Bawang adalah komoditas maha
penting bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Namun kini, komoditas tersebut
telah menjadi barang elitis yang sulit dijangkau. Dari beberapa daerah
dilaporkan bahwa kenaikan harga bawang merah maupun bawang putih telah
memicu inflasi. Di Jawa Timur, inflasi tembus 1,03 persen. Bawang putih
menyumbang 70% inflasi tersebut. Di Banyumas, bawang merah menyumbang
kenaikan inflasi sebesar 0,12%, dan bawang putih 0,03%. Bahkan di Manado,
kenaikan inflasi akibat melambungnya harga bawang putih mencapai 1,30%.
Untuk kasus bawang merah, kian
menyempitnya lahan pertanian akibat desakan penduduk yang membutuhkan
permukiman yang disertai laju konversi lahan pertanian ke non pertanian
adalah faktor penting yang tak bisa diabaikan begitu saja. Di Indonesia,
laju konversi lahan ini mencapai 1,5% atau sekitar 400.000 hektar per
tahun. Tak hanya soal konversi lahan, pertanian Indonesia didera sejumlah
persoalan, mulai dari ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana,
sumberdaya air, status kepemilikan lahan, lemahnya sistem perbenihan dan
perbibitan, terbatasnya akses petani terhadap modal, hingga belum
terpadunya antarsektor dalam pelaksanaan pembangunan pertanian. Untuk
itulah sebagai solusi jangka panjang, pemerintah harus fokus membangun
sektor pertanian dan sektor industri berbasis pertanian. Mengapa?
Kita ambil contoh kasus bawang
merah. Kejayaan harga bawang merah saat ini ternyata tidak berimbas pada
kenaikan harga di tingkat petani. Ini ada apa? Setelah ditelisik ternyata
keuntungan terbesar justru dinikmati pedagang hingga bisa melebihi 30%,
sedangkan para petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan. Kita tahu,
dalam tata niaga yang menikmati harga berlipat-lipat adalah pedagang. Tidak
adanya pengawasan yang baik oleh pemerintah menjadikan banyak pasar komoditas
mematok harga melewati batas wajar. Untuk itu, tata niaga adalah hal yang
harus dibenahi.
Mestinya ada upaya pemerintah untuk memperkuat kelembagaan
petani.
Selama ini pemerintah tampak
lemah dalam soal-soal demikian. Sepertinya untuk urusan peningkatan
produksi, kebijakan pemerintah lebih dominan. Tak heran jika kemudian
pemerintah begitu all out, bahkan bisa dibilang 'ngoyo' dan mati-matian
untuk mengejar target-target peningkatan produksi.
Tak sedikit kalangan yang
kemudian menyimpulkan bahwa pemerintah sengaja mengejar target-target
produksi tersebut karena ada kepentingan untuk menjaga citra kinerja
pemerintah. Syukur-syukur ketika predikat swasembada bisa diraih, tentu
akan meningkatkan citra pemerintah baik di mata publik dalam negeri maupun
dunia internasional. Apalagi, kalau berhasil melakukan ekspor, tentu nama
pemerintah akan harum lantaran tercatat prestasinya dalam menjadikan
Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Sementara soal distribusi dan
konsumsi, langkah-langkah strategis pemerintah kurang begitu terasa.
Padahal, kita tahu tak mudah menjamin distribusi pangan yang adil. Di sini
sangat dibutuhkan sentuhan berbagai kebijakan di antaranya soal harga. Agar
setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pangan, maka politik pangan
negara mestinya mengarah bagaimana pangan itu bisa murah.
Bawang misalnya, punya sifat
mudah busuk. Di sinilah peran pemerintah memberikan fasilitas distribusi
yang mampu menjaga bawang tetap segar sampai ke pembeli. Penanganan pasca
panen perlu dibenahi di sejumlah sentra produksi agar produk tidak mudah
rusak (busuk). Jika kualitas masih terjaga, harga di tingkat petani akan
tinggi sehingga mereka diuntungkan.
Karya-karya berharga dari anak
negeri tidaklah sedikit. Sayangnya, hingga kini belum terdengar pemanfaatan
hasil penelitian tersebut secara nyata di masyarakat. Agar dapat memberikan
penyelesaian mahalnya harga komoditas pangan dan memberikan efek
kesejahteraan bagi petani, mestinya pemerintah segera menyusun kebijakan
bagaimana sistem pemanfaatan berbagai teknologi unggul (varietas,
pengolahan, dan lain-lain) temuan peneliti-peneliti kita dalam menjawab
permasalahan cabai di Tanah Air.
Penelitian yang telah susah
payah dilakukan, tentu dengan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang tidak
sebentar seolah 'mandul' dalam menjawab problem-problem pertanian kita.
Masih tampak lemah upaya pemerintah untuk meng-introdusir hasil-hasil
penelitian yang ada ke petani-petani di berbagai daerah. Pada hakikatnya,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, mestinya pemerintah
segera melakukan langkah-langkah pemanfaatan iptek untuk tujuan-tujuan
kesejahteraan rakyat.
Sementara untuk kasus bawang
putih, sebelum pemerintah berhasil menjaga stok, sebaiknya impor tidak
dibatasi. Pemerintah bermaksud membatasi kuota impor agar menjadi insentif
pendukung swasembada. Tampaknya kebijakan yang pro rakyat. Namun harus
dipahami masyarakat bahwa bawang putih adalah tanaman yang bisa tumbuh
bagus di dataran tinggi. Tidak semua tempat cocok untuk menanam bawang
putih.
Memang kebijakan untuk
mewujudkan swasembada harus dilakukan, namun bila dilakukan tanpa
menyiapkan diri tentu akan berakibat fatal pada banyak aspek kehidupan
masyarakat. Akibat langka dan mahalnya bawang, ibu-ibu menjerit karena uang
belanjanya makin tak mencukupi, para pedagang kesulitan menyediakan barang
dagangan dan keuntungannya menipis.
Kepemimpinan yang tidak
efektif merupakan salah satu sebab mengapa Indonesia tak jua memiliki
sistem manajemen pangan yang handal. Para pemimpin negeri ini seharusnya
bisa merancang sistem yang handal demi menopang stabilitas pangan nasional.
Masalah pangan seharusnya tidak diletakkan pada pasar global, tetapi pada
kemampuan rakyat suatu negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar