TERKEJUT, itulah reaksi
pertama kebanyakan orang ketika mengeta hui siapa yang terpilih sebagai
Paus ke-266 Gereja Katolik menggantikan Benediktus XVI yang mengundurkan
diri 28 Februari lalu. Semua prediksi media massa ternyata meleset.
Para kardinal memutuskan memilih seorang
kardinal yang tidak banyak tampil, kendati pernah disebut-sebut sebagai
salah satu calon delapan tahun lalu, dalam konklaf yang akhirnya memilih
Joseph Ratzinger sebagai paus.
Georg (Jorge) Bergoglio memang bukan orang
media. Dia lebih banyak tampil dalam kesederhanaan tanpa banyak peliputan.
Kendati demikian, dia membuat langkah-langkah yang berani untuk mendekatkan
gereja dengan orang-orang miskin dan terpinggirkan.
Keprihatinan utamanya ialah jurang yang
kian melebar antara yang kaya dan miskin, yang sangat nyata bukan hanya di
Argentina dan negaranegara lain di Amerika Latin, melainkan juga kini
menjadi realitas yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara.
Baginya, option for the poor bukan cuma slogan yang perlu didengungkan
dalam wejangan dalam ibadat atau renungan saleh untuk para pejabat agama.
Keberpihakan gereja terhadap kaum miskin pun tidak disampaikan sebagai
janji yang menghibur para miskin.
Georg Bergoglio mengambil langkah konkret
untuk opsi itu. Saat menjadi Uskup Buenos Aires, Argentina, dia memutuskan
untuk meninggalkan istana mewah yang telah disiapkan sebagai tempat tinggal
uskup dan memilih tinggal di sebuah apartemen sederhana.
Jika bepergian, selama memungkinkan, dia
menggunakan kendaraan umum. Sang kardinal pun lebih merasa nyaman disebut
sebagai padre (bapa) Georg daripada dengan sapaan monsignore (tuanku).
Kesederhanaan seperti itu bukanlah sesuatu
yang dibuatbuat. Sejak kecil dia sudah mengalaminya. Dia dilahirkan sebagai
salah seorang dari tujuh anak sebuah pasangan imigran Italia. Ayahnya ialah
seorang karyawan kereta api, ibunya mengurus rumah tangga. Dia dilahirkan
17 Desember 1936.
Tidak ada kemewahan di rumah. Keluarganya
tidak termasuk dalam lingkaran keluarga turunan Eropa pemilik lahan kaya di
Argentina. Cita-citanya ketika masih remaja ialah menjadi ahli kimia. Maka,
setelah tamat SMA, dia pun melanjutkan studinya dalam bidang kimia dan
menjadi insinyur kimia. Karena itu, dia dekat dan mengenal baik suka duka
para mahasiswa yang harus berjuang menyelesaikan studi di perguruan tinggi
umum.
Namun kemudian, dia memutuskan untuk
bergabung dengan para Yesuit. Pendidikan dasarnya sebagai Yesuit dibuatnya
di Cile. Di sana dia pun belajar psikologi dan sastra. Setelah kembali dari
Cile, dia mengajar psikologi dan d sastra di Santa Fe dan Buenos s Aires.
Studi teologi ditempuhnya pada 1967 sampai 1970.
Paham
Kepahitan Umat
Georg Bergoglio yang ketika masih muda suka
menari dan menjadi penggemar bola kaki ini ditahbiskan imam pada 1969.
Setelah itu, dia diberi kepercayaan baik sebagai pengajar di seminari
maupun sebagai pastor paroki. Dengan itu, dia memiliki pengalaman yang
luas, yang amat diperlukan untuk menjadi pemimpin dalam gereja.
Seorang pemimpin perlu mengetahui dan
berpengalaman dalam pendidikan para calon pastor. Akan tetapi, dia
sejatinya akrab pula dengan kehidupan, kegembiraan dan harapan, kecemasan
dan kepahitan yang dihadapi jemaat. Dengan latar belakang seperti itu, dia
mulai diberi tugas kepemimpinan.
Mula-mula dalam serikat Yesuit, kemudian
dalam hierarki gereja. Pada 1992 dia diangkat menjadi uskup pembantu di
Auca Buenos Aires. Enam tahun kemudian, pada 1998 dia ditetapkan Paus
Yohanes Paulus II menjadi Uskup Agung Buenos Aires, dan menjadi kardinal
pada 2001. Ia juga pernah menjabat Ketua Konferensi Para Uskup Argentina
(20052011). Di Vatikan dia antara lain menjadi salah satu anggota dewan
kepausan untuk keluarga dan komisi kepausan untuk Amerika Latin.
Apakah latar belakang seperti itu merupakan
sesuatu yang demikian istimewa sehingga pilihan para kardinal jatuh
kepadanya, menyisihkan nama-nama yang santer terdengar dan tertulis di media
massa? Boleh jadi yang menjadi pertimbangan utama para kardinal ialah apa
yang mereka diskusikan sebagai tantangan utama gereja dewasa ini:
evangelisasi baru.
Maksudnya, bagaimana mewartakan kembali
pesan inti kekristenan kepada orang-orang yang pernah dibaptis, tetapi
kemudian menjadi adem-adem dengan keyakinannya. Itulah realitas yang di
hadapi gereja dewasa ini.
Secara kuantitas jumlah orang Katolik mencapai 1,2 miliar di seluruh dunia.
Namun, sebagian besar dari mereka tidak lagi menghayati kekristenan secara
sungguh-sungguh.
Apa yang dapat ditawarkan Paus Fransiskus I
untuk program besar evangelisasi baru? Boleh jadi bukan dengan penampilan
yang memukau di publik dan media massa seperti Yohanes Paulus II. Bukan
pula dengan refleksi-refleksi mendalam sebagaimana dibuat Benediktus XVI.
Kesederhanaan dalam penampilan, sikap dan
kata, serta keberpihakan yang jelas kepada orang-orang miskin dan tersisih,
itulah semangat evangelisasi baru yang dibawa paus baru ini.
Seperti yang pernah dikatakannya, gereja telah
mempunyai ajaran yang bagus. Sekarang bagaimana mempraktikkannya, dan
praktik itulah yang menjadi daya gugah bagi orang-orang dewasa ini. Manusia
modern tidak terutama merasa tertarik pada ajaran, tetapi pada kesaksian
hidup yang sepadan dengan apa yang diajarkan.
Jika satu agama menyatakan diri sebagai
agama kasih, karya-karya kasih mesti menjadi kekhasannya dalam praksis.
Bila satu agama menyerukan damai, dia mesti
memelihara damai dan tidak menjadi penyulut kebencian dan kekerasan.
Semangat dan sikap dasar itu tampak dalam nama yang dipilihnya, Fransiskus
I. Paus pertama dari ordo Yesuit ini menggunakan sebuah nama yang sangat
populer di kalangan orang-orang Kristen dan masyarakat luas.
Fransiskus dari Asisi ialah seorang tokoh
pembaru gereja. Menurut cerita, dalam sebuah penglihatan di Asisi,
Fransiskus mendapat pesan dari Kristus untuk memulihkan gereja yang sedang
terancam kehancuran. Langkah untuk itu ialah kesederhanaan dan semangat
kedermawanan. Fransiskus yang karena kesederhanaan yang radikal dapat
menarik banyak kaum muda pada masanya, dan tetap menjadi idola orang-orang
muda hingga sekarang.
Untuk menghadapi situasi gereja dewasa ini
yang sedang menghadapi krisis kepercayaan karena terungkapnya berbagai
skandal, tampaknya tidak ada contoh yang lebih tepat daripada tokoh dari
Asisi ini. Pembaruan melalui semangat kesederhanaan dan kerendahan hati
dalam bela rasa terhadap orang-orang yang miskin dan tersisih.
Gereja, dan agama mana pun, yang menghidupi
semangat sederhana dan rendah hati akan dengan jujur mengakui kesalahannya
di masa lalu dan mendengar anjuran yang disampaikan orang lain. Agama
seperti itu pun akan lebih terbuka untuk bekerja sama dengan
kelompok-kelompok lain, sebab dalam kesederhanaan dia sadar akan
keterbatasan dirinya dan mengakui keharusan untuk berjejaring. Jika itu
terjadi, gereja Katolik bersama agama-agama lain sungguh memberikan
kontribusi besar bagi peningkatan mutu hidup umat manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar