Selasa, 19 Maret 2013

Nasionalisme Bawang Merah-Putih


Nasionalisme Bawang Merah-Putih
Arswendo Atmowiloto ;  Budayawan
KORAN SINDO, 19 Maret 2013


Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, atau Ibu Ani masih kecil—juga para menteri, atau generasi seusianya, besar kemungkinan mendengar kisah legenda Brambang-Bawang, atau kisah Bawang Merah dan Bawang Putih yang pernah dipentaskan oleh legenda operet, TitiekPuspa. 

Kisahnya mirip kisah Cinderella, yang memiliki ratusan versi yang disebut asli, tentang Bawang Merah yang sengsara hidupnya, dan karena bekerja keras, karena menurut orang tua—walau tiri, akhirnya bertemu jodoh sang pangeran. Sementara Bawang Putih, yang biasa dimanja, tak pernah bekerja, selalu memanfaatkan fasilitas kedua orang tuanya dengan cara salah, akhirnya kalah dan berurai air mata. Sia-sia. 

Indonesia Gersang 

Kisah ini baik, mendidik, sekaligus menarik. Untuk membangun karakter, jelas hitam putih, jalan ceritanya mudah ditangkap. Penderitaan Bawang Merah yang dilakoni dengan jujur, dengan ikhlas tanpa mencemburui nasib baik Bawang Putih—padahal fasilitas itu milik dan peninggalan ayah Bawang Merah, berakhir dengan bahagia, selamanya. Dalam lakon yang diindonesiakan, terasa lebih bermakna idiomnya. Bawang Merah dan Bawang Putih. 

Sengawur apa pun, idiom Merah-Putih sebagai kebersamaan dan persatuan, hendaknya tetap dipilih. Atau kalau luntur, ingatan itu dibikin pulih. Bukan suatu kebetulan para budayawan kita zaman dulu membuat lokasi peristiwa bukan di kerajaan, melainkan pada kehidupan rakyat jelata, dengan nama sayuran yang dikenali setiap hari. Hampir semua masakan menggunakan brambang-bawang- uyah-trasi, bawang merah-barang putih, garam dan terasi. 

Sulit dipercaya bahwa kini, di zaman reformasi, di era demokrasi, di negeri agraris ini, kebutuhan sehari-hari itu menjadi barang langka. Lebih tragis dan ironis kenaikan harga yang menggila itu tak juga mengangkat kehidupan petani—yang katanya soko guru, tiang utama pembangunan. Karena barang-barang diimpor, yang menelan keuntungan adalah importir dan atau yang kementrian yang menaunginya. 

Terasi, atau terasi bahkan lebih parah lagi, karena mulai diemohi dengan galak, karena kini lebih dipopulerkan pemakaian bumbu masak instan. Seolah kalau tidak menggunakan bumbu masak—yang sebenarnya juga diragukan jaminan kesehatannya, orang yang langka dan ketinggalan zaman. Dari kaca mata budaya, kekalahan ini bagian daftar panjang, di mana bumi Indonesia menjadigersang. 

BawangMerah- Putih, kedelai, tebu, padi, tak bisa hidup untuk mencukupi. Termasuk daging sapi, ayam dan berbagai jenis buah-buahan. Sungguh tak masuk akal, bagaimana buah durian—yang khas, yang nama internasionalnya juga memakai kata durian, juga harus diimpor. Atau lebih buruk lagi, diemohi dan dianggap mengganggu. Saya mengalami langsung ketika berada di Batu, di suatu hotel yang menamakan diri hotel hutan, di dalam kamar ada tulisan, imbauan untuk tidak makan durian. 

Indonesia Ekor 

Kisah sebenarnya bawang merah-putih yang melonjak harganya, membuktikan bahwa pemerintah, dan atau kementeriannya, tidak memahami tanah air dan budaya yang telah menghidupi dan memberi inspirasi nenek moyangnya. Para elite berpikir, atau mendekati apa yang diajarkan atau didiktekan negara lain. Kalau tak punya barang ya impor. Kalau mau lewat aku— yang memakai tata krama internasional, dan bisa bayar belakangan. Lebih untung begitu. 

Dan bukan misalnya lebih memihak ke petani untuk masa kini dan nanti. Dan pada saat ketergantungan ini menjadi jalan hidup, kehidupan para petani makin meredup. Musim kemarau di Amerika Serikat, bisa membuat sekarat petani kedelai di bumi ini. Dan cara mengatasinya sesaat, dengan kebijaksanaan impor atau bea masuk yang pada akhirnya makin membuat negeri ini bergantung pada tali tiang gantungan, yang tak bisa ditolak.

Nasib jutaan petani—termasuk petani tebu, petani tembakau, petani jeruk, petani kacang, dan lain sebagainya dan semuanya, akan makin terpuruk. Sampai generasi saya berakhir, konon kita tak lepas dari impor gula. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur keras para menteri yang tidak becus mengurus bumbu dapur, pada saat yang sama kita diingatkan bahwa pendekatan budaya yang selama ini perlu dibikin lurus. 

Kalau tinggal impor saja kedodoran dan rakus berbagai rezeki, bagaimana mungkin mempunyai niatan memihak pada para petani. Negeri ini memerlukan keadaban para elitenya, dibanding sekadar koordinasi dan strategi sebagai negeri ekor yang terus mengimpor. Mengekor buta apa yang didiktekan negeri lain. 

Perubahan lebih mendasar diperlukan segera untuk jangka lama, sebagaimana dengan cara sederhana memilihkan nama legenda dengan kebutuhan sehari-hari: bawang merah dan bawang putih, atau juga kisah timun emas. Semua membuat lebih cemas lagi mana kala idiom Merah-Putih pun tersisih karenanya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar