Masih ingat judul film, Kejarlah Daku, Kau
Kutangkap? Film yang dibintangi oleh Deddy Mizwar (Ramadan) dan Lidya
Kandouw (Mona) adalah film komedi yang sukses di tahun 1986.
Saya tentu tidak akan menuliskan film kocak yang sukses tersebut, sehingga
diangkat lagi ceritanya ke layar kaca di tahun 2002. Saya justru akan
menuliskan topik yang tidak kocak, topik yang sangat serius, bahkan rumit: asset recovery. Hari-hari ini kita mendengar,
membaca, menonton berita TV bagaimana KPK mengejar dan menyita aset seorang
tersangka kasus korupsi.
Kita takjub atas puluhan rumah yang disita di dalam dan di luar negeri.
Tidak hanya itu, KPK juga diberitakan menyita pom bensin, apartemen, tanah,
kendaraan, dan lain-lain. Pada saat yang sama, masih terkait pengejaran
aset, diberitakan pula Timwas Kasus Century memanggil dubes Swiss,
menkumham, menkeu, jaksa agung untuk menjelaskan upaya pengembalian aset
Century di luar negeri.
Pengejaran aset di luar negeri tentu lebih sulit, karena akan melibatkan
kompleksitas hukum internasional. Apalagi jika terkait dengan sistem
keuangan internasional, maka pengejaran sering kali memakan waktu belasan
bahkan puluhan tahun. Dalam kerumitan sedemikian, tidak ada cara lain,
kecuali meningkatkan kerja sama dengan berbagai kalangan, untuk
menyelamatkan aset.
Sebagaimana pernah disampaikan Edgar Hoover, mantan direktur FBI: “The most effective weapon against crime
is cooperation”. Itu sebabnya, ketika dipercaya menjadi tim pendukung
pengembalian aset Century, kami membangun kerja sama dengan berbagai
kalangan. Mutual legal assistance
dibuat dengan beberapa negara yang diidentifikasi mempunyai aset Century,
di antaranya Swiss dan Hong Kong (Republik Rakyat Tiongkok).
Tidak hanya melakukan kerja sama dengan pemerintah negara setempat, bantuan
juga dimaksimalkan dari organisasi yang sudah mempunyai reputasi
internasional seperti ICAR (International
Centre for Asset Recovery). ICAR telah membantu upaya pengembalian aset
beberapa negara. Di Tanah Air, ICAR juga melakukan pelatihan bagi KPK dan
penegak hukum lainnya.
Di samping ICAR, kami tentunya juga mendayagunakan perwakilan-perwakilan
kita di luar negeri. Sewaktu di Hong Kong misalnya, kami sangat dibantu
oleh konjen yang mempersiapkan kelancaran acara, serta ikut menghadiri
rapat-rapat dengan Kementerian Hukum Hong Kong. Hal yang sama dilakukan
ketika seorang anggota tim berangkat ke Swiss.
Sesuai unggah-ungguh diplomasi, kami terlebih dahulu mengirimkan email ke
staf protokol Kedubes di Swiss. Di dalam email, kami jelaskan maksud
kedatangan tim, agenda kegiatan dan permohonan agar Kedubes Swiss dapat
membantu kelancaranacara. Sayangnya, ketika minggu lalu saya menjelaskan
soal koordinasi melalui email itu, Dubes Swiss Djoko Susilo mengakui nama
staf protokol yang dimaksud, tetapi tidak mengetahui adanya email
koordinasi tersebut.
Maka pada pertemuan dubes Swiss dengan Menkumham pada Kamis lalu, kami
menyepakati koordinasi makin ditingkatkan agar pengejaran aset berjalan
lebih efektif. Kami memang selalu memutuskan untuk melibatkan secara aktif
perwakilan kita di luar negeri, meskipun berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2006
tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana hal demikian tidaklah
wajib.
Pasal 9 ayat (1) UU 1/2006 menegaskan Menkumham dapat mengajukan permintaan
bantuan timbal balik kepada negara asing secara langsung, atau melalui
saluran diplomatik. Itu adalah soal pengejaran aset di luar negeri, yang
biasanya lebih rumit. Maka akan lebih beruntung jika kita dapat menyita
aset yang masih ada di dalam negeri. Apa yang dilakukan KPK dengan
pengejaran dan penyitaan aset adalah langkah yang sudah sangat tepat.
Menerapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah langkah cerdas. Memang
sudah bukan saatnya lagi menggunakan pendekatan follow the criminals, yang
harus dilakukan adalah pendekatan follow the money. Lebih jauh, dalam
menjerat tindak pidana korupsi, sebaliknya dilakukan strategi three in one,
yaitu bukan hanya berbasis tindak pidana korupsi, namun juga tindak pidana
pencucian uang, bahkan tindak pidana pajak.
Logikanya, seorang yang melakukan tipikor, mudah diduga akan melakukan
praktik money laundering, dan kewajiban pajak yang bersangkutan dapat
dipastikan dibayarkan secara tidak benar. Maka itu, kerja sama erat harus
dilakukan paling tidak oleh KPK, PPATK, dan Ditjen Pajak. Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan tentu diperlukan untuk melacak kepemilikan
rekening yang mencurigakan.
Adapun Direktorat Jenderal Pajak wajib dilibatkan sebagai pihak yang oleh
Undang- Undang Perpajakan diberikan kewenangan penyidikan terkait tindak
pidana pajak. Dengan trisula KPK-PPATK-Ditjen Pajak, maka ikhtiar kita
untuk menjerat para penjarah uang rakyat, insya Allahakan lebih efektif.
Pengepungan dengan menggunakan tiga jerat tindak pidana khusus (korupsi,
TPPU, dan pajak) demikian bukanlah hal yang tidak mungkin, meski memang
membutuhkan koordinasi yang lebih erat antara aparat penegak hukum, bukan
hanya KPK serta penyidik pajak, melainkan juga kepolisian dan kejaksaan;
karena tindak pidana pencucian uang dan pajak bisa ditindaklanjuti oleh
kepolisian dan kejaksaan.
Patut dicatat, yang lebih sulit tidak selalu terkait faktor hukum, namun
faktor nonhukum yang juga memengaruhi. Salah satu yang sering kali menjadi
faktor penghambat adalah kepentingan politik. Dalam setiap kasus korupsi,
TPPU ataupun pajak, masuknya pertimbangan politik pasti memperumit upaya
pengungkapan suatu kasus tindak pidana. Ambil contoh kasus Century, karena
politik personal serta politik situasional 2014, penegakan hukum Century
menjadi berpilin kusut dengan kepentingan politik, utamanya Pileg dan
Pilpres 2014.
Kembali ke soal pengejaran aset, sebelum kita melakukan pengejaran ke luar
negeri, pekerjaan rumah pertama yang harus dituntaskan adalah penegakan
hukum di dalam negeri. Sudah menjadi syarat dasar, jika kita mengklaim aset
di luar negeri maka Indonesia harus dapat membuktikan bahwa aset tersebut
adalah hak kita, karena didapatkan oleh pemiliknya secara melawan hukum.
Argumentasi demikian sering kali tidak dapat kita hadirkan karena proses
hukum di Tanah Air tidak tuntas. Dalam kondisi demikian, maka—sekali
lagi—pengejaran aset harus dilakukan. Strategi follow the money adalah keniscayaan. Penerapan pembalikan beban
bukti harus diterapkan, sebagaimana telah diatur dalam UU Tipikor dan UU
TPPU, serta akan lebih lengkap lagi jika diterapkan pula UU Perpajakan,
yangutamanya akan bermanfaat ketika menjerat kejahatan pajak oleh
korporasi.
Sebagaimana dalam kasus terakhir terkait Asian Agri, MA menjatuhkan vonis
perusahaan tersebut harus membayar denda pajak sebesar Rp2,5 triliun.
Akhirnya, jika rumus follow the money
terasa rumit, bayangkanlah film komedi, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, dan
terapkan resep serius, “Kejarlah Aset,
Koruptor Kutangkap”. Demi Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi.
Keep on fighting for the better
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar