Sabtu, 16 Maret 2013

Paus Baru Angin Segar dari Selatan


Paus Baru Angin Segar dari Selatan
Paul Budi SVD  ;  Rohaniwan Katolik, Berkarya di Roma
MEDIA INDONESIA, 15 Maret 2013


TERKEJUT, itulah reaksi pertama kebanyakan orang ketika mengeta hui siapa yang terpilih sebagai Paus ke-266 Gereja Katolik menggantikan Benediktus XVI yang mengundurkan diri 28 Februari lalu. Semua prediksi media massa ternyata meleset.

Para kardinal memutuskan memilih seorang kardinal yang tidak banyak tampil, kendati pernah disebut-sebut sebagai salah satu calon delapan tahun lalu, dalam konklaf yang akhirnya memilih Joseph Ratzinger sebagai paus.

Georg (Jorge) Bergoglio memang bukan orang media. Dia lebih banyak tampil dalam kesederhanaan tanpa banyak peliputan. Kendati demikian, dia membuat langkah-langkah yang berani untuk mendekatkan gereja dengan orang-orang miskin dan terpinggirkan.

Keprihatinan utamanya ialah jurang yang kian melebar antara yang kaya dan miskin, yang sangat nyata bukan hanya di Argentina dan negaranegara lain di Amerika Latin, melainkan juga kini menjadi realitas yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara.

Baginya, option for the poor bukan cuma slogan yang perlu didengungkan dalam wejangan dalam ibadat atau renungan saleh untuk para pejabat agama. Keberpihakan gereja terhadap kaum miskin pun tidak disampaikan sebagai janji yang menghibur para miskin.

Georg Bergoglio mengambil langkah konkret untuk opsi itu. Saat menjadi Uskup Buenos Aires, Argentina, dia memutuskan untuk meninggalkan istana mewah yang telah disiapkan sebagai tempat tinggal uskup dan memilih tinggal di sebuah apartemen sederhana.

Jika bepergian, selama memungkinkan, dia menggunakan kendaraan umum. Sang kardinal pun lebih merasa nyaman disebut sebagai padre (bapa) Georg daripada dengan sapaan monsignore (tuanku).
Kesederhanaan seperti itu bukanlah sesuatu yang dibuatbuat. Sejak kecil dia sudah mengalaminya. Dia dilahirkan sebagai salah seorang dari tujuh anak sebuah pasangan imigran Italia. Ayahnya ialah seorang karyawan kereta api, ibunya mengurus rumah tangga. Dia dilahirkan 17 Desember 1936.

Tidak ada kemewahan di rumah. Keluarganya tidak termasuk dalam lingkaran keluarga turunan Eropa pemilik lahan kaya di Argentina. Cita-citanya ketika masih remaja ialah menjadi ahli kimia. Maka, setelah tamat SMA, dia pun melanjutkan studinya dalam bidang kimia dan menjadi insinyur kimia. Karena itu, dia dekat dan mengenal baik suka duka para mahasiswa yang harus berjuang menyelesaikan studi di perguruan tinggi umum.

Namun kemudian, dia memutuskan untuk bergabung dengan para Yesuit. Pendidikan dasarnya sebagai Yesuit dibuatnya di Cile. Di sana dia pun belajar psikologi dan sastra. Setelah kembali dari Cile, dia mengajar psikologi dan d sastra di Santa Fe dan Buenos s Aires. Studi teologi ditempuhnya pada 1967 sampai 1970.

Paham Kepahitan Umat

Georg Bergoglio yang ketika masih muda suka menari dan menjadi penggemar bola kaki ini ditahbiskan imam pada 1969. Setelah itu, dia diberi kepercayaan baik sebagai pengajar di seminari maupun sebagai pastor paroki. Dengan itu, dia memiliki pengalaman yang luas, yang amat diperlukan untuk menjadi pemimpin dalam gereja.

Seorang pemimpin perlu mengetahui dan berpengalaman dalam pendidikan para calon pastor. Akan tetapi, dia sejatinya akrab pula dengan kehidupan, kegembiraan dan harapan, kecemasan dan kepahitan yang dihadapi jemaat. Dengan latar belakang seperti itu, dia mulai diberi tugas kepemimpinan.

Mula-mula dalam serikat Yesuit, kemudian dalam hierarki gereja. Pada 1992 dia diangkat menjadi uskup pembantu di Auca Buenos Aires. Enam tahun kemudian, pada 1998 dia ditetapkan Paus Yohanes Paulus II menjadi Uskup Agung Buenos Aires, dan menjadi kardinal pada 2001. Ia juga pernah menjabat Ketua Konferensi Para Uskup Argentina (20052011). Di Vatikan dia antara lain menjadi salah satu anggota dewan kepausan untuk keluarga dan komisi kepausan untuk Amerika Latin.

Apakah latar belakang seperti itu merupakan sesuatu yang demikian istimewa sehingga pilihan para kardinal jatuh kepadanya, menyisihkan nama-nama yang santer terdengar dan tertulis di media massa? Boleh jadi yang menjadi pertimbangan utama para kardinal ialah apa yang mereka diskusikan sebagai tantangan utama gereja dewasa ini: evangelisasi baru.

Maksudnya, bagaimana mewartakan kembali pesan inti kekristenan kepada orang-orang yang pernah dibaptis, tetapi kemudian menjadi adem-adem dengan keyakinannya. Itulah realitas yang di hadapi gereja dewasa ini.
Secara kuantitas jumlah orang Katolik mencapai 1,2 miliar di seluruh dunia. Namun, sebagian besar dari mereka tidak lagi menghayati kekristenan secara sungguh-sungguh.

Apa yang dapat ditawarkan Paus Fransiskus I untuk program besar evangelisasi baru? Boleh jadi bukan dengan penampilan yang memukau di publik dan media massa seperti Yohanes Paulus II. Bukan pula dengan refleksi-refleksi mendalam sebagaimana dibuat Benediktus XVI.

Kesederhanaan dalam penampilan, sikap dan kata, serta keberpihakan yang jelas kepada orang-orang miskin dan tersisih, itulah semangat evangelisasi baru yang dibawa paus baru ini.

Seperti yang pernah dikatakannya, gereja telah mempunyai ajaran yang bagus. Sekarang bagaimana mempraktikkannya, dan praktik itulah yang menjadi daya gugah bagi orang-orang dewasa ini. Manusia modern tidak terutama merasa tertarik pada ajaran, tetapi pada kesaksian hidup yang sepadan dengan apa yang diajarkan.

Jika satu agama menyatakan diri sebagai agama kasih, karya-karya kasih mesti menjadi kekhasannya dalam praksis.

Bila satu agama menyerukan damai, dia mesti memelihara damai dan tidak menjadi penyulut kebencian dan kekerasan. Semangat dan sikap dasar itu tampak dalam nama yang dipilihnya, Fransiskus I. Paus pertama dari ordo Yesuit ini menggunakan sebuah nama yang sangat populer di kalangan orang-orang Kristen dan masyarakat luas.

Fransiskus dari Asisi ialah seorang tokoh pembaru gereja. Menurut cerita, dalam sebuah penglihatan di Asisi, Fransiskus mendapat pesan dari Kristus untuk memulihkan gereja yang sedang terancam kehancuran. Langkah untuk itu ialah kesederhanaan dan semangat kedermawanan. Fransiskus yang karena kesederhanaan yang radikal dapat menarik banyak kaum muda pada masanya, dan tetap menjadi idola orang-orang muda hingga sekarang.

Untuk menghadapi situasi gereja dewasa ini yang sedang menghadapi krisis kepercayaan karena terungkapnya berbagai skandal, tampaknya tidak ada contoh yang lebih tepat daripada tokoh dari Asisi ini. Pembaruan melalui semangat kesederhanaan dan kerendahan hati dalam bela rasa terhadap orang-orang yang miskin dan tersisih.

Gereja, dan agama mana pun, yang menghidupi semangat sederhana dan rendah hati akan dengan jujur mengakui kesalahannya di masa lalu dan mendengar anjuran yang disampaikan orang lain. Agama seperti itu pun akan lebih terbuka untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain, sebab dalam kesederhanaan dia sadar akan keterbatasan dirinya dan mengakui keharusan untuk berjejaring. Jika itu terjadi, gereja Katolik bersama agama-agama lain sungguh memberikan kontribusi besar bagi peningkatan mutu hidup umat manusia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar