Tidak bisa dibayangkan, misalnya, saat Yudhoyono
sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai dan Ketua Dewan Pembina, kemudian Ibas
Yudhoyono sebagai Sekjen, dan salah satu di antara kandidat dari klan
Cikeas yang tersebut di atas terpilih sebagai ketua umum. Maka, publik akan
dengan mudah menyorot Demokrat tidak lain sebagai partai keluarga.
Ihwal sebuah nama siapa yang layak menggantikan Anas
Urbaningrum sesungguhnya masih berada dalam genggaman rapat Susilo Bambang
Yudhoyono. Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai, yang telah mengambil
kendali penuh, Yudhoyono tentu tak ingin Ketua Umum Demokrat yang baru
berada di luar jangkauannya. Untuk memastikan hal itu, agenda dalam Kongres
Luar Biasa (KLB) Demokrat yang akan digelar nanti tampaknya akan cenderung
diwacanakan sebagai ajang aklamasi untuk mengesahkan pilihan
Yudhoyono.
Publik sejauh ini hanya menangkap nama-nama kandidat
yang berembus. Dari lingkup internal ada Ani Yudhoyono, Edhie Baskoro
Yudhoyono (Ibas), Toto Riyanto, Marzuki Alie, Sukarwo, Saan Mustofa, juga
Hadi Utomo. Sedangkan dari kalangan eksternal ada Pramono Edhie Wibowo,
Djoko Suyanto, Gita Wirjawan, dan sesekali tersebut Mahfud Md. Dari deretan
nama itu, belum ada yang paling menonjol untuk disebut sebagai kandidat
kuat. Tidak seperti kongres-kongres partai yang lazim, di mana
gegap-gempita calon dengan panji-panji kemenangan semarak, para kandidat
Ketua Umum Demokrat yang tersebut sekarang terkesan hati-hati menempatkan
diri.
Suara-suara untuk menjadikan KLB sebagai ajang aklamasi
memilih ketua umum memang dianggap sebagai pilihan taktis. Dengan cara itu,
ada kemungkinan KLB digunakan sebagai forum pertarungan antarkubu yang tak
mempunyai celah. Dengan kata lain, jika KLB dijadikan pertarungan terbuka,
bukan tidak mungkin "kecelakaan" politik pada kubu SBY akan
terulang, seperti saat terpilihnya Anas Urbaningrum dalam Kongres 2010.
Pilihan aklamasi juga dirasa efektif. Seperti diungkapkan Ketua DPP
Demokrat Jafar Hafsah, dengan aklamasi, akan ditimbulkan efek ongkos
minimalis sosial politik dan efek maksimalis manfaat sosial
politiknya.
Cara pandang yang berbeda mungkin hanya ada dalam
tataran aturan permainan untuk merumuskan bagaimana kriteria ketua umum
yang baru. Di antaranya, muncul wacana bahwa ketua umum harus kader
internal. Syarat seperti itu penting agar calon ketua umum terinternalisasi
nilai-nilai kepartaian, terutama pengkaderan partai. Selain itu, berkembang
kabar bahwa calon ketua umum tidak diperbolehkan merangkap jabatan.
Tujuannya, citra partai yang remuk saat ini hanya bisa dipulihkan dengan
fokus mengurus partai.
Wacana yang berkembang seperti itu akan memudahkan
proses seleksi. Jika syarat-syarat tersebut disetujui dalam aturan KLB,
eliminasi di antara kandidat segera terlihat. Hanya, tampaknya kandidat
ketua umum di Demokrat nanti tidak cukup mensyaratkan itu. Jika melihat
dinamika internal yang berkembang, kandidat ketua umum memerlukan syarat
tambahan, sebuah syarat yang tidak harus dilegalkan dalam aturan main.
Yakni, bagaimana ketua umum bisa menempatkan diri di posisi tengah.
Artinya, bisa diterima di kelompok mana pun. Figur itulah yang sejauh ini
masih diraba.
Kebutuhan untuk menemukan figur seperti itu penting
karena, setelah mundurnya Anas Urbaningrum, bukan berarti kader-kader yang
disebut loyalis Anas lenyap. Posisi mereka saat ini memang terdesak mundur.
Namun bukan berarti tiarap sama sekali. Dengan kata lain, bukan tidak
mungkin sesekali mereka akan melakukan move-move politiknya yang
menimbulkan kegaduhan baru. Maka, figur ketua umum yang baru adalah siapa
yang mampu membentangkan jembatan komunikasi dengan kelompok Anas.
Selain bisa menjadi jembatan komunikasi dengan kelompok
Anas, figur nakhoda baru Demokrat nanti dapat menjalankan apa yang menjadi
orientasi politik Majelis Tinggi, yang diketuai oleh Yudhoyono. Bisa
beriringan bersama dengan Yudhoyono adalah persyaratan mutlak. Ketika Anas
memimpin Demokrat, nyaris Yudhoyono tidak bisa menautkan hatinya. Alhasil,
sejak Kongres Bandung 2010, hampir saja Demokrat seperti berada di dalam
ruang yang asing baginya. Karena itu, ketika kendali sudah kembali dipegang
Yudhoyono, tidak mungkin dibiarkan menjauh lagi.
Yang menarik, dari deretan kandidat, figur yang berasal
dari keluarga Yudhoyono juga kerap disebut: Ani Yudhoyono, Ibas, dan Hadi
Utomo. Nama yang pertama, Ani Yudhoyono, dianggap sebagai figur yang cukup
kecil resistansinya dan diharapkan bisa mempersatukan partai. Pada Ibas,
yang saat ini menduduki posisi Sekretaris Jenderal, meski berkali-kali
digadang, melihat usia yang relatif muda dan masih memerlukan pengalaman
tambahan, posisi saat ini tampaknya paling realistis dipertahankan.
Sementara pengalaman Hadi Utomo saat memimpin Demokrat akan menjadi tilikan
yang bisa diperhitungkan.
Hanya, menyebutkan nama-nama tersebut juga akan memberi
beban tambahan bagi Demokrat, terutama anggapan ketidakmampuan partai itu
meminimalkan faktor patron dalam lingkup internal partai. Tidak bisa
dibayangkan, misalnya, saat Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai
dan Ketua Dewan Pembina, kemudian Ibas Yudhoyono sebagai Sekjen, dan salah
satu di antara kandidat dari klan Cikeas yang tersebut di atas terpilih
sebagai ketua umum. Maka, publik akan dengan mudah menyorot Demokrat tidak
lain sebagai partai keluarga.
Karena itu, pemilihan nakhoda baru bagi Demokrat dalam
KLB nanti bisa dikatakan sebagai tahap krusial. Meminjam istilah A.S.
Hikam, sebagai sebuah fase ambang batas kritik (critical threshold) bagi
keberadaan dan keberlanjutan Demokrat, jangan sampai partai itu meleset
dalam menghadirkan figur pemimpin baru. Dalam konteks seperti itu, seperti
dikatakan Susan Scarrow dalam Implementing
Intra-Party Democracy (2005), pemilihan pemimpin partai adalah fase
penting karena dengannya akan digunakan untuk mendefinisikan mengenai citra
dan wacana politik untuk dibawa ke mana sebuah partai.
Menyadari kebutuhan seperti itu, timbang matang memilih
ketua umum sepantasnya dilakukan Demokrat, yang tidak sekadar mendapatkan
pemimpin baru karena terdesak oleh tenggat penyerahan daftar calon anggota
legislatif sementara di KPU. Sebab, jika merujuk pada Less-Marshment dan
Chris Rudd dalam Political Marketing
and Party Leadership (2003), pemimpin partai adalah salah satu aspek
produk partai yang penting, di mana aspek ini akan menjadi pusat perhatian
publik. Termasuk sejauh mana pemimpin mampu melakukan perubahan di tubuh
partai, yang ujungnya adalah meningkatkan penampilan elektoral dalam
pemilu.
Untuk itu, bagi nakhoda baru, tantangan
yang segera menjemputnya adalah membangun soliditas internal Demokrat.
Upaya konsolidasi adalah langkah mendesak terkait dengan momentum Pemilu
2014 yang tidak lagi panjang. Dengan demikian, nakhoda baru tersebut harus
mampu membangkitkan kepercayaan diri partai untuk bersaing dalam Pemilu
2014. Ketika Demokrat saat ini terbelit persoalan dengan sejumlah kader yang
tersangkut kasus korupsi, pemimpin baru tersebut juga harus berjanji, baik
kepada diri sendiri maupun partainya, untuk terbebas dari korupsi. Jika ia
tidak berdaya melakukan itu, partai lain akan bersiap menampung limpahan
suara Demokrat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar