Rabu, 20 Maret 2013

Pendidikan Dokter Tak (Boleh) Murah


Pendidikan Dokter Tak (Boleh) Murah
Ario Djatmiko  ;  Pengurus Besar IDI Ketua Bidang Penataan Praktik Global
JAWA POS, 20 Maret 2013

  
BILA Anda membuka Google, ketik: the 15 highest paying career US 2012. Terbaca: dokter adalah profesi yang berpenghasilan tertinggi di Amerika Serikat (AS). Apakah biaya pendidikan profesi dengan bayaran tertinggi ini harus murah? Tidak adil memang kalau seorang calon profesional berpenghasilan tertinggi, sekolahnya disubsidi. 

Benar, pendidikan kedokteran tidak pernah murah, bahkan terus meroket. Lantas, apakah pendidikan dokter di AS hanya untuk orang kaya? Tidak. Si calon dokter dapat mengajukan pinjaman untuk biaya sekolah, dicicil kelak kalau sudah bekerja. Toh, profesi dokter menjaminnya akan menjadi seorang yang berpenghasilan tertinggi di AS. Walhasil, biaya pendidikan dokter tetap tinggi, tetapi akses mahasiswa calon dokter tak terganggu dan tidak ada diskriminasi. Yang jelas, di akhir pendidikan mereka punya utang yang akan dicicil saat bekerja.

Bagaimana di negeri ini? Peta berbeda, penghasilan dokter begitu beragam. Namun, sebagian besar dokter di negeri ini berpenghasilan rendah. Adakah bank yang mau meminjamkan uang pada profesi yang tak jelas masa depannya? Apa solusinya?

Perlu diperjelas dulu penggunaan istilah. Satu barang dengan merek, spesifikasi, dan kualitas sama mungkin harganya berbeda di tempat lain. Di tempat yang harganya lebih tinggi, kita sebut mahal (expensive). Bagaimana bila sudah di tempat termurah, tetapi uang tetap tidak cukup? Tidak bisa kita sebut barang itu mahal, tapi "tak terbeli" atau unaffordable.

Ada pula perbedaan fundamental. Persoalan "mahal" terletak di sisi penjual, bila ada inefisiensi proses produksi dan mematok keuntungan lebih. Berbeda dengan istilah "tak terbeli", persoalannya terletak sepenuhnya pada ketidakmampuan di sisi pembeli. Pertanyaannya, pendidikan dokter di Indonesia mahal atau tak terbeli?

Yang berbahaya, bila kita hanya mampu melihat nominal harga tanpa pernah bisa mengukur kualitas. Mengukur satu barang yang terpegang tangan tentu lebih mudah. Tetapi, bagaimana mengukur produk pendidikan? Apalagi produk profesi yang langsung menyangkut nyawa manusia. 

Sebuah rumus dasar, kualitas produk apa pun ditentukan oleh tiga faktor: Pertama, kualitas bahan, dalam hal ini kualitas manusia, mahasiswa si calon dokter. Kedua, kualitas dapur, rumah sakit pendidikan. Ketiga, kualitas dan kesungguhan koki (para dokter dan profesor pengajar) dalam menghasilkan dokter yang terbaik. Benar, pendidikan dokter sangat kompleks. Namun, kolegium dan fakultas kedokteran negeri telah membuat resep dan cara menghasilkan dokter yang bermutu. 

Namun, bagaimanapun resep itu dibuat, kualitas produk tidak bisa lepas dari ketiga faktor tadi: bahan, dapur, dan kokinya. Bila kita menginginkan produk dokter berkualitas global, tentu ketiga faktor tadi pun harus berkualitas global. Dan, untuk mengukur kualitas global (dapur, koki, dan produknya) tak dapat lagi kita menggunakan ukuran lokal. 

Big Mac Index 

Warren Widmann, dokter ahli bedah terkemuka di AS, bingung. Saat dia kali pertama menjadi mahasiswa FK Yale University, awal 60-an, biaya kuliah (tuition fee) hanya USD 650 per tahun. Mengapa kini mahasiswa harus membayar biaya kuliah USD 42.350 per tahun plus uang buku dan praktikum USD 25.000 dan biaya hidup USD 8.000 per tahun? Apa yang membuatnya mahal? Jawabannya jelas, teknologi kedokteran berkembang amat pesat, lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan teknologi umum. Juga, training staf harus terus-menerus dilakukan untuk mengikuti perkembangan teknologi. Hukumnya wajib atau mereka akan tertinggal dan terlindas zaman. 

Menurut dr Djoko Santoso, pembantu dekan FK Unair (Jawa Pos, 28 Februari 2013) biaya pendidikan dokter di Indonesia: uang kuliah Rp 15 juta plus subsidi Rp 20 juta = Rp 35 juta = USD 3.821 per tahun. Sedangkan biaya pendidikan dokter di FK pemerintah di AS rata-rata USD 32.500 per tahun (AAMC, 2012, www.aamc.org/FIRST). 

Apakah bisa kita simpulkan biaya pendidikan kedokteran di Indonesia 11,8 persen dari AS? Big Mac Index akan membuat perbandingan nilai produk dan uang menjadi lebih padan. Bila biaya pendidikan dokter dikonversi ke harga Big Mac di Restoran McDonald's: Uang sekolah di AS identik dengan harga 7.718 Big Mac, sedangkan di Indonesia hanya dapat membeli 1.553 Big Mac. Artinya, harga pendidikan dokter di Indonesia hanya 1/4 dari AS, masih sangat rendah. 

Dengan harga yang serendah itu, bisakah kita berharap kualitas dokter kita akan sama? Kemungkinan yang terjadi: Pertama, sistem pendidikan dokter di Indonesia begitu efisien, sehingga mampu menghasilkan dokter setara AS dengan biaya seperempat saja. Atau, kualitas pendidikan dokter kita memang jauh tertinggal. 

Lantas apa solusinya? Segera benchmarking, tapi sebaiknya ke Kuba, jangan ke AS. Mengapa? Pendidikan kedokteran di Kuba tampaknya lebih baik. Buktinya, indeks kesehatan rakyat Kuba lebih baik daripada rakyat AS dengan biaya jauh lebih murah dan pendidikan dokternya pun gratis! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar