Laporan
Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin ke Mabes Polri terkait pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Densus 88 Antiteror menjadi
puncak gunung es dari beragam keluhan publik. Padahal, pemberantasan
terorisme harus merujuk UU No 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
Kepolisian
atau Densus 88 adalah institusi penegakan hukum yang harus melindungi
masyarakat. Oleh karena itu, polisi dipersenjatai, tapi jelas senjata ini
adalah dalam rangka menegakkan hukum. Dalam penanganan teroris, satuan
antiteror milik Polri diharapkan lebih ditujukan untuk melumpuhkan daripada
membunuh.
Doktrin
atau paradigma bahwa Polri bagian dari penegak hukum inilah yang harus
menjadi dasar bagi satuan penanggulangan teror milik kepolisian (Densus 88)
yang dilatih bukan untuk membunuh, tetapi melumpuhkan. Contoh penegak hukum
pasukan khusus antiteror milik Prancis, Groupe
d'Internvention de la Gendarmerie Nationale (GIGN), dilatih untuk
menembak sasaran di bahu guna melumpuhkan teroris, bukan untuk membunuh.
Namun,
pada kenyataannya dalam pemberantasan terorisme polisi masih saja melakukan
penyiksaan, bahkan membunuh pelaku teror yang belum terbukti kesalahannya
di mata hukum. Padahal, dalam undang-undang (UU) tersebut pelaku teror hanya perlu ditangkap. UU Nomor 15 Tahun 2003 pasal 6
tentang Tindak Pidana Terorisme mengatur pelaku teror harus dipidana,
artinya harus dihukum dan ditangkap.
Antara
amanah UU 15 Tahun 2003 dan fasilitas yang diberikan tidak sinkron.
Misalnya, mengenai fasilitas senjata yang digunakan. Polri dalam hal ini
Densus 88 menggunakan senjata serbu yang identik dengan perang. Densus 88
saat ini menggunakan senjata M4A1 kaliber senapan serbu 5,56 mm dan assault rifle sebagai kelengkapan
utama di samping pistol semiotomatis sembilan mm. Dalam hal daya bunuh,
M4A1 milik Densus 88 lebih besar dari pada Hk MP-5 milik satuan Gultor TNI.
Pertanyaannya, bagaimana penegakan hukum bisa terwujud kalau Densus 88
dipersentai dengan senjata pembunuh (M4A1).
Lain
halnya dengan satuan Gultor TNI yang dilatih untuk operasi pembebasan
sandera. Gultor TNI menggunakan senjatanya untuk menembak di kepala dengan
cara double tap (menembak cepat
dua kali) untuk memastikan sasaran yang ditembak mati karena keselamatan
sandera adalah prioritas tertinggi yang harus dicapai. Inilah yang penulis
maksud sebagai paradigma ganjil. Penegakan hukum Polri atau Densus 88
harus memandang terorisme sebagai permasalahan kriminal yang mengganggu
ketertiban dan keamanan, bukan ancaman terhadap keamanan nasional.
Penanganannya harus dilakukan melalui law
enforcement.
Dalam
konteks hukum, langkah-langkah antiterorisme dalam paradigma Polri hanya
mencakup menangkap atau melumpuhkan untuk mengadili individu teroris yang
melakukan serangan. Setelah itu, memberikan rekomendasi penyusunan
legislasi untuk membatasi hal-hal yang memfasilitasi pergerakan dan operasi
teroris sebagai penangkalan. Dalam upaya penegakkan hukum ini,
termasuk penangkapan, penahanan, dan peradilan, Densus 88 harus selalu
menekankan dan menjunjung tinggi HAM, termasuk HAM para tersangka dan
terdakwa teroris.
Metode tembak di tempat yang dilakukan Densus 88 bukanlah cara yang
efektif, tetapi sebaliknya telah menimbulkan gelombang pembalasan yang akan
menghancurkan bingkai-bingkai hukum dan norma kemanusiaan dari kedua belah
pihak. Sebaiknya, penegak hukum dalam hal ini Densus 88 bersikap
proporsional sesuai dengan kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang
mayoritas Islam.
Tantangan
teror di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS).
Publik AS bisa menerima pembunuhan sebagai metode operasi rahasia maupun
penindakan lebih karena orang-orang yang terduga teroris banyak berasal
dari imigran atau pendatang dari luar AS yang notabene masih dianggap
masyarakat kelas dua dan orang non-AS.
Jika
memang benar ada eskalasi ancaman teror yang besar dan mengancam keamanan
nasional di Indonesia, menurut Wilkinson (2006), untuk mencegah dan mengendalikan
kemungkinan dimasukannya unsur militer dalam strategi kontraterorisme.
Dengan demikian, Polri melalui Densus 88 harus mengubah paradigma teror dan
harus mulai memandang terorisme dalam bingkai penegakan hukum, menggunakan
pendekatan yang polisional dengan peradilan kriminal (sipil).
Dalam
jangka panjang, strategi anti-teror mencakup eliminasi akar penyebab
terorisme harus mengedepankan HAM tanpa pemaksaan ataupun kekerasan.
Kemudian, laporan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 tersebut
harus mendorong Polri, pemerintah, dan Komisi III DPR lebih serius lagi
membuat sistem kontrol yang jelas terhadap kinerja Densus 88. Selama ini,
praktis tidak ada kontrol terhadap kinerja Densus 88. Benahi atau
bubarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar