Jika tidak ada aral melintang,
tanggal 25 Maret 2013 ini, akan dilakukan uji kelayakan dan kepatutan calon
Gubernur Bank Indonesia (BI) yang baru, sebagai pengganti Darmin Nasution
yang segera habis masa tugasnya. Hanya ada satu calon yang diajukan
Presiden, yakni Menteri Keuangan Agus DW Martowardoyo. Jika tidak ada
rintangan berarti, pada tanggal 26 Maret 2013 kita sudah akan memiliki
Gubernur BI yang baru, yang notabene merupakan seorang bankir tulen, yang
sebagian besar kariernya dihabiskan di perbankan umum. Saatnya seorang
bankir memimpin BI-Satu. Demikian harapan banyak pihak.
Sayangnya, selama ini
pemilihan petinggi BI sangat sarat dengan masalah politis. Mencuatnya kasus
cek pelawat (traveller cheque)
pada pemilihan Deputy Gubernur Senior BI Miranda Goultom, setidaknya
membutkikan betapa pemilihan petinggi BI senantiasa sarat dengan politisasi.
Juga, pengalaman penolakan bankir Agus Martowardoyo pada pemilihan Gubernur
BI sebelumnya, membuktikan premis ini. Oleh sebab itu, pemilihan Gubernur
Bank Indonesia kali ini hendaknya dijadikan momentum untuk menghentikan
politisasi atas bank sentral. Komitmen yang kuat dari para kandidat dan
anggota Komisi XI DPR sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut.
Di tengah upaya membersihkan
pemerintah dari unsur korupsi dan sejenisnya (termasuk politisasi dalam
banyak bidang kehidupan berbangsa dan bernegara), maka alangkah baiknya
jika kalangan parlemen dan jajaran BI tidak menjadikan pemilihan petinggi
BI sebagai ajang transaksional. Saatnya para anggota dewan yang terhormat
menolak untuk diperalat oleh para pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.
Biasanya, si penyuap ini memiliki kepentingan dengan BI, atau pernah utang
budi dengan salah satu calon petinggi BI.
Dari beberapa kasus yang
mengemuka, yang terkait dengan politisasi bank sentral, utamanya dalam
ajang pemilihan para petingginya, minimal ada beberapa sumber.
Pertama, sumber dari konflik
internal BI keluar dari lembaga BI, khususnya ke pihak DPR atau ke lembaga
lain di luar BI. Sebab, jika masalah internal BI dibawa keluar, maka akan
ada intervensi dari para pihak yang memiliki kepentingan dengan BI. Dengan
melaporkan masalah internal BI ke pihak luar, maka pihak luar berpotensi
untuk 'mengobok-obok' masalah internal BI. Bahkan, ajang fit and proper test, bisa dijadikan
ajang untuk menolak dan menerima calon, tanpa melihat kompetensi yang
bersangkutan.
Sumber potensi kedua adalah
kelemahan pengawasan bank oleh BI. Pengawasan BI yang dianggap lemah dan
kemudian memunculkan skandal keuangan Century, misalnya, menjadikan BI ikut
terkena getahnya. BI sebagai sebagai lembaga yang independen dan berwibawa
menjadi ajang bulan-bulanan kalangan politisi Senayan. Oleh sebab itu,
untuk menghentikan politisasi semacam ini, jajaran BI harus mampu menutup
semua titik dan lubang kelemahan dalam pengawasan bank. Para pengawas bank
harus tegas mengungkap masalah dalam bank yang diawasi dan tegas menerapkan
sanksi-sanksinya. Kalau masalah semacam ini dilakukan, niscaya tidak ada
lagi area abu-abu yang sering dijadikan sasaran tembak para politisi.
Masalah lain yang perlu
dilakukan adalah melakukan komunikasi politik antara Presiden dengan
parlemen, khususnya Komisi XI. Mekanisme tersebut diperlukan agar pemilihan
calon pejabat BI-1, bisa berlangsung secara objektif sekaligus
menghilangkan praktik politisasi. Selain itu, pengungkapan kriteria dan
alasan pemilihan juga akan membuat pihak yang memilih, yakni Presiden dan
DPR, akan memiliki tanggung jawab terhadap pilihannya itu. Tidak bisa asal
main comot, dan sekadar mendengarkan bisikan dari para asistennya, yang
mungkin memiliki agenda politik tertentu, yang sulit terendus. Dalam
konteks ini, alasan Presiden dalam mengajukan calonnya harus jelas, yakni
mereka mampu membawa BI ke depan semakin lebih kuat, transparan dan tidak
gampang diintervensi siapa pun.
Oleh sebab itu, tradisi
keterbukaan (komunikasi) sebaiknya sejak awal harus mulai dilakukan. Hal
ini memang tidak lazim. Namun, tidak ada salahnya perlu dicoba dalam
pemilihan Gubernur BI, kali ini. Pengajuan nama kandidat harus disertai
dengan sejumlah alasan dan argumen pendukung, jangan sangat minimalis
argumennya. Seharusnya, Presiden bersedia memberi penjelasan atas penetapan
nama-nama yang dikirim ke DPR. Tentunya, kriteria yang itu tidak jauh dari
tiga tugas utama yang diemban BI, yakni sebagai panglima yang menjaga
stabilitas moneter (angka inflasi dan stabilitas nilai tukar), makro
prudensialasan perbankan, serta menjaga sistem pembayaran nasional.
Nah, apabila kriteria yang ada
dibuka secara publik dan didiskusikan maka, baik Presiden maupun DPR tidak
bisa asal main comot nama tertentu dan kemudian memilih dan menjadikannya
sebagai orang nomor satu di BI. Jika mekanisme semacam ini dilakukan,
niscaya ruang dan koridor politisasi terhadap pemilihan BI-Satu akan dapat
dihindari. Jelas, masa depan BI dengan tantangan ekonomi global yang tidak
ringan, membutuhkan figur yang benar-benar mumpuni untuk menahkodai kapal
besar BI, yang memiliki fungsi sangat strategis dalam perekonomian sebuah
negara.
Berdasarkan pertimbangan
tersebut, tak selayaknya calon-calon yang diajukan Presiden memiliki vested interest dengan pihak mana
pun, apalagi berdasarkan pertimbangan politik semata. Unsur kolusi, korupsi
dan nepotisme (KKN) harus dihindari sejak awal. Calon pun harus mampu
bersinergi dengan pembuat kebijakan fiskal dan juga dengan lembaga baru
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Memang tidak mudah menemukan figur semacam
itu. Mudah-mudahan Agus DW Marto merupakan orang yang pas untuk mengisi
jabatan itu. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar