhan persyaratan moral; pengetahuan akan kebajikan
dan kepentingan umum; serta keahlian teknis atau instrumental yang
diperlukan guna mengemban tugasnya sebagai pejabat politik.
Semua persyaratan caleg, proses
penjaringan, penyaringan, penominasian, dan penetapan caleg harus dilakukan
secara demokratis dan melibatkan masyarakat.
Bila perlu mengumumkannya kepada publik 1-2
tahun sebelum pemilu berlangsung.
Regulasi tentang parpol dan tentang pemilu
anggota DPR dan DPRD pada masa mendatang perlu mengatur cara-cara tersebut,
disertai dengan sanksi tegas supaya dilaksanakan oleh partai. Ini
semata-mata untuk menghindari keterulangan model pencalonan sebagaimana
pada pemilu sebelumnya (2004 dan 2009) yang sangat tertutup, oligarkis, dan
berkesan asal comot. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar