Menarik
sekali menyaksikan pelantikan presiden ke-18 dan presiden perempuan pertama
Korea Selatan, Park Geun-hye, di lapangan terbuka yang dihadiri oleh 70
ribu warganya. Nyaris kita tidak pernah mendengar seorang presiden di
negeri manapun, baik dalam kampanye maupun ketika diulang dalam pidato
pelantikan, berjanji akan membahagiakan rakyatnya. Yang sering kita
dengar adalah janji untuk menumbuhkan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan
rakyat, membuka peluang kerja, menghapus kemiskinan, dan lain sejenisnya.
Untuk
mencapai tujuan itu, Presiden Park berjanji akan mewujudkan `keajaib- an
kedua' di tepi Sungai Han setelah `keajaiban pertama' yang diprakarsai
mendiang ayahnya, Park Chung-hee. Caranya dengan membangun ekonomi
kreatif melalui pengembangan sains dan teknologi serta memasukkan unsur
budaya bangsa ke dalam bisnis. Semua itu dilakukan dalam lingkungan pasar
yang adil di mana usaha kecil, menengah, dan konglomerat dapat peluang yang
sama untuk berkembang. Presiden baru Korea Selatan yang lajang dan mengaku
tidak punya keluarga karena ibu dan ayahnya berturut-turut dibunuh oleh
lawan politiknya itu mengaku bahwa dia menganggap rakyat Korea sebagai
pengganti keluarganya.
Korea
Selatan yang pada tahun 1960an masih terpuruk kini telah menjadi salah satu
kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita (PPP) 32 ribu dolar AS. Industri
elektronik dan otomotifnya tumbuh dengan pesat. Budaya pop, musik, dan film
Korea makin luas diterima di kalangan remaja di luar negaranya. Dengan
PDB di atas 1,5 triliun dolar AS (nomor 13 di dunia), infl asi 2,2 persen,
dan pengangguran di bawah empat per- sen, Korea Selatan yang berpenduduk 48
juta telah membuktikan diri sebagai negara yang tangguh.
Di negeri yang maju dan makmur itu presidennya masih berjanji untuk membuat
rayatnya bahagia. Kondisinya ini menarik untuk kemudian dipertanyakan lebih
jauh, apakah rakyatnya saat ini tidak bahagia?
Ukuran Bahagia
Presiden
Park ingin mencapai misinya dengan memberantas praktik-praktik koruptif dan
tidak adil, meluruskan ke biasaan masa lalu yang salah arah dan telah
mengakibatkan frustrasi di kalangan usaha kecil dan menengah. Apakah
misinya akan tercapai? Kita mesti sabar menunggu hasil kerjanya. Namun
demikian, apakah nantinya akan ada ukuran objektif untuk bisa mengatakan
bahwa rakyat telah menjadi lebih bahagia dari sebelumnya?
Kita semua sepakat bahwa kemajuan ekonomi dan kekayaan materi tidak selalu
berkolerasi positif dengan kebahagiaan. Meningkatnya standar hidup juga
tidak menjamin adanya peningkatan kualitas hidup. Bhutan adalah negara
pertama pada 1972 yang memprakarsai dan belakangan memasukkan `indeks
kebahagiaan' secara resmi dalam program pembangunan dan konstitusinya
dengan mengintegrasikan kemajuan ekonomi bersama nilai spiritual Budhisme
yang diyakininya. Sejak itu, Bhutan telah menjadi objek penelitian berbagai
pihak.
Berbagai
istilah bermunculan, seperti Gross
National Happiness (GHN), Sub- jective Wellbeing (SBW), Gross National Wellbeing (GNW). Pada
intinya, walau peningkatan pendapatan warga ikut menentukan tingkat
kebahagiaan, terutama pada tingkat pendapatan yang masih rendah, ia bukan
satu-satunya faktor. Variabel lain yang juga menentukan adalah tingkat
pendidikan, kesehatan fisik dan jiwa, lingkungan hidup, kesetaraan gender,
tata kelola pemerintah, nilai spritual, lalu lintas, agama, hubungan
komunitas, partisipasi budaya dan seni, dan sebagainya.
Survei-survei dilaksanakan untuk menguantifikasi dan mengukur kemajuan dari
tahun ke tahun di suatu negara dan untuk perbandingan antarnegara. PBB
mengeluarkan Happiness Index by
Country sebagai bagian dari Human
Development Indexnya dan New Economics
Foundation mengeluarkan Happy
Planet Index. Sekadar sebagai contoh, kuantifikasi variabel
kebahagiaan, antara lain, dengan mengukur kesehatan jiwa di negeri tertentu
dengan menghitung jumlah konsumsi obat antidepresan di suatu negara dalam
setahun, kesehatan lingkungan diukur dengan tingkat polusi udara, air, dan
konservasi hutan. Kemudian, kehidupan keluarga dengan tingkat
perceraian, kesejahteraan politik diukur dengan kebebasan individu dan
jumlah konflik, kesehatan keuangan warga diukur dengan jumlah utang rumah
tangga, kelancaran transportasi diukur dengan tingkat kemacetan dan
pelanggaran lalu lintas, dan banyak lagi.
Perdebatan di antara ilmuwan masih terus berlangsung untuk menemukan cara
mengukur GHN yang mendekati kebenaran guna dijadikan pegangan untuk menentukan
kebijakan pemerintah. Ilmuwan terkemuka, seperti Jeffrey Sachs dari Columbia University dan Richard
Layard dari London School of
Economics, adalah di antara banyak ilmuwan yang mendukung pencarian
formula GHN yang tepat. Tidak kurang pula mereka yang mencibir upaya
mengukur tingkat kebahagiaan karena dianggap tidak ilmiah dan bahwa bahagia
atau tidaknya seseorang dianggap sangat subjektif dan ditentukan oleh
nilai-nilai budaya yang bervariasi pada bangsa-bangsa yang berbeda. Kritik
ini patut dihargai, khususnya ketika indeks membandingkan tingkat
kebahagiaan antarnegara.
Namun demikian, makin banyak ilmuwan yang menganggap indeks kebahagiaan
diperlukan supaya orang tidak tersesatkan oleh sekadar ukuran PDB. Memang
mungkin saja benar bahwa indeks itu lebih tepat diterapkan untuk tujuan
perbandingan tingkat kebahagiaan antarwaktu di suatu negeri, bukan untuk
perbandingan antarnegara.
Bagi kita di Indonesia, menekankan pertumbuhan ekonomi di samping mengurangi
penduduk di bawah garis kemiskinan dan terus memperbaiki indeks gini yang
belakangan merosot guna lebih meratakan distribusi pendapatan adalah upaya
yang patut dihargai. Namun demikian, tidak ada salahnya bila mulai sekarang
kita juga mulai mengambil prakarsa meningkatkan kualitas hidup dan tingkat
kebahagiaan warga dengan survei-survei yang dapat dijadikan pegangan bagi
kebijakan pemerintah.
Gagasan presiden baru Korea Selatan barangkali bisa menjadi inspirasi bagi
mereka yang beraspirasi menjadi presiden mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar