Sabtu, 16 Maret 2013

Sabah, Konflik, dan Belenggu ASEAN


Sabah, Konflik, dan Belenggu ASEAN
PLE Priatna  ;  Alumnus FISIP UI dan Universitas Monash
KOMPAS, 16 Maret 2013

  
ASEAN jadi saksi bisu bentrokan senjata berikut kekerasan yang membawa korban jiwa di Sabah.
Sekjen PBB Ban Ki-moon menyerukan segera dihentikannya konflik serta ditempuh dialog dan jalan damai demi menghindari korban. Tampaknya Ketua ASEAN 2013 dan Sekjen ASEAN terlambat bereaksi. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keprihatinan dan mengharapkan Sultan Brunei selaku Ketua ASEAN 2013 mengambil langkah proaktif turut menyelesaikan sengketa.
Sabah bergolak. Bentrok sen- jata mengakibatkan jatuh korban jiwa di pihak pengikut Sultan Sulu dan aparat keamanan Malaysia. Pemerintah Malaysia menangkap 79 pengikut Sultan Sulu yang dianggap menginvasi Sabah. Sebanyak 1.200 WNI pekerja di ladang sawit diliburkan, diungsi- kan ke tempat aman, diminta tinggal di asrama, dan tak terpancing.
Di belahan lain, tiga provinsi Thailand Selatan—Pattani, Yala, dan Narathiwat—yang berbatasan dengan Malaysia adalah wila- yah konflik bersenjata selama bertahun-tahun. Awal Maret lalu, konflik memanas, bom meledak menewaskan enam orang.
Tak kalah dramatis, warga Rohingnya dari Provinsi Rakhine, Myanmar, bentrok dengan warga Buddha, lagi-lagi menimbulkan korban jiwa. Akibat konflik komunal itu, lebih dari 70 orang meninggal, lebih dari 3.000 bangunan rusak, dan hampir 60.000 orang kehilangan tempat tinggal. Bahkan, warga Rohingnya yang terdesak lari dan mengungsi, terdampar di Aceh minggu lalu.
ASEAN tak bisa berbuat apa- apa. Terbelenggu. Konflik mele- tus hanya urusan negara yang bersengketa. Adalah prinsip nonintervensi ASEAN yang menye- babkan konflik yang merenggut jiwa di ketiga tempat itu berkobar tanpa ada intervensi pihak ketiga untuk menghentikannya.
Prinsip nonintervensi amat besar pengaruhnya meski norma dan nilai lain ”pencegahan konflik” hidup berdampingan. Norma itu mudah dilindas di balik kepentingan kedaulatan negara. Piagam ASEAN menegaskan prinsip nonintervensi sekalipun di lembar lain meletakkan larangan penggunaan senjata. Piagam ASEAN pada Pasal 2 Ayat (2) Huruf e mencantumkan prinsip menolak agresi, ancaman, atau penggunaan kekuatan senjata, dan tindak kekerasan lainnya. Pasal 2 Ayat d Piagam ASEAN kembali menegaskan bahwa ASEAN harus menyelesaikan sengketa secara damai.
Pencegahan konflik, rekonsiliasi, dan mediasi dalam kerangka ASEAN semakin diperlukan. Instrumen deteksi dini dan pencegahan konflik amat relevan bagi ASEAN memasuki komunitas ASEAN 2015 ini. Tanpa mekanisme itu, ASEAN akan kehilangan relevansi yang penting.
Pasal 23 Piagam ASEAN memberi jalan penyelesaian melalui jasa baik, konsiliasi, dan mediasi. Bahkan, pihak yang bersengketa bisa minta Ketua atau Sekjen ASEAN dalam kapasitas ex officio menyiapkan langkah-langkah jasa baik. Namun, Pasal 26 mengatur bahwa kisruh berlarut tak terselesaikan akan dibawa ke level KTT, tingkat kepala negara/kepala pemerintahan.
Pasukan Perdamaian
Gerak maju ASEAN hanya berdasarkan Piagam ASEAN sebagai konstitusi ASEAN tidak cukup. Potensi konflik intranegara ASEAN masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, tantangan ASEAN ke depan membutuhkan mekanisme dan instrumen konkret yang bisa mencegah konflik sehingga ASEAN tak lagi terbelenggu di te- ngah konflik yang menimpa anggota, pertikaian yang bermuara pada sejarah atau soal masa lalu yang menyangkut teritori.
Pasukan penjaga perdamaian ASEAN, perluasan dari pasukan gerak cepat tanggap darurat dan pengelolaan bencana ASEAN misalnya, bisa jadi cikal bakal yang bermanfaat. Tim pengamat internasional (ASEAN) yang tidak dipersenjatai ini selain sebagai upa- ya pencegahan konflik, juga bisa menjadi embrio model pengelo- laan pasukan penjaga perdamaian ASEAN dalam skala yang lebih luas dan lengkap. Pasukan penjaga perdamaian ASEAN adalah terobosan regional ASEAN keluar dari belenggu internalnya, prinsip nonintervensi.
Adalah Indonesia pada 2004, dalam rangka gagasan keamanan ASEAN, yang melontarkan dibentuknya Pasukan Penjaga Perdamaian ASEAN. Gagasan itu perlu dihidupkan kembali meski pada waktu itu Singapura meno- laknya. Ini saatnya ASEAN membangun mekanisme itu lebih serius. Kawasan dan budaya damai harus dibangun dengan budaya dialog yang terbuka tanpa perlu bentrok senjata dan kekerasan.
Modifikasi bentukan awal tentara penjaga perdamaian sesungguhnya telah hidup di ASEAN. Tim pengamat internasional bisa menjadi embrio yang relevan. Konflik komunal di Sabah dan Thailand Selatan memerlukan kehadiran tim pengamat ASEAN sekaligus penjaga perdamaian. Indonesia bisa kembali menggulirkan gagasan itu.
Indonesia sejak 1957 terlibat aktif dalam misi pemeliharaan perdamaian. Kita sejak 1992 terlibat dalam proses perdamaian Pemerintah Filipina-Moro National Liberation Front (MNLF) dalam kerangka OKI: telah menghasilkan Perjanjian Perdamaian 1996. Indonesia telah dua kali mengirimkan tim pengamat ke Filipina Selatan, terdiri dari 15 personel. Filipina membuka diri untuk MNLF. Saat ini tim terdiri dari enam negara dengan kekuatan 55 personel (sipil-militer): Malaysia (19), Indonesia (15), Brunei (15), Uni Eropa (2), Jepang (2), dan Norwegia (2).
Misi pasukan penjaga perdamaian ASEAN jadi tuntutan bersama apa pun status konfliknya. Aspek kemanusiaan adalah panggilan ASEAN agar kian relevan di tengah segala tantangannya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar