Rabu, 20 Maret 2013

Ketika Bawang Mendongkrak Inflasi


Ketika Bawang Mendongkrak Inflasi
Rahmat Pramulya  ;  Dosen dan Peneliti di Fakultas Pertanian,
Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat
SUARA KARYA, 20 Maret 2013


Bawang adalah komoditas maha penting bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Namun kini, komoditas tersebut telah menjadi barang elitis yang sulit dijangkau. Dari beberapa daerah dilaporkan bahwa kenaikan harga bawang merah maupun bawang putih telah memicu inflasi. Di Jawa Timur, inflasi tembus 1,03 persen. Bawang putih menyumbang 70% inflasi tersebut. Di Banyumas, bawang merah menyumbang kenaikan inflasi sebesar 0,12%, dan bawang putih 0,03%. Bahkan di Manado, kenaikan inflasi akibat melambungnya harga bawang putih mencapai 1,30%.

Untuk kasus bawang merah, kian menyempitnya lahan pertanian akibat desakan penduduk yang membutuhkan permukiman yang disertai laju konversi lahan pertanian ke non pertanian adalah faktor penting yang tak bisa diabaikan begitu saja. Di Indonesia, laju konversi lahan ini mencapai 1,5% atau sekitar 400.000 hektar per tahun. Tak hanya soal konversi lahan, pertanian Indonesia didera sejumlah persoalan, mulai dari ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, sumberdaya air, status kepemilikan lahan, lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan, terbatasnya akses petani terhadap modal, hingga belum terpadunya antarsektor dalam pelaksanaan pembangunan pertanian. Untuk itulah sebagai solusi jangka panjang, pemerintah harus fokus membangun sektor pertanian dan sektor industri berbasis pertanian. Mengapa?

Kita ambil contoh kasus bawang merah. Kejayaan harga bawang merah saat ini ternyata tidak berimbas pada kenaikan harga di tingkat petani. Ini ada apa? Setelah ditelisik ternyata keuntungan terbesar justru dinikmati pedagang hingga bisa melebihi 30%, sedangkan para petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan. Kita tahu, dalam tata niaga yang menikmati harga berlipat-lipat adalah pedagang. Tidak adanya pengawasan yang baik oleh pemerintah menjadikan banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar. Untuk itu, tata niaga adalah hal yang harus dibenahi. 

Mestinya ada upaya pemerintah untuk memperkuat kelembagaan petani.
Selama ini pemerintah tampak lemah dalam soal-soal demikian. Sepertinya untuk urusan peningkatan produksi, kebijakan pemerintah lebih dominan. Tak heran jika kemudian pemerintah begitu all out, bahkan bisa dibilang 'ngoyo' dan mati-matian untuk mengejar target-target peningkatan produksi.

Tak sedikit kalangan yang kemudian menyimpulkan bahwa pemerintah sengaja mengejar target-target produksi tersebut karena ada kepentingan untuk menjaga citra kinerja pemerintah. Syukur-syukur ketika predikat swasembada bisa diraih, tentu akan meningkatkan citra pemerintah baik di mata publik dalam negeri maupun dunia internasional. Apalagi, kalau berhasil melakukan ekspor, tentu nama pemerintah akan harum lantaran tercatat prestasinya dalam menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.

Sementara soal distribusi dan konsumsi, langkah-langkah strategis pemerintah kurang begitu terasa. Padahal, kita tahu tak mudah menjamin distribusi pangan yang adil. Di sini sangat dibutuhkan sentuhan berbagai kebijakan di antaranya soal harga. Agar setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pangan, maka politik pangan negara mestinya mengarah bagaimana pangan itu bisa murah.

Bawang misalnya, punya sifat mudah busuk. Di sinilah peran pemerintah memberikan fasilitas distribusi yang mampu menjaga bawang tetap segar sampai ke pembeli. Penanganan pasca panen perlu dibenahi di sejumlah sentra produksi agar produk tidak mudah rusak (busuk). Jika kualitas masih terjaga, harga di tingkat petani akan tinggi sehingga mereka diuntungkan.

Karya-karya berharga dari anak negeri tidaklah sedikit. Sayangnya, hingga kini belum terdengar pemanfaatan hasil penelitian tersebut secara nyata di masyarakat. Agar dapat memberikan penyelesaian mahalnya harga komoditas pangan dan memberikan efek kesejahteraan bagi petani, mestinya pemerintah segera menyusun kebijakan bagaimana sistem pemanfaatan berbagai teknologi unggul (varietas, pengolahan, dan lain-lain) temuan peneliti-peneliti kita dalam menjawab permasalahan cabai di Tanah Air.

Penelitian yang telah susah payah dilakukan, tentu dengan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar seolah 'mandul' dalam menjawab problem-problem pertanian kita. Masih tampak lemah upaya pemerintah untuk meng-introdusir hasil-hasil penelitian yang ada ke petani-petani di berbagai daerah. Pada hakikatnya, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, mestinya pemerintah segera melakukan langkah-langkah pemanfaatan iptek untuk tujuan-tujuan kesejahteraan rakyat.

Sementara untuk kasus bawang putih, sebelum pemerintah berhasil menjaga stok, sebaiknya impor tidak dibatasi. Pemerintah bermaksud membatasi kuota impor agar menjadi insentif pendukung swasembada. Tampaknya kebijakan yang pro rakyat. Namun harus dipahami masyarakat bahwa bawang putih adalah tanaman yang bisa tumbuh bagus di dataran tinggi. Tidak semua tempat cocok untuk menanam bawang putih.

Memang kebijakan untuk mewujudkan swasembada harus dilakukan, namun bila dilakukan tanpa menyiapkan diri tentu akan berakibat fatal pada banyak aspek kehidupan masyarakat. Akibat langka dan mahalnya bawang, ibu-ibu menjerit karena uang belanjanya makin tak mencukupi, para pedagang kesulitan menyediakan barang dagangan dan keuntungannya menipis.

Kepemimpinan yang tidak efektif merupakan salah satu sebab mengapa Indonesia tak jua memiliki sistem manajemen pangan yang handal. Para pemimpin negeri ini seharusnya bisa merancang sistem yang handal demi menopang stabilitas pangan nasional. Masalah pangan seharusnya tidak diletakkan pada pasar global, tetapi pada kemampuan rakyat suatu negara. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar