Sabtu, 16 Maret 2013

Masalah Kepedulian


Masalah Kepedulian
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 15 Maret 2013


KEPERGIAN Presiden Venezuela Hugo Chavez diantar isak tangis jutaan rakyatnya dan bela sungkawa masyarakat di luar negaranya yang mengaguminya. Mereka mungkin tidak terlalu tahu dan tidak peduli sistem ekonomi yang dijalankan Chavez. Yang lebih mereka kenang ialah rasa kepeduliannya kepada rakyat banyak. Tayangan peristiwa itu menimbulkan rasa haru.

Bahwa Chavez menjelma menjadi tokoh kontroversial tampak jelas dari berbagai obituarium yang beredar di seluruh dunia. Sebenarnya, apakah dia pahlawan atau pengkhianat bagi rakyat, itu tergantung sudut mana untuk melihatnya. Walaupun dianggap tokoh yang mengutamakan kepentingan rakyat di satu pihak, di lain pihak dia dianggap ganjalan bagi kebijakan ekonomi pasar bebas yang sedang mengglobal dewasa ini; yang juga dianggap memelopori demokrasi ekonomi. Tarik ulur mengenai pandangan kontroversial itu tidak pernah reda.

Sekadar contoh, segolongan masyarakat merasa sukses menjalankan perekonomian bila modal asing mengalir lancar ke negeri mereka. Namun, ada wanti-wanti, investasi asing bukan masalah bisnis semata. Bagaimana efeknya lebih jauh? Bagaimana kalau modal asing mendominasi situasi hingga negara tujuan investasi berperan tidak lebih dari penampung modal luar?

Rakyat banyak menyambut sukaria barang-barang impor yang harganya murah; tetapi mengabaikan pertimbangan bahwa kreativitas anak negeri bisa berangsur mati sebagai akibatnya. Idealnya, jangan modal asing dibiarkan mengerdilkan kemampuan negeri sendiri. Dibutuhkan pemikiran dan pengaturan jeli.

Mencari Kesempurnaan

Bila melihat perkembangan dunia sejauh ini, berbagai sistem ekonomi yang dulunya berjauhan tampaknya makin membaur. Yang disebut sistem kapitalis sudah lama bergerak ke arah sistem sosialis. Sekadar contoh, di banyak negara yang disebut kapitalis, biaya pendidikan rakyat ditanggung negara, pajak bisa sangat progresif, ada jaminan sosial untuk kesehatan, dan ada penetapan target untuk pertumbuhan ekonomi--semua itu mencirikan sistem sosialis.

Sebaliknya, sistem sosialis dan partai-partai sosialis pun sekarang sudah menyadari banyak segi positif dalam desentralisasi manajemen ekonomi, dalam penggabungan kepemimpinan kolektif dan perorangan, dalam penggunaan insentif laba secara terbatas. Di negara-negara sosialis diadakan eksperimen untuk memakai pabrik-pabrik mereka guna memproduksi barang-barang konsumsi. Para manajernya diberi kesempatan menangani usaha sesuai dengan permintaan pasar. Tidak terlalu banyak petunjuk atau perencanaan di pusat hingga perusahaan itu hampir-hampir seperti milik swasta.

Fakta itu pernah diungkap Profesor Eugene Staley (1906-1989) dari Lembaga Riset Stanford yang banyak berpengalaman di negara-negara berkembang dan banyak menulis soal implikasi pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Menurut pengalamannya, peranan negara dalam pembangunan ekonomi di negara-negara itu menjadi topik yang masih saja kontroversial dan membangkitkan reaksi emosional. Diskusi-diskusi tentang itu sering bersifat doktriner, sekalipun tidak ada sistem yang sifatnya murni lagi. Misalnya, kapitalisme tidak seperti yang berlaku di abad ke-19. Maka, beda antarsistem ekonomi sebenarnya tidak meraksasa seperti kalau dilihat secara sepintas.

Masalah Kepedulian

Kecenderungannya, dengan sistem yang dijalankan masing-masing, masyarakat manusia umumnya bergerak menuju kepada kepedulian yang lebih besar antarsesama. Di setiap negara, berbagai peraturan dan undang-undang dirumuskan untuk menjamin tidak ada lagi kesewenangan seperti di rezim-rezim komunis ataupun kapitalis di masa lampau.

Sistem demokrasi yang digandrungi masyarakat dunia pun terus-menerus dikawal dan diamati. Misalnya, jangan sampai terlalu liberal sehingga memungkinkan pihak-pihak tertentu bersikap terlalu bebas tanpa merujuk nuraniseperti yang terkesan sedang terjadi di negeri ini; terlalu banyak pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan demokrasi. Sudah tentu permainan kalangan elite seperti itu memorak-porandakan segala norma yang selama ini diyakini rakyat. Berbagai wacana dan diskusi diramaikan media. Silang pendapat sering menimbulkan tanda tanya dan tawa: tak malu-malunya orang mempertahankan pendapat yang nyata-nyata salah, dibela dengan alasan-alasan yang katanya sesuai aturan hukum. Rakyat bingung. Kapan selesainya?

Jusuf Kalla pernah berkata, “Semua bergantung pada bagaimana pimpinannya.“ Dengan berpegang pada kata-kata bijak itu, mungkin menjelang 2014 merupakan masa paling tepat untuk memilih pemimpin yang pas bagi rakyat negeri ini. Apakah dia seperti Chavez, Obama, Gandhi, atau founding fathers kita sendiri? Rakyat yang berhak memilih. Rakyat yang menjadi raja. Kalau saja partai-partai politik menyadari peran mereka--demi asas persamaan dan terwujudnya falsafah Pancasila--sudah saatnya pendidikan politik dilancarkan bersama, tanpa terlalu mengutamakan ambisi pribadi ataupun kelompok seperti yang dipertontonkan sekarang.

Kalau saja masing-masing menyadari kelemahannya, dan jeli memilih apa yang menjadi fokus perhatian, tidak ada yang perlu bertepuk dada ketika orang memuji demokrasi kita, ketika pertumbuhan ekonomi disebut mengesankan, atau jumlah kelas menengah terus meningkat; apalagi bila melihat puluhan juta rakyat masih digerus kemiskinan, sebagian kehilangan jiwa secara sia-sia karena terlambat mendapat pertolongan; atau kejadiankejadian lain yang membuktikan ketidakpedulian terhadap rakyat jelata.

Semoga saja kita semua jeli memilih pemimpin masa depan agar terhapus semua bayangan suram. Semoga partai-partai politik yang peduli siap memfokuskan perhatian demi kemaslahatan bersama. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar