BILA Anda membuka Google, ketik: the
15 highest paying career US 2012. Terbaca: dokter adalah
profesi yang berpenghasilan tertinggi di Amerika Serikat (AS). Apakah biaya
pendidikan profesi dengan bayaran tertinggi ini harus murah? Tidak adil
memang kalau seorang calon profesional berpenghasilan tertinggi, sekolahnya
disubsidi.
Benar, pendidikan kedokteran tidak pernah murah, bahkan terus meroket.
Lantas, apakah pendidikan dokter di AS hanya untuk orang kaya? Tidak. Si
calon dokter dapat mengajukan pinjaman untuk biaya sekolah, dicicil kelak
kalau sudah bekerja. Toh, profesi dokter
menjaminnya akan menjadi seorang yang berpenghasilan tertinggi di AS.
Walhasil, biaya pendidikan dokter tetap tinggi, tetapi akses mahasiswa
calon dokter tak terganggu dan tidak ada diskriminasi. Yang jelas, di akhir
pendidikan mereka punya utang yang akan dicicil saat bekerja.
Bagaimana di negeri ini? Peta berbeda, penghasilan dokter begitu beragam.
Namun, sebagian besar dokter di negeri ini berpenghasilan rendah. Adakah
bank yang mau meminjamkan uang pada profesi yang tak jelas masa depannya?
Apa solusinya?
Perlu diperjelas dulu penggunaan istilah. Satu barang dengan merek,
spesifikasi, dan kualitas sama mungkin harganya berbeda di tempat lain. Di
tempat yang harganya lebih tinggi, kita sebut mahal (expensive). Bagaimana
bila sudah di tempat termurah, tetapi uang tetap tidak cukup? Tidak bisa
kita sebut barang itu mahal, tapi "tak terbeli" atau unaffordable.
Ada pula perbedaan fundamental. Persoalan "mahal" terletak di
sisi penjual, bila ada inefisiensi proses produksi dan mematok keuntungan
lebih. Berbeda dengan istilah "tak terbeli", persoalannya
terletak sepenuhnya pada ketidakmampuan di sisi pembeli. Pertanyaannya,
pendidikan dokter di Indonesia mahal atau tak terbeli?
Yang berbahaya, bila kita hanya mampu melihat nominal harga tanpa pernah
bisa mengukur kualitas. Mengukur satu barang yang terpegang tangan tentu
lebih mudah. Tetapi, bagaimana mengukur produk pendidikan? Apalagi produk
profesi yang langsung menyangkut nyawa manusia.
Sebuah rumus dasar, kualitas produk apa pun ditentukan oleh tiga faktor:
Pertama, kualitas bahan, dalam hal ini kualitas manusia, mahasiswa si calon
dokter. Kedua, kualitas dapur, rumah sakit pendidikan. Ketiga, kualitas dan
kesungguhan koki (para dokter dan profesor pengajar) dalam menghasilkan
dokter yang terbaik. Benar, pendidikan dokter sangat kompleks. Namun,
kolegium dan fakultas kedokteran negeri telah membuat resep dan cara
menghasilkan dokter yang bermutu.
Namun, bagaimanapun resep itu dibuat, kualitas produk tidak bisa lepas dari
ketiga faktor tadi: bahan, dapur, dan kokinya. Bila kita menginginkan
produk dokter berkualitas global, tentu ketiga faktor tadi pun harus
berkualitas global. Dan, untuk mengukur kualitas global (dapur, koki, dan
produknya) tak dapat lagi kita menggunakan ukuran lokal.
Big Mac Index
Warren Widmann, dokter ahli bedah terkemuka di AS, bingung. Saat dia kali
pertama menjadi mahasiswa FK Yale University, awal 60-an, biaya kuliah (tuition fee) hanya USD
650 per tahun. Mengapa kini mahasiswa harus membayar biaya kuliah USD
42.350 per tahun plus uang buku dan praktikum USD 25.000 dan biaya hidup
USD 8.000 per tahun? Apa yang membuatnya mahal? Jawabannya jelas, teknologi
kedokteran berkembang amat pesat, lebih cepat dibandingkan dengan
perkembangan teknologi umum. Juga, training staf harus terus-menerus dilakukan
untuk mengikuti perkembangan teknologi. Hukumnya wajib atau mereka akan
tertinggal dan terlindas zaman.
Menurut dr Djoko Santoso, pembantu dekan FK Unair (Jawa Pos, 28 Februari
2013) biaya pendidikan dokter di Indonesia: uang kuliah Rp 15 juta plus
subsidi Rp 20 juta = Rp 35 juta = USD 3.821 per tahun. Sedangkan biaya
pendidikan dokter di FK pemerintah di AS rata-rata USD 32.500 per tahun
(AAMC, 2012, www.aamc.org/FIRST).
Apakah bisa kita simpulkan biaya pendidikan kedokteran di Indonesia 11,8
persen dari AS? Big Mac Index akan membuat perbandingan nilai produk dan
uang menjadi lebih padan. Bila biaya pendidikan dokter dikonversi ke harga
Big Mac di Restoran McDonald's: Uang sekolah di AS identik dengan harga
7.718 Big Mac, sedangkan di Indonesia hanya dapat membeli 1.553 Big Mac.
Artinya, harga pendidikan dokter di Indonesia hanya 1/4 dari AS, masih
sangat rendah.
Dengan harga yang serendah itu, bisakah kita berharap kualitas dokter kita
akan sama? Kemungkinan yang terjadi: Pertama, sistem pendidikan dokter di
Indonesia begitu efisien, sehingga mampu menghasilkan dokter setara AS
dengan biaya seperempat saja. Atau, kualitas pendidikan dokter kita memang
jauh tertinggal.
Lantas apa solusinya? Segera benchmarking, tapi sebaiknya ke Kuba,
jangan ke AS. Mengapa? Pendidikan kedokteran di Kuba tampaknya lebih baik.
Buktinya, indeks kesehatan rakyat Kuba lebih baik daripada rakyat AS dengan
biaya jauh lebih murah dan pendidikan dokternya pun gratis! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar