Selasa, 19 Maret 2013

Kejarlah Aset, Koruptor Kutangkap


Kejarlah Aset, Koruptor Kutangkap
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
 
KORAN SINDO, 19 Maret 2013
  

Masih ingat judul film, Kejarlah Daku, Kau Kutangkap? Film yang dibintangi oleh Deddy Mizwar (Ramadan) dan Lidya Kandouw (Mona) adalah film komedi yang sukses di tahun 1986. 

Saya tentu tidak akan menuliskan film kocak yang sukses tersebut, sehingga diangkat lagi ceritanya ke layar kaca di tahun 2002. Saya justru akan menuliskan topik yang tidak kocak, topik yang sangat serius, bahkan rumit: asset recovery. Hari-hari ini kita mendengar, membaca, menonton berita TV bagaimana KPK mengejar dan menyita aset seorang tersangka kasus korupsi. 

Kita takjub atas puluhan rumah yang disita di dalam dan di luar negeri. Tidak hanya itu, KPK juga diberitakan menyita pom bensin, apartemen, tanah, kendaraan, dan lain-lain. Pada saat yang sama, masih terkait pengejaran aset, diberitakan pula Timwas Kasus Century memanggil dubes Swiss, menkumham, menkeu, jaksa agung untuk menjelaskan upaya pengembalian aset Century di luar negeri. 

Pengejaran aset di luar negeri tentu lebih sulit, karena akan melibatkan kompleksitas hukum internasional. Apalagi jika terkait dengan sistem keuangan internasional, maka pengejaran sering kali memakan waktu belasan bahkan puluhan tahun. Dalam kerumitan sedemikian, tidak ada cara lain, kecuali meningkatkan kerja sama dengan berbagai kalangan, untuk menyelamatkan aset. 

Sebagaimana pernah disampaikan Edgar Hoover, mantan direktur FBI: “The most effective weapon against crime is cooperation”. Itu sebabnya, ketika dipercaya menjadi tim pendukung pengembalian aset Century, kami membangun kerja sama dengan berbagai kalangan. Mutual legal assistance dibuat dengan beberapa negara yang diidentifikasi mempunyai aset Century, di antaranya Swiss dan Hong Kong (Republik Rakyat Tiongkok). 

Tidak hanya melakukan kerja sama dengan pemerintah negara setempat, bantuan juga dimaksimalkan dari organisasi yang sudah mempunyai reputasi internasional seperti ICAR (International Centre for Asset Recovery). ICAR telah membantu upaya pengembalian aset beberapa negara. Di Tanah Air, ICAR juga melakukan pelatihan bagi KPK dan penegak hukum lainnya. 

Di samping ICAR, kami tentunya juga mendayagunakan perwakilan-perwakilan kita di luar negeri. Sewaktu di Hong Kong misalnya, kami sangat dibantu oleh konjen yang mempersiapkan kelancaran acara, serta ikut menghadiri rapat-rapat dengan Kementerian Hukum Hong Kong. Hal yang sama dilakukan ketika seorang anggota tim berangkat ke Swiss. 

Sesuai unggah-ungguh diplomasi, kami terlebih dahulu mengirimkan email ke staf protokol Kedubes di Swiss. Di dalam email, kami jelaskan maksud kedatangan tim, agenda kegiatan dan permohonan agar Kedubes Swiss dapat membantu kelancaranacara. Sayangnya, ketika minggu lalu saya menjelaskan soal koordinasi melalui email itu, Dubes Swiss Djoko Susilo mengakui nama staf protokol yang dimaksud, tetapi tidak mengetahui adanya email koordinasi tersebut. 

Maka pada pertemuan dubes Swiss dengan Menkumham pada Kamis lalu, kami menyepakati koordinasi makin ditingkatkan agar pengejaran aset berjalan lebih efektif. Kami memang selalu memutuskan untuk melibatkan secara aktif perwakilan kita di luar negeri, meskipun berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana hal demikian tidaklah wajib. 

Pasal 9 ayat (1) UU 1/2006 menegaskan Menkumham dapat mengajukan permintaan bantuan timbal balik kepada negara asing secara langsung, atau melalui saluran diplomatik. Itu adalah soal pengejaran aset di luar negeri, yang biasanya lebih rumit. Maka akan lebih beruntung jika kita dapat menyita aset yang masih ada di dalam negeri. Apa yang dilakukan KPK dengan pengejaran dan penyitaan aset adalah langkah yang sudah sangat tepat. 

Menerapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah langkah cerdas. Memang sudah bukan saatnya lagi menggunakan pendekatan follow the criminals, yang harus dilakukan adalah pendekatan follow the money. Lebih jauh, dalam menjerat tindak pidana korupsi, sebaliknya dilakukan strategi three in one, yaitu bukan hanya berbasis tindak pidana korupsi, namun juga tindak pidana pencucian uang, bahkan tindak pidana pajak. 

Logikanya, seorang yang melakukan tipikor, mudah diduga akan melakukan praktik money laundering, dan kewajiban pajak yang bersangkutan dapat dipastikan dibayarkan secara tidak benar. Maka itu, kerja sama erat harus dilakukan paling tidak oleh KPK, PPATK, dan Ditjen Pajak. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentu diperlukan untuk melacak kepemilikan rekening yang mencurigakan. 

Adapun Direktorat Jenderal Pajak wajib dilibatkan sebagai pihak yang oleh Undang- Undang Perpajakan diberikan kewenangan penyidikan terkait tindak pidana pajak. Dengan trisula KPK-PPATK-Ditjen Pajak, maka ikhtiar kita untuk menjerat para penjarah uang rakyat, insya Allahakan lebih efektif. 

Pengepungan dengan menggunakan tiga jerat tindak pidana khusus (korupsi, TPPU, dan pajak) demikian bukanlah hal yang tidak mungkin, meski memang membutuhkan koordinasi yang lebih erat antara aparat penegak hukum, bukan hanya KPK serta penyidik pajak, melainkan juga kepolisian dan kejaksaan; karena tindak pidana pencucian uang dan pajak bisa ditindaklanjuti oleh kepolisian dan kejaksaan. 

Patut dicatat, yang lebih sulit tidak selalu terkait faktor hukum, namun faktor nonhukum yang juga memengaruhi. Salah satu yang sering kali menjadi faktor penghambat adalah kepentingan politik. Dalam setiap kasus korupsi, TPPU ataupun pajak, masuknya pertimbangan politik pasti memperumit upaya pengungkapan suatu kasus tindak pidana. Ambil contoh kasus Century, karena politik personal serta politik situasional 2014, penegakan hukum Century menjadi berpilin kusut dengan kepentingan politik, utamanya Pileg dan Pilpres 2014. 

Kembali ke soal pengejaran aset, sebelum kita melakukan pengejaran ke luar negeri, pekerjaan rumah pertama yang harus dituntaskan adalah penegakan hukum di dalam negeri. Sudah menjadi syarat dasar, jika kita mengklaim aset di luar negeri maka Indonesia harus dapat membuktikan bahwa aset tersebut adalah hak kita, karena didapatkan oleh pemiliknya secara melawan hukum. 

Argumentasi demikian sering kali tidak dapat kita hadirkan karena proses hukum di Tanah Air tidak tuntas. Dalam kondisi demikian, maka—sekali lagi—pengejaran aset harus dilakukan. Strategi follow the money adalah keniscayaan. Penerapan pembalikan beban bukti harus diterapkan, sebagaimana telah diatur dalam UU Tipikor dan UU TPPU, serta akan lebih lengkap lagi jika diterapkan pula UU Perpajakan, yangutamanya akan bermanfaat ketika menjerat kejahatan pajak oleh korporasi. 

Sebagaimana dalam kasus terakhir terkait Asian Agri, MA menjatuhkan vonis perusahaan tersebut harus membayar denda pajak sebesar Rp2,5 triliun. Akhirnya, jika rumus follow the money terasa rumit, bayangkanlah film komedi, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, dan terapkan resep serius, “Kejarlah Aset, Koruptor Kutangkap”. Demi Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar