Selasa, 12 Maret 2013

Paradigma Teror di Indonesia


Paradigma Teror di Indonesia
Jaka Setiawan  ;   Direktur Pengkajian Kebijakan Publik
Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) 
REPUBLIKA, 09 Maret 2013

  
Laporan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin ke Mabes Polri terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Densus 88 Antiteror menjadi puncak gunung es dari beragam keluhan publik. Padahal, pemberantasan terorisme harus merujuk UU No 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Kepolisian atau Densus 88 adalah institusi penegakan hukum yang harus melindungi masyarakat. Oleh karena itu, polisi dipersenjatai, tapi jelas senjata ini adalah dalam rangka menegakkan hukum. Dalam penanganan teroris, satuan antiteror milik Polri diharapkan lebih ditujukan untuk melumpuhkan daripada membunuh. 

Doktrin atau paradigma bahwa Polri bagian dari penegak hukum inilah yang harus menjadi dasar bagi satuan penanggulangan teror milik kepolisian (Densus 88) yang dilatih bukan untuk membunuh, tetapi melumpuhkan. Contoh penegak hukum pasukan khusus antiteror milik Prancis, Groupe d'Internvention de la Gendarmerie Nationale (GIGN), dilatih untuk menembak sasaran di bahu guna melumpuhkan teroris, bukan untuk membunuh.

Namun, pada kenyataannya dalam pemberantasan terorisme polisi masih saja melakukan penyiksaan, bahkan membunuh pelaku teror yang belum terbukti kesalahannya di mata hukum. Padahal, dalam undang-undang (UU) tersebut pelaku teror hanya perlu ditangkap. UU Nomor 15 Tahun 2003 pasal 6 tentang Tindak Pidana Terorisme mengatur pelaku teror harus dipidana, artinya harus dihukum dan ditangkap.

Antara amanah UU 15 Tahun 2003 dan fasilitas yang diberikan tidak sinkron. Misalnya, mengenai fasilitas senjata yang digunakan. Polri dalam hal ini Densus 88 menggunakan senjata serbu yang identik dengan perang. Densus 88 saat ini menggunakan senjata M4A1 kaliber senapan serbu 5,56 mm dan assault rifle sebagai kelengkapan utama di samping pistol semiotomatis sembilan mm. Dalam hal daya bunuh, M4A1 milik Densus 88 lebih besar dari pada Hk MP-5 milik satuan Gultor TNI.  
Pertanyaannya, bagaimana penegakan hukum bisa terwujud kalau Densus 88 dipersentai dengan senjata pembunuh (M4A1).

Lain halnya dengan satuan Gultor TNI yang dilatih untuk operasi pembebasan sandera. Gultor TNI menggunakan senjatanya untuk menembak di kepala dengan cara double tap (menembak cepat dua kali) untuk memastikan sasaran yang ditembak mati karena keselamatan sandera adalah prioritas tertinggi yang harus dicapai. Inilah yang penulis maksud sebagai paradigma ganjil.  Penegakan hukum Polri atau Densus 88 harus memandang terorisme sebagai permasalahan kriminal yang mengganggu ketertiban dan keamanan, bukan ancaman terhadap keamanan nasional. Penanganannya harus dilakukan melalui law enforcement

Dalam konteks hukum, langkah-langkah antiterorisme dalam paradigma Polri hanya mencakup menangkap atau melumpuhkan untuk mengadili individu teroris yang melakukan serangan. Setelah itu, memberikan rekomendasi penyusunan legislasi untuk membatasi hal-hal yang memfasilitasi pergerakan dan operasi teroris sebagai penangkalan. Dalam upaya penegakkan hukum ini, termasuk penangkapan, penahanan, dan peradilan, Densus 88 harus selalu menekankan dan menjunjung tinggi HAM, termasuk HAM para tersangka dan terdakwa teroris.
Metode tembak di tempat yang dilakukan Densus 88 bukanlah cara yang efektif, tetapi sebaliknya telah menimbulkan gelombang pembalasan yang akan menghancurkan bingkai-bingkai hukum dan norma kemanusiaan dari kedua belah pihak. Sebaiknya, penegak hukum dalam hal ini Densus 88 bersikap proporsional sesuai dengan kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. 

Tantangan teror di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Publik AS bisa menerima pembunuhan sebagai metode operasi rahasia maupun penindakan lebih karena orang-orang yang terduga teroris banyak berasal dari imigran atau pendatang dari luar AS yang notabene masih dianggap masyarakat kelas dua dan orang non-AS.

Jika memang benar ada eskalasi ancaman teror yang besar dan mengancam keamanan nasional di Indonesia, menurut Wilkinson (2006), untuk mencegah dan mengendalikan kemungkinan dimasukannya unsur militer dalam strategi kontraterorisme. Dengan demikian, Polri melalui Densus 88 harus mengubah paradigma teror dan harus mulai memandang terorisme dalam bingkai penegakan hukum, menggunakan pendekatan yang polisional dengan peradilan kriminal (sipil). 
Dalam jangka panjang, strategi anti-teror mencakup eliminasi akar penyebab terorisme harus mengedepankan HAM tanpa pemaksaan ataupun kekerasan.
Kemudian, laporan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 tersebut harus mendorong Polri, pemerintah, dan Komisi III DPR lebih serius lagi membuat sistem kontrol yang jelas terhadap kinerja Densus 88. Selama ini, praktis tidak ada kontrol terhadap kinerja Densus 88. Benahi atau bubarkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar