ASEAN jadi saksi bisu bentrokan
senjata berikut kekerasan yang membawa korban jiwa di Sabah.
Sekjen PBB Ban Ki-moon menyerukan
segera dihentikannya konflik serta ditempuh dialog dan jalan damai demi
menghindari korban. Tampaknya Ketua ASEAN 2013 dan Sekjen ASEAN terlambat
bereaksi. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keprihatinan
dan mengharapkan Sultan Brunei selaku Ketua ASEAN 2013 mengambil langkah
proaktif turut menyelesaikan sengketa.
Sabah bergolak. Bentrok sen- jata
mengakibatkan jatuh korban jiwa di pihak pengikut Sultan Sulu dan aparat
keamanan Malaysia. Pemerintah Malaysia menangkap 79 pengikut Sultan Sulu
yang dianggap menginvasi Sabah. Sebanyak 1.200 WNI pekerja di ladang sawit
diliburkan, diungsi- kan ke tempat aman, diminta tinggal di asrama, dan tak
terpancing.
Di belahan lain, tiga provinsi
Thailand Selatan—Pattani, Yala, dan Narathiwat—yang berbatasan dengan
Malaysia adalah wila- yah konflik bersenjata selama bertahun-tahun. Awal
Maret lalu, konflik memanas, bom meledak menewaskan enam orang.
Tak kalah dramatis, warga
Rohingnya dari Provinsi Rakhine, Myanmar, bentrok dengan warga Buddha,
lagi-lagi menimbulkan korban jiwa. Akibat konflik komunal itu, lebih dari
70 orang meninggal, lebih dari 3.000 bangunan rusak, dan hampir 60.000
orang kehilangan tempat tinggal. Bahkan, warga Rohingnya yang terdesak lari
dan mengungsi, terdampar di Aceh minggu lalu.
ASEAN tak bisa berbuat apa- apa.
Terbelenggu. Konflik mele- tus hanya urusan negara yang bersengketa. Adalah
prinsip nonintervensi ASEAN yang menye- babkan konflik yang merenggut jiwa
di ketiga tempat itu berkobar tanpa ada intervensi pihak ketiga untuk
menghentikannya.
Prinsip nonintervensi amat besar
pengaruhnya meski norma dan nilai lain ”pencegahan konflik” hidup
berdampingan. Norma itu mudah dilindas di balik kepentingan kedaulatan
negara. Piagam ASEAN menegaskan prinsip nonintervensi sekalipun di lembar
lain meletakkan larangan penggunaan senjata. Piagam ASEAN pada Pasal 2 Ayat
(2) Huruf e mencantumkan prinsip menolak agresi, ancaman, atau penggunaan
kekuatan senjata, dan tindak kekerasan lainnya. Pasal 2 Ayat d Piagam ASEAN
kembali menegaskan bahwa ASEAN harus menyelesaikan sengketa secara damai.
Pencegahan konflik, rekonsiliasi,
dan mediasi dalam kerangka ASEAN semakin diperlukan. Instrumen deteksi dini
dan pencegahan konflik amat relevan bagi ASEAN memasuki komunitas ASEAN
2015 ini. Tanpa mekanisme itu, ASEAN akan kehilangan relevansi yang
penting.
Pasal 23 Piagam ASEAN memberi
jalan penyelesaian melalui jasa baik, konsiliasi, dan mediasi. Bahkan,
pihak yang bersengketa bisa minta Ketua atau Sekjen ASEAN dalam kapasitas
ex officio menyiapkan langkah-langkah jasa baik. Namun, Pasal 26 mengatur
bahwa kisruh berlarut tak terselesaikan akan dibawa ke level KTT, tingkat
kepala negara/kepala pemerintahan.
Pasukan Perdamaian
Gerak maju ASEAN hanya berdasarkan
Piagam ASEAN sebagai konstitusi ASEAN tidak cukup. Potensi konflik
intranegara ASEAN masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, tantangan ASEAN ke
depan membutuhkan mekanisme dan instrumen konkret yang bisa mencegah
konflik sehingga ASEAN tak lagi terbelenggu di te- ngah konflik yang
menimpa anggota, pertikaian yang bermuara pada sejarah atau soal masa lalu
yang menyangkut teritori.
Pasukan penjaga perdamaian ASEAN,
perluasan dari pasukan gerak cepat tanggap darurat dan pengelolaan bencana
ASEAN misalnya, bisa jadi cikal bakal yang bermanfaat. Tim pengamat internasional
(ASEAN) yang tidak dipersenjatai ini selain sebagai upa- ya pencegahan
konflik, juga bisa menjadi embrio model pengelo- laan pasukan penjaga
perdamaian ASEAN dalam skala yang lebih luas dan lengkap. Pasukan penjaga
perdamaian ASEAN adalah terobosan regional ASEAN keluar dari belenggu
internalnya, prinsip nonintervensi.
Adalah Indonesia pada 2004, dalam
rangka gagasan keamanan ASEAN, yang melontarkan dibentuknya Pasukan Penjaga
Perdamaian ASEAN. Gagasan itu perlu dihidupkan kembali meski pada waktu itu
Singapura meno- laknya. Ini saatnya ASEAN membangun mekanisme itu lebih
serius. Kawasan dan budaya damai harus dibangun dengan budaya dialog yang
terbuka tanpa perlu bentrok senjata dan kekerasan.
Modifikasi bentukan awal tentara
penjaga perdamaian sesungguhnya telah hidup di ASEAN. Tim pengamat
internasional bisa menjadi embrio yang relevan. Konflik komunal di Sabah
dan Thailand Selatan memerlukan kehadiran tim pengamat ASEAN sekaligus
penjaga perdamaian. Indonesia bisa kembali menggulirkan gagasan itu.
Indonesia sejak 1957 terlibat
aktif dalam misi pemeliharaan perdamaian. Kita sejak 1992 terlibat dalam
proses perdamaian Pemerintah Filipina-Moro
National Liberation Front (MNLF) dalam kerangka OKI: telah menghasilkan
Perjanjian Perdamaian 1996. Indonesia telah dua kali mengirimkan tim
pengamat ke Filipina Selatan, terdiri dari 15 personel. Filipina membuka
diri untuk MNLF. Saat ini tim terdiri dari enam negara dengan kekuatan 55
personel (sipil-militer): Malaysia (19), Indonesia (15), Brunei (15), Uni
Eropa (2), Jepang (2), dan Norwegia (2).
Misi pasukan penjaga perdamaian
ASEAN jadi tuntutan bersama apa pun status konfliknya. Aspek kemanusiaan
adalah panggilan ASEAN agar kian relevan di tengah segala tantangannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar