Selasa, 12 Maret 2013

Membahagiakan Rakyat


Membahagiakan Rakyat
Abdillah Toha  ;   Anggota Tim Telaah Strategi Wakil Presiden RI
REPUBLIKA, 09 Maret 2013

  
Menarik sekali menyaksikan pelantikan presiden ke-18 dan presiden perempuan pertama Korea Selatan, Park Geun-hye, di lapangan terbuka yang dihadiri oleh 70 ribu warganya. Nyaris kita tidak pernah mendengar seorang presiden di negeri manapun, baik dalam kampanye maupun ketika diulang dalam pidato pelantikan, berjanji akan membahagiakan rakyatnya. Yang sering kita dengar adalah janji untuk menumbuhkan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuka peluang kerja, menghapus kemiskinan, dan lain sejenisnya. 

Untuk mencapai tujuan itu, Presiden Park berjanji akan mewujudkan `keajaib- an kedua' di tepi Sungai Han setelah `keajaiban pertama' yang diprakarsai mendiang ayahnya, Park Chung-hee. Caranya dengan membangun ekonomi kreatif melalui pengembangan sains dan teknologi serta memasukkan unsur budaya bangsa ke dalam bisnis. Semua itu dilakukan dalam lingkungan pasar yang adil di mana usaha kecil, menengah, dan konglomerat dapat peluang yang sama untuk berkembang. Presiden baru Korea Selatan yang lajang dan mengaku tidak punya keluarga karena ibu dan ayahnya berturut-turut dibunuh oleh lawan politiknya itu mengaku bahwa dia menganggap rakyat Korea sebagai pengganti keluarganya. 

Korea Selatan yang pada tahun 1960an masih terpuruk kini telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita (PPP) 32 ribu dolar AS. Industri elektronik dan otomotifnya tumbuh dengan pesat. Budaya pop, musik, dan film Korea makin luas diterima di kalangan remaja di luar negaranya. Dengan PDB di atas 1,5 triliun dolar AS (nomor 13 di dunia), infl asi 2,2 persen, dan pengangguran di bawah empat per- sen, Korea Selatan yang berpenduduk 48 juta telah membuktikan diri sebagai negara yang tangguh.
Di negeri yang maju dan makmur itu presidennya masih berjanji untuk membuat rayatnya bahagia. Kondisinya ini menarik untuk kemudian dipertanyakan lebih jauh, apakah rakyatnya saat ini tidak bahagia?

Ukuran Bahagia

Presiden Park ingin mencapai misinya dengan memberantas praktik-praktik koruptif dan tidak adil, meluruskan ke biasaan masa lalu yang salah arah dan telah mengakibatkan frustrasi di kalangan usaha kecil dan menengah. Apakah misinya akan tercapai? Kita mesti sabar menunggu hasil kerjanya. Namun demikian, apakah nantinya akan ada ukuran objektif untuk bisa mengatakan bahwa rakyat telah menjadi lebih bahagia dari sebelumnya?

Kita semua sepakat bahwa kemajuan ekonomi dan kekayaan materi tidak selalu berkolerasi positif dengan kebahagiaan. Meningkatnya standar hidup juga tidak menjamin adanya peningkatan kualitas hidup. Bhutan adalah negara pertama pada 1972 yang memprakarsai dan belakangan memasukkan `indeks kebahagiaan' secara resmi dalam program pembangunan dan konstitusinya dengan mengintegrasikan kemajuan ekonomi bersama nilai spiritual Budhisme yang diyakininya. Sejak itu, Bhutan telah menjadi objek penelitian berbagai pihak. 

Berbagai istilah bermunculan, seperti Gross National Happiness (GHN), Sub- jective Wellbeing (SBW), Gross National Wellbeing (GNW). Pada intinya, walau peningkatan pendapatan warga ikut menentukan tingkat kebahagiaan, terutama pada tingkat pendapatan yang masih rendah, ia bukan satu-satunya faktor. Variabel lain yang juga menentukan adalah tingkat pendidikan, kesehatan fisik dan jiwa, lingkungan hidup, kesetaraan gender, tata kelola pemerintah, nilai spritual, lalu lintas, agama, hubungan komunitas, partisipasi budaya dan seni, dan sebagainya.

Survei-survei dilaksanakan untuk menguantifikasi dan mengukur kemajuan dari tahun ke tahun di suatu negara dan untuk perbandingan antarnegara. PBB mengeluarkan Happiness Index by Country sebagai bagian dari Human Development Indexnya dan New Economics Foundation mengeluarkan Happy Planet Index. Sekadar sebagai contoh, kuantifikasi variabel kebahagiaan, antara lain, dengan mengukur kesehatan jiwa di negeri tertentu dengan menghitung jumlah konsumsi obat antidepresan di suatu negara dalam setahun, kesehatan lingkungan diukur dengan tingkat polusi udara, air, dan konservasi hutan. Kemudian, kehidupan keluarga dengan tingkat perceraian, kesejahteraan politik diukur dengan kebebasan individu dan jumlah konflik, kesehatan keuangan warga diukur dengan jumlah utang rumah tangga, kelancaran transportasi diukur dengan tingkat kemacetan dan pelanggaran lalu lintas, dan banyak lagi.

Perdebatan di antara ilmuwan masih terus berlangsung untuk menemukan cara mengukur GHN yang mendekati kebenaran guna dijadikan pegangan untuk menentukan kebijakan pemerintah. Ilmuwan terkemuka, seperti Jeffrey Sachs dari Columbia University dan Richard Layard dari London School of Economics, adalah di antara banyak ilmuwan yang mendukung pencarian formula GHN yang tepat. Tidak kurang pula mereka yang mencibir upaya mengukur tingkat kebahagiaan karena dianggap tidak ilmiah dan bahwa bahagia atau tidaknya seseorang dianggap sangat subjektif dan ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang bervariasi pada bangsa-bangsa yang berbeda. Kritik ini patut dihargai, khususnya ketika indeks membandingkan tingkat kebahagiaan antarnegara. 

Namun demikian, makin banyak ilmuwan yang menganggap indeks kebahagiaan diperlukan supaya orang tidak tersesatkan oleh sekadar ukuran PDB. Memang mungkin saja benar bahwa indeks itu lebih tepat diterapkan untuk tujuan perbandingan tingkat kebahagiaan antarwaktu di suatu negeri, bukan untuk perbandingan antarnegara. 

Bagi kita di Indonesia, menekankan pertumbuhan ekonomi di samping mengurangi penduduk di bawah garis kemiskinan dan terus memperbaiki indeks gini yang belakangan merosot guna lebih meratakan distribusi pendapatan adalah upaya yang patut dihargai. Namun demikian, tidak ada salahnya bila mulai sekarang kita juga mulai mengambil prakarsa meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kebahagiaan warga dengan survei-survei yang dapat dijadikan pegangan bagi kebijakan pemerintah. 

Gagasan presiden baru Korea Selatan barangkali bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang beraspirasi menjadi presiden mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar