Rabu, 06 Maret 2013

Risiko Pejabat Poligami


Risiko Pejabat Poligami
Musthofa Sy ;  Hakim Pengadilan Agama Pasuruan
JAWA POS, 06 Maret 2013
  

KALAU harus menempuh proses prosedural dan berbagai aturan administratif kelembagaan atau kesatuan, rasanya poligami bagi pejabat itu hanya impian. Namun, celah selalu tersedia. Muncullah kasus pejabat berpoligami tanpa akta nikah (siri) selama empat hari, kemudian mencerainya dengan pesan singkat (SMS). Ada pula yang berpoligami dengan akta nikah asli tapi palsu (aspal) dan menggunakan identitas palsu untuk memiliki putri ayu. Bahkan, sangat disayangkan, pejabat pengadilan yang diamanati untuk mengadili perkara poligami dijatuhi sanksi pemecatan karena berpoligami (Jawa Pos, 1/3).

Perlu diingat, asas perkawinan dalam UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan (UUP) adalah monogami. Namun, masih terbuka peluang bagi suami (bukan istri) berpoligami setelah mendapat izin pengadilan (pasal 3). Asas perkawinan dalam hukum Islam membuka peluang poligami dengan syarat harus adil. Bila tidak mampu, jangan berpoligami (QS Al-Nisa: 3).

Hanya ada tiga alasan seorang laki-laki diizinkan berpoligami, yaitu apabila istri: (a) tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, (b) mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau (c) tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun syarat yang harus dipenuhi: (a) adanya persetujuan istri, (b) adanya kepastian mampu menjamin kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan (c) adanya jaminan suami berlaku adil. 

Secara normatif, pengajuan poligami cukup dilakukan dengan permohonan tertulis (pasal 4 ayat (1) UUP jo pasal 40 PP 9/1975) dalam bentuk volunter (tanpa ada pihak lawan). Namun, sesuai petunjuk Mahkamah Agung, praktik di pengadilan agama harus dibuat dalam bentuk kontensius, yakni memosisikan istri sebagai pihak lawan (termohon) sehingga istri mempunyai hak mengajukan upaya hukum. 

Dalam perkembangannya, permohonan izin poligami harus pula mencantumkan harta bersama yang diperoleh dengan istri sebelumnya untuk ditetapkan sekaligus dalam putusan izin poligami. Yakni, ditegaskan bahwa harta itu merupakan harta bersama suami dengan istri terdahulu. Bila tidak dicantumkan, permohonan bisa dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Namun, M. Insa, yang merasa sebagai suami yang kecewa terhadap ketentuan hukum poligami mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menilai ketentuan itu mengurangi hak untuk berpoligami yang dinilai tak sejalan dengan hak asasi yang dijamin UUD 45. Namun, MK dalam putusan No 12/PUU-V/2007 menolaknya. Alasannya, syarat dan prosedur poligami semata-mata untuk menjamin dipenuhinya hak istri dan calon istri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami. 

Tingkatan Sanksi 

UUP tidak mengatur sanksi bagi pelanggar ketentuan poligami. Sanksi hanya diatur dalam peraturan pemerintah dengan ancaman hukuman denda maksimal Rp 7.500 (pasal 45 PP 9/1975). Sanksi ringan ini kadang dianggap celah bagi pelanggar. 

Kasus pemecatan pejabat karena berpoligami cukup menarik. Tetapi, pemecatan itu semestinya tidak serta merta. Untuk menjatuhkan sanksi, perlu dilihat model poligaminya. Pertama, poligami berdasar alasan, syarat, dan prosedur. Kedua, poligami sesuai prosedur, tapi tidak memenuhi alasan. Ketiga, poligami yang melanggar ketentuan hukum. 

Poligami model pertama telah berdasar alasan, syarat, dan prosedur. Karena itu, tidak sepatutnya pelaku dijatuhi sanksi pemecatan. Pejabat ini telah menaati hukum. Kalaupun harus dihukum karena dianggap melanggar etik atau moral, sanksi maksimal bagi pejabat (misalnya, hakim) itu tidak dipromosikan sebagai pimpinan. Atau kalau sudah menduduki pimpinan, dikembalikan sebagai hakim saja. Kalau terjadi pada pejabat di lingkungan eksekutif, sanksinya tidak dipromosikan dalam jabatan struktural, cukup diposisikan sebagai staf.

Poligami model kedua ini sesuai prosedur, karena mendapat izin pengadilan, tetapi tidak memenuhi alasan sesuai ketentuan UU. Apakah mungkin? Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan UU persentasenya (53 persen) lebih besar bila dibandingkan dengan alasan sesuai dengan ketentuan UU. Alasan itu, antara lain, suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain atau telah kawin siri dengan calon istrinya. 

Adapun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan UU, antara lain, faktor pandangan hukum agama (religious law), yaitu hukum Islam yang membolehkan poligami, faktor kemaslahatan, dan menghindari perzinaan. Sanksi pemecatan bagi poligami model kedua adalah fifty-fifty. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan sanksinya. 

Poligami model ketiga melanggar ketentuan hukum. Pejabat yang berpoligami model ketiga inilah yang layak dijatuhi sanksi pemecatan. Kasus pejabat berpoligami yang terungkap dan menjadi sorotan publik selama ini adalah poligami yang melanggar ketentuan hukum. Beberapa pejabat dipecat karena melakukan poligami siri atau liar yang jelas melanggar ketentuan hukum perkawinan. Kasus poligami dengan surat nikah asli tapi palsu (aspal), selain melanggar ketentuan hukum perkawinan, juga melanggar ketentuan pasal 93 UU No 23/2006 tentang Administrasi yang ancaman pidananya sampai 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar