Rabu, 06 Maret 2013

Pemberian Kredit pada Perbankan


Pemberian Kredit pada Perbankan
Tomi Adhiyudha ;  Wiraswastawan, Alumnus FE Usakti Jakarta
SUARA KARYA, 06 Maret 2013



Five C's of Credit (Prinsip 5 C) merupakan lima prinsip yang harus dipedomani bank dalam setiap pemberian kredit kepada calon debitur. Kelima prinsip ini adalah character (karakter/watak), capacity (kemampuan mengelola usaha), capital (kecukupan modal), condition of economic (kondisi ekonomi) dan collateral (tersedianya agunan/jaminan).
Ketika memproses dan menganalisis setiap permohonan kredit, pihak bank wajib meyakini dan mendalami tentang kondisi atau keadaan calon debitur, baik internal maupun eksternalnya. Internal, antara lain menyangkut keadaan pribadi (personality), dan lain-lain. Sedangkan eksternal terkait soal permodalan, kemampuan dan keadaan/prospek usaha yang akan dibiayai/dimodali serta kecukupan nilai agunan calon debitur sebelum bank memutuskan untuk menyetujui penyediaan fasilitas kredit.
Praktik perbankan seperti ini masuk dalam kategori prudent banking (prinsip kehati-hatian), bertujuan untuk berjaga-jaga dan atau sebagai tindakan preventif mencegah timbulnya kredit bermasalah (non performing loan - NPL) di kemudian hari pasca diberikannya kredit kepada debitur.
Pertama, analisis mengenai karakter/watak (character) calon debitur ini sangat menentukan kemauan membayar kembali kredit yang telah dinikmatinya. Kedua, capacity (kemampuan mengelola usaha) perlu dicermati karena terkait erat dengan kemampuan calon debitur melunasi kreditnya kelak saat kredit jatuh waktu/tempo. Ketiga, masalah capital, terutama terkait informasi mengenai besar kecilnya modal perusahaan calon debitur pun sangat penting bagi bank.
Keempat, conditions of economic adalah keadaan perekonomian secara umum di mana sebuah perusahaan beroperasi. Bagaimanapun kondisi perekonomian sangat menentukan keberhasilan maupun kegagalan suatu perusahaan sehingga pihak bank/analis kredit wajib mempertimbangkan keadaan perekonomian, dan proyeksi perekonomian minimal selama dalam jangka waktu pemberian kredit.
Kelima, masalah collateral (jaminan kredit). Yakni, setiap aktiva atau barang-barang, baik bergerak dan atau tidak bergerak yang diserahkan debitur kepada pihak bank sebagai jaminan atas kredit yang diperoleh/dinikmatinya.
Pasca pemberian kredit kepada debitur, bukan berarti tugas bank sebagai penyedia modal lantas selesai sampai di situ. Tapi, justru itulah awal mula tugas bank yang sesungguhnya dalam memaknai penyaluran kredit. Bank yang sesungguhnya senantiasa melakukan pembinaan dan pemantauan (monitoring) atas kredit yang telah disalurkan. Misal, apakah debitur benar-benar menggunakan kreditnya sesuai dengan permohonan semula atau dengan perkataan lain penggunaan kredit sesuai peruntukannya, atau jangan-jangan digunakan untuk keperluan lain yang bukan terkait usaha tetapi untuk pribadi/konsumtif (foya-foya, mengawinkan anak, bahkan kawin lagi dan sebagainya). Lalu bagaimana perkembangan dan prospek usaha debitur? Selanjutnya, bagaimana keadaan perekonomian nasional secara keseluruhan, kondusif atau tidakkah bagi perkembangan jenis usaha debitur?
Dengan menggunakan sarana analisis secara Five C's of Credit pada setiap menganalisis pemberian kredit kepada (calon) debitur serta melaksanakannya secara konsisten dan konsekuen, maka akan beroptimisme menihilkan (zero) kredit bermasalah (NPL), atau setidaknya dapat meminimalisir terjadinya kredit bermasalah dan terutama yang berkolektibilitas lima atau macet.
Bank dan nasabah sebenarnya sama-sama merasakan nikmatnya penyaluran kredit. Bank memperoleh bunga dari hasil pemberian kredit kepada debitur. Sedangkan debitur memperoleh keuntungan dari hasil fasilitas kredit sebagai modal guna memajukan usahanya.
Bank maju dan meraup untung/laba, disamping akan semakin mensejahterakan pimpinan dan karyawannya serta mendapat apresiasi (penghargaan) dari pemerintah karena merupakan bank sehat dan baik serta ikut membantu pembangunan ketika memberikan kredit yang sehat (berkualitas) kepada debitur.
Sementara bagi debitur, pasca menerima pinjaman/kredit dari bank dan mengalami kemajuan dan keuntungan besar sehingga juga akan mensejahterakan pemilik (stake holder), pimpinan dan para karyawannya. Bahkan karena omzet dan usahanya berkembang pesat, misalnya, sehingga perusahaan pun membutuhkan/menerima tambahan karyawan baru yang setidak-tidaknya perusahaan debitur juga ikut membantu pemerintah didalam mengatasi/menanggulangi/mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia.
Namun, jika yang terjadi sebaliknya, di mana para pegawai pelaksana/pejabat bank tidak mematuhi Prinsip 5 C tadi, tentu akan berpotensi timbulnya kredit bermasalah dan bukan semata merepotkan bank, tapi juga debitur. Dhus, jika banknya sarat dengan kredit bermasalah bahkan dilonjaki keberadaan kredit macet, maka bisa-bisa banknya akan mengurangi karyawannya melalui PHK, yang ujung-ujungnya bisa saja banknya menjadi terancan bangkrut atau ditutup.
Dari segi eksternal bank, biang kerok atau sumber utama terjadinya kredit bermasalah atau NPL, umumnya adalah sebagai akibat tidak dipatuhinya Prinsip 5 C. Semisal, sudah tahu karakter (calon) debiturnya sangat buruk (pemabuk, penjudi, pemain perempuan, dan lain-lain) tapi oleh pejabat bank tetap saja dipaksakan untuk diberikan kredit, mungkin dengan dalih untuk mencapai target (ambisius), dan lain-lain.
Sedangkan dari segi internal bank, para analis/pejabat bank, di samping tidak berkualitas dan tidak profesional, sengaja bekerja sama atau melakukan kongkalikong dengan (calon) debitur dengan melakukan fraud (perbuatan curang) dengan memberikan kredit secara tidak patuh pada ketentuan (incompliance) yang berlaku dan dengan maksud untuk menguntungkan/ memperkaya diri pribadi, keluarga dan atau kelompoknya (terkait moral hazaard). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar