Rabu, 06 Maret 2013

Pengendalian Modal Global


Pengendalian Modal Global
Gregorius Teguh Santoso ;  Pengajar Global Marketing
Fakultas Ekonomi-Bisnis, Universitas Surabaya
SUARA KARYA, 06 Maret 2013


Masih segar dalam ingatan, setelah krisis ekonomi global 2008 muncul kesadaran dan dorongan kuat agar regulasi atas sektor keuangan diperkuat. Hal ini dilandasi pemahaman bahwa sistem ekonomi pasar bebas yang telah dipraktikkan secara membabi-buta dan menghalalkan segala cara untuk meraup untung sebesar-besarnya telah memberi andil menjebloskan sejumlah korporasi besar dalam rangkaian kebangkrutan, mulai dari Lehman Brothers, Morgan Standley, dan Merrill Lynch.

Banyak pakar ekonomi terkemuka sepakat bahwa akar utama penyebab berkepanjangannya krisis perekonomian global dan rusaknya sistem keuangan global pada umumnya adalah global imbalances (ketidak-seimbangan global). Ketidak-seimbangan yang dimaksud adalah makin tidak produktif, makin malas, dan makin konsumtifnya perekonomian di negara-negara maju. Produk-produk manufaktur mereka kalah bersaing dengan murahnya produk-produk China maupun India sehingga neraca perdagangan dan transaksi berjalan mengalami defisit yang kian besar.

Alih-alih mereka mencoba membangkitkan perekonomian dengan mendorong produktivitas, justru sisi konsumtiflah yang coba digenjot untuk terus mengkamuflase kemajuan, modernitas, dan gaya hidup glamour. Tatkala besaran pendapatan tak lagi memadai, maka utang menjadi pilihan utama agar gaya hidup tersebut dapat terus dipertahankan. Hingga satu titik dicapai manakala utang telah bertumpuk dan menimbulkan lingkaran setan serta memicu krisis, baik pada skala individu (household level), skala korporasi (corporate level), dan skala pemerintahan suatu negara (country level).

Akan tetapi, kini, tekanan dan semangat untuk melakukan reformasi sistem keuangan global dan reformasi ekonomi pasar secara fundamental kian pudar laksana lalu bersama angin (gone with the wind). Makin banyaknya indikator perekonomian global yang menunjukkan tanda-tanda pemulihan kiranya telah melenakan dan menyurutkan semangat dan tekad reformasi ekonomi global sebagaimana telah dicanangkan sebelumnya. Selain itu, masing-masing pemerintahan telah sibuk bersigegas menyelamatkan diri sendiri sehingga banyak menelurkan berbagai kebijakan ekonomi yang tak sejalan dan saling sengkarut.

Gambarannya sebagai berikut: kebangkrutan korporasi dan penurunan permintaan agregat memicu penurunan aktivitas perekonomian yang pada gilirannya mendorong terjadinya gelombang PHK besar-besaran. Pada titik ini, secara teoritis, negara diharapkan muncul memainkan peran dengan mengucurkan stimulus ekonomi yang diimbangi dengan penerapan sistem pajak yang memadai.

Dengan kata lain, surutnya peran sektor swasta dalam perekonomian seyogi-anya diimbangi dengan membesarnya peran negara agar denyut nadi perekonomian global tetap berdetak. Dalam hal ini diperlukan modal alias anggaran belanja yang cukup, namun apa lacur? Tak ada dana mencukupi karena anggaran negara tengah berada dalam kondisi negatif alias defisit terjerat utang.

Di sisi lain, karena beban utang negara yang tak terelakkan, kebijakan penghematan anggaran negara untuk mengurangi tumpukan utang makin menekan permintaan agregat yang kemudian memicu jumlah pengangguran. Jadilah, peran negara yang diharapkan justru tak muncul dan makin memperumit persoalan. Kebijakan ekonomi (economic policy) yang tak sejalan inilah yang menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) harus diretas dengan menelurkan suatu kebijakan komprehensif dan sejalan. Situasi kuldesak alias jalan buntu nan tak berujung mesti diurai bersama.

Bahkan tak kurang dari IMF sendiri memandang bahwa capital control (pengendalian modal) merupakan salah satu tool kit (alat bantu) dalam proses stabilisasi ekonomi global. Salah satu pelaku ekonomi yang diharapkan mampu menjadi garda depan implementasi capital control tersebut adalah negara. Tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa kembalinya peran Negara bukanlah suatu 'pengingkaran' atas ruh kapitalisme dan ekonomi pasar bebas itu sendiri, melainkan sebagai upaya intervensi untuk menjamin agar ekonomi pasar tetap dapat bertahan.

Dalam hal ini, tak ada salahnya kita kembali mengingat beberapa agenda penting global yang pernah diajukan oleh Minsky (1991).

Pertama, pemerintah dalam koordinasi nyata dengan para pelaku usaha swasta global seyogyanya berperan aktif dalam mengurai masalah pengangguran, khususnya pengangguran usia muda/produktif, dan berfungsi layaknya employer of last resort. Pada titik ini, kerelaan kerja sama para pelaku bisnis global diharapkan dalam bentuk pembayaran pajak yang makin signifikan, utamanya dari hasil usaha mereka di manca-negara. Upaya-upaya pengalihan basis produksi yang gencar dijalankan selama ini, misalnya, adalah bagian dari penghindaran pajak yang dilakukan secara sistematis oleh para korporasi multi-nasional (MNC) tersebut.

Kedua, sektor finansial harus direformasi secara besar-besaran dan fundamental tak hanya pemulas bibir ataupun pemulas wajah yang menutupi bopeng-bopeng perekonomian pasar bebas global tanpa menghujam dalam akar permasalahan sebenarnya (real root cause). Aksi nyata untuk meregulasi sistem keuangan global menjadi kian diperlukan tidak saja untuk mengurai benang kusut permasalahan saat ini tetapi juga guna mengantisipasi berulangnya masalah serupa di masa datang.

Kendati harus diakui, sebagaimana pernah dirasakan oleh ekonom terkemuka Charles P Kindleberger bahwa satu-satunya topik yang tak pernah using dalam ilmu ekonomi adalah krisis. Artinya, krisis ekonomi akan tetap berulang dan akan terus terjadi serta menjadi suatu bussiness landscape baru yang tak bisa lepas dari dinamika perekonomian global itu sendiri. Namun, ini janganlah dijadikan pembenaran (excuse) untuk melakukan pembiaran makin meningkatnya potensi kesenjangan global yang bisa meledak sewaktu-waktu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar