Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
atau Ibu Ani masih kecil—juga para menteri, atau generasi seusianya, besar
kemungkinan mendengar kisah legenda Brambang-Bawang, atau kisah Bawang Merah
dan Bawang Putih yang pernah dipentaskan oleh legenda operet, TitiekPuspa.
Kisahnya mirip kisah Cinderella, yang memiliki ratusan versi yang disebut asli,
tentang Bawang Merah yang sengsara hidupnya, dan karena bekerja keras,
karena menurut orang tua—walau tiri, akhirnya bertemu jodoh sang pangeran.
Sementara Bawang Putih, yang biasa dimanja, tak pernah bekerja, selalu
memanfaatkan fasilitas kedua orang tuanya dengan cara salah, akhirnya kalah
dan berurai air mata. Sia-sia.
Indonesia Gersang
Kisah ini baik, mendidik, sekaligus menarik. Untuk membangun karakter,
jelas hitam putih, jalan ceritanya mudah ditangkap. Penderitaan Bawang
Merah yang dilakoni dengan jujur, dengan ikhlas tanpa mencemburui nasib
baik Bawang Putih—padahal fasilitas itu milik dan peninggalan ayah Bawang
Merah, berakhir dengan bahagia, selamanya. Dalam lakon yang diindonesiakan,
terasa lebih bermakna idiomnya. Bawang Merah dan Bawang Putih.
Sengawur apa pun, idiom Merah-Putih sebagai kebersamaan dan persatuan,
hendaknya tetap dipilih. Atau kalau luntur, ingatan itu dibikin pulih.
Bukan suatu kebetulan para budayawan kita zaman dulu membuat lokasi
peristiwa bukan di kerajaan, melainkan pada kehidupan rakyat jelata, dengan
nama sayuran yang dikenali setiap hari. Hampir semua masakan menggunakan
brambang-bawang- uyah-trasi, bawang merah-barang putih, garam dan terasi.
Sulit dipercaya bahwa kini, di zaman reformasi, di era demokrasi, di negeri
agraris ini, kebutuhan sehari-hari itu menjadi barang langka. Lebih tragis
dan ironis kenaikan harga yang menggila itu tak juga mengangkat kehidupan
petani—yang katanya soko guru, tiang utama pembangunan. Karena
barang-barang diimpor, yang menelan keuntungan adalah importir dan atau
yang kementrian yang menaunginya.
Terasi, atau terasi bahkan lebih parah lagi, karena mulai diemohi dengan
galak, karena kini lebih dipopulerkan pemakaian bumbu masak instan. Seolah
kalau tidak menggunakan bumbu masak—yang sebenarnya juga diragukan jaminan
kesehatannya, orang yang langka dan ketinggalan zaman. Dari kaca mata
budaya, kekalahan ini bagian daftar panjang, di mana bumi Indonesia
menjadigersang.
BawangMerah- Putih, kedelai, tebu, padi, tak bisa hidup untuk mencukupi.
Termasuk daging sapi, ayam dan berbagai jenis buah-buahan. Sungguh tak
masuk akal, bagaimana buah durian—yang khas, yang nama internasionalnya
juga memakai kata durian, juga harus diimpor. Atau lebih buruk lagi,
diemohi dan dianggap mengganggu. Saya mengalami langsung ketika berada di
Batu, di suatu hotel yang menamakan diri hotel hutan, di dalam kamar ada
tulisan, imbauan untuk tidak makan durian.
Indonesia Ekor
Kisah sebenarnya bawang merah-putih yang melonjak harganya, membuktikan bahwa
pemerintah, dan atau kementeriannya, tidak memahami tanah air dan budaya
yang telah menghidupi dan memberi inspirasi nenek moyangnya. Para elite
berpikir, atau mendekati apa yang diajarkan atau didiktekan negara lain.
Kalau tak punya barang ya impor. Kalau mau lewat aku— yang memakai tata
krama internasional, dan bisa bayar belakangan. Lebih untung begitu.
Dan bukan misalnya lebih memihak ke petani untuk masa kini dan nanti. Dan
pada saat ketergantungan ini menjadi jalan hidup, kehidupan para petani makin
meredup. Musim kemarau di Amerika Serikat, bisa membuat sekarat petani
kedelai di bumi ini. Dan cara mengatasinya sesaat, dengan kebijaksanaan
impor atau bea masuk yang pada akhirnya makin membuat negeri ini bergantung
pada tali tiang gantungan, yang tak bisa ditolak.
Nasib jutaan petani—termasuk petani tebu, petani tembakau, petani jeruk,
petani kacang, dan lain sebagainya dan semuanya, akan makin terpuruk.
Sampai generasi saya berakhir, konon kita tak lepas dari impor gula. Ketika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur keras para menteri yang tidak
becus mengurus bumbu dapur, pada saat yang sama kita diingatkan bahwa
pendekatan budaya yang selama ini perlu dibikin lurus.
Kalau tinggal impor saja kedodoran dan rakus berbagai rezeki, bagaimana
mungkin mempunyai niatan memihak pada para petani. Negeri ini memerlukan
keadaban para elitenya, dibanding sekadar koordinasi dan strategi sebagai
negeri ekor yang terus mengimpor. Mengekor buta apa yang didiktekan negeri
lain.
Perubahan lebih mendasar diperlukan segera untuk jangka lama, sebagaimana
dengan cara sederhana memilihkan nama legenda dengan kebutuhan sehari-hari:
bawang merah dan bawang putih, atau juga kisah timun emas. Semua membuat
lebih cemas lagi mana kala idiom Merah-Putih pun tersisih karenanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar