Rabu, 20 Maret 2013

Nakhoda Baru Demokrat


Nakhoda Baru Demokrat
Ridho Imawan Hanafi  ;  Peneliti Politik di Soegeng Sarjadi Syndicate
KORAN TEMPO, 20 Maret 2013

  
Tidak bisa dibayangkan, misalnya, saat Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai dan Ketua Dewan Pembina, kemudian Ibas Yudhoyono sebagai Sekjen, dan salah satu di antara kandidat dari klan Cikeas yang tersebut di atas terpilih sebagai ketua umum. Maka, publik akan dengan mudah menyorot Demokrat tidak lain sebagai partai keluarga. 
Ihwal sebuah nama siapa yang layak menggantikan Anas Urbaningrum sesungguhnya masih berada dalam genggaman rapat Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai, yang telah mengambil kendali penuh, Yudhoyono tentu tak ingin Ketua Umum Demokrat yang baru berada di luar jangkauannya. Untuk memastikan hal itu, agenda dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat yang akan digelar nanti tampaknya akan cenderung diwacanakan sebagai ajang aklamasi untuk mengesahkan pilihan Yudhoyono. 
Publik sejauh ini hanya menangkap nama-nama kandidat yang berembus. Dari lingkup internal ada Ani Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), Toto Riyanto, Marzuki Alie, Sukarwo, Saan Mustofa, juga Hadi Utomo. Sedangkan dari kalangan eksternal ada Pramono Edhie Wibowo, Djoko Suyanto, Gita Wirjawan, dan sesekali tersebut Mahfud Md. Dari deretan nama itu, belum ada yang paling menonjol untuk disebut sebagai kandidat kuat. Tidak seperti kongres-kongres partai yang lazim, di mana gegap-gempita calon dengan panji-panji kemenangan semarak, para kandidat Ketua Umum Demokrat yang tersebut sekarang terkesan hati-hati menempatkan diri. 
Suara-suara untuk menjadikan KLB sebagai ajang aklamasi memilih ketua umum memang dianggap sebagai pilihan taktis. Dengan cara itu, ada kemungkinan KLB digunakan sebagai forum pertarungan antarkubu yang tak mempunyai celah. Dengan kata lain, jika KLB dijadikan pertarungan terbuka, bukan tidak mungkin "kecelakaan" politik pada kubu SBY akan terulang, seperti saat terpilihnya Anas Urbaningrum dalam Kongres 2010. Pilihan aklamasi juga dirasa efektif. Seperti diungkapkan Ketua DPP Demokrat Jafar Hafsah, dengan aklamasi, akan ditimbulkan efek ongkos minimalis sosial politik dan efek maksimalis manfaat sosial politiknya. 
Cara pandang yang berbeda mungkin hanya ada dalam tataran aturan permainan untuk merumuskan bagaimana kriteria ketua umum yang baru. Di antaranya, muncul wacana bahwa ketua umum harus kader internal. Syarat seperti itu penting agar calon ketua umum terinternalisasi nilai-nilai kepartaian, terutama pengkaderan partai. Selain itu, berkembang kabar bahwa calon ketua umum tidak diperbolehkan merangkap jabatan. Tujuannya, citra partai yang remuk saat ini hanya bisa dipulihkan dengan fokus mengurus partai.
Wacana yang berkembang seperti itu akan memudahkan proses seleksi. Jika syarat-syarat tersebut disetujui dalam aturan KLB, eliminasi di antara kandidat segera terlihat. Hanya, tampaknya kandidat ketua umum di Demokrat nanti tidak cukup mensyaratkan itu. Jika melihat dinamika internal yang berkembang, kandidat ketua umum memerlukan syarat tambahan, sebuah syarat yang tidak harus dilegalkan dalam aturan main. Yakni, bagaimana ketua umum bisa menempatkan diri di posisi tengah. Artinya, bisa diterima di kelompok mana pun. Figur itulah yang sejauh ini masih diraba.
Kebutuhan untuk menemukan figur seperti itu penting karena, setelah mundurnya Anas Urbaningrum, bukan berarti kader-kader yang disebut loyalis Anas lenyap. Posisi mereka saat ini memang terdesak mundur. Namun bukan berarti tiarap sama sekali. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin sesekali mereka akan melakukan move-move politiknya yang menimbulkan kegaduhan baru. Maka, figur ketua umum yang baru adalah siapa yang mampu membentangkan jembatan komunikasi dengan kelompok Anas. 
Selain bisa menjadi jembatan komunikasi dengan kelompok Anas, figur nakhoda baru Demokrat nanti dapat menjalankan apa yang menjadi orientasi politik Majelis Tinggi, yang diketuai oleh Yudhoyono. Bisa beriringan bersama dengan Yudhoyono adalah persyaratan mutlak. Ketika Anas memimpin Demokrat, nyaris Yudhoyono tidak bisa menautkan hatinya. Alhasil, sejak Kongres Bandung 2010, hampir saja Demokrat seperti berada di dalam ruang yang asing baginya. Karena itu, ketika kendali sudah kembali dipegang Yudhoyono, tidak mungkin dibiarkan menjauh lagi.
Yang menarik, dari deretan kandidat, figur yang berasal dari keluarga Yudhoyono juga kerap disebut: Ani Yudhoyono, Ibas, dan Hadi Utomo. Nama yang pertama, Ani Yudhoyono, dianggap sebagai figur yang cukup kecil resistansinya dan diharapkan bisa mempersatukan partai. Pada Ibas, yang saat ini menduduki posisi Sekretaris Jenderal, meski berkali-kali digadang, melihat usia yang relatif muda dan masih memerlukan pengalaman tambahan, posisi saat ini tampaknya paling realistis dipertahankan. Sementara pengalaman Hadi Utomo saat memimpin Demokrat akan menjadi tilikan yang bisa diperhitungkan. 
Hanya, menyebutkan nama-nama tersebut juga akan memberi beban tambahan bagi Demokrat, terutama anggapan ketidakmampuan partai itu meminimalkan faktor patron dalam lingkup internal partai. Tidak bisa dibayangkan, misalnya, saat Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai dan Ketua Dewan Pembina, kemudian Ibas Yudhoyono sebagai Sekjen, dan salah satu di antara kandidat dari klan Cikeas yang tersebut di atas terpilih sebagai ketua umum. Maka, publik akan dengan mudah menyorot Demokrat tidak lain sebagai partai keluarga. 
Karena itu, pemilihan nakhoda baru bagi Demokrat dalam KLB nanti bisa dikatakan sebagai tahap krusial. Meminjam istilah A.S. Hikam, sebagai sebuah fase ambang batas kritik (critical threshold) bagi keberadaan dan keberlanjutan Demokrat, jangan sampai partai itu meleset dalam menghadirkan figur pemimpin baru. Dalam konteks seperti itu, seperti dikatakan Susan Scarrow dalam Implementing Intra-Party Democracy (2005), pemilihan pemimpin partai adalah fase penting karena dengannya akan digunakan untuk mendefinisikan mengenai citra dan wacana politik untuk dibawa ke mana sebuah partai.
Menyadari kebutuhan seperti itu, timbang matang memilih ketua umum sepantasnya dilakukan Demokrat, yang tidak sekadar mendapatkan pemimpin baru karena terdesak oleh tenggat penyerahan daftar calon anggota legislatif sementara di KPU. Sebab, jika merujuk pada Less-Marshment dan Chris Rudd dalam Political Marketing and Party Leadership (2003), pemimpin partai adalah salah satu aspek produk partai yang penting, di mana aspek ini akan menjadi pusat perhatian publik. Termasuk sejauh mana pemimpin mampu melakukan perubahan di tubuh partai, yang ujungnya adalah meningkatkan penampilan elektoral dalam pemilu. 
Untuk itu, bagi nakhoda baru, tantangan yang segera menjemputnya adalah membangun soliditas internal Demokrat. Upaya konsolidasi adalah langkah mendesak terkait dengan momentum Pemilu 2014 yang tidak lagi panjang. Dengan demikian, nakhoda baru tersebut harus mampu membangkitkan kepercayaan diri partai untuk bersaing dalam Pemilu 2014. Ketika Demokrat saat ini terbelit persoalan dengan sejumlah kader yang tersangkut kasus korupsi, pemimpin baru tersebut juga harus berjanji, baik kepada diri sendiri maupun partainya, untuk terbebas dari korupsi. Jika ia tidak berdaya melakukan itu, partai lain akan bersiap menampung limpahan suara Demokrat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar