Rabu, 20 Maret 2013

Momentum Menyetop Politisasi BI


Momentum Menyetop Politisasi BI
Susidarto  ;  Praktisi Perbankan
SUARA KARYA, 20 Maret 2013


Jika tidak ada aral melintang, tanggal 25 Maret 2013 ini, akan dilakukan uji kelayakan dan kepatutan calon Gubernur Bank Indonesia (BI) yang baru, sebagai pengganti Darmin Nasution yang segera habis masa tugasnya. Hanya ada satu calon yang diajukan Presiden, yakni Menteri Keuangan Agus DW Martowardoyo. Jika tidak ada rintangan berarti, pada tanggal 26 Maret 2013 kita sudah akan memiliki Gubernur BI yang baru, yang notabene merupakan seorang bankir tulen, yang sebagian besar kariernya dihabiskan di perbankan umum. Saatnya seorang bankir memimpin BI-Satu. Demikian harapan banyak pihak.

Sayangnya, selama ini pemilihan petinggi BI sangat sarat dengan masalah politis. Mencuatnya kasus cek pelawat (traveller cheque) pada pemilihan Deputy Gubernur Senior BI Miranda Goultom, setidaknya membutkikan betapa pemilihan petinggi BI senantiasa sarat dengan politisasi. Juga, pengalaman penolakan bankir Agus Martowardoyo pada pemilihan Gubernur BI sebelumnya, membuktikan premis ini. Oleh sebab itu, pemilihan Gubernur Bank Indonesia kali ini hendaknya dijadikan momentum untuk menghentikan politisasi atas bank sentral. Komitmen yang kuat dari para kandidat dan anggota Komisi XI DPR sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut.

Di tengah upaya membersihkan pemerintah dari unsur korupsi dan sejenisnya (termasuk politisasi dalam banyak bidang kehidupan berbangsa dan bernegara), maka alangkah baiknya jika kalangan parlemen dan jajaran BI tidak menjadikan pemilihan petinggi BI sebagai ajang transaksional. Saatnya para anggota dewan yang terhormat menolak untuk diperalat oleh para pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab. Biasanya, si penyuap ini memiliki kepentingan dengan BI, atau pernah utang budi dengan salah satu calon petinggi BI.

Dari beberapa kasus yang mengemuka, yang terkait dengan politisasi bank sentral, utamanya dalam ajang pemilihan para petingginya, minimal ada beberapa sumber.

Pertama, sumber dari konflik internal BI keluar dari lembaga BI, khususnya ke pihak DPR atau ke lembaga lain di luar BI. Sebab, jika masalah internal BI dibawa keluar, maka akan ada intervensi dari para pihak yang memiliki kepentingan dengan BI. Dengan melaporkan masalah internal BI ke pihak luar, maka pihak luar berpotensi untuk 'mengobok-obok' masalah internal BI. Bahkan, ajang fit and proper test, bisa dijadikan ajang untuk menolak dan menerima calon, tanpa melihat kompetensi yang bersangkutan.

Sumber potensi kedua adalah kelemahan pengawasan bank oleh BI. Pengawasan BI yang dianggap lemah dan kemudian memunculkan skandal keuangan Century, misalnya, menjadikan BI ikut terkena getahnya. BI sebagai sebagai lembaga yang independen dan berwibawa menjadi ajang bulan-bulanan kalangan politisi Senayan. Oleh sebab itu, untuk menghentikan politisasi semacam ini, jajaran BI harus mampu menutup semua titik dan lubang kelemahan dalam pengawasan bank. Para pengawas bank harus tegas mengungkap masalah dalam bank yang diawasi dan tegas menerapkan sanksi-sanksinya. Kalau masalah semacam ini dilakukan, niscaya tidak ada lagi area abu-abu yang sering dijadikan sasaran tembak para politisi.

Masalah lain yang perlu dilakukan adalah melakukan komunikasi politik antara Presiden dengan parlemen, khususnya Komisi XI. Mekanisme tersebut diperlukan agar pemilihan calon pejabat BI-1, bisa berlangsung secara objektif sekaligus menghilangkan praktik politisasi. Selain itu, pengungkapan kriteria dan alasan pemilihan juga akan membuat pihak yang memilih, yakni Presiden dan DPR, akan memiliki tanggung jawab terhadap pilihannya itu. Tidak bisa asal main comot, dan sekadar mendengarkan bisikan dari para asistennya, yang mungkin memiliki agenda politik tertentu, yang sulit terendus. Dalam konteks ini, alasan Presiden dalam mengajukan calonnya harus jelas, yakni mereka mampu membawa BI ke depan semakin lebih kuat, transparan dan tidak gampang diintervensi siapa pun.

Oleh sebab itu, tradisi keterbukaan (komunikasi) sebaiknya sejak awal harus mulai dilakukan. Hal ini memang tidak lazim. Namun, tidak ada salahnya perlu dicoba dalam pemilihan Gubernur BI, kali ini. Pengajuan nama kandidat harus disertai dengan sejumlah alasan dan argumen pendukung, jangan sangat minimalis argumennya. Seharusnya, Presiden bersedia memberi penjelasan atas penetapan nama-nama yang dikirim ke DPR. Tentunya, kriteria yang itu tidak jauh dari tiga tugas utama yang diemban BI, yakni sebagai panglima yang menjaga stabilitas moneter (angka inflasi dan stabilitas nilai tukar), makro prudensialasan perbankan, serta menjaga sistem pembayaran nasional.

Nah, apabila kriteria yang ada dibuka secara publik dan didiskusikan maka, baik Presiden maupun DPR tidak bisa asal main comot nama tertentu dan kemudian memilih dan menjadikannya sebagai orang nomor satu di BI. Jika mekanisme semacam ini dilakukan, niscaya ruang dan koridor politisasi terhadap pemilihan BI-Satu akan dapat dihindari. Jelas, masa depan BI dengan tantangan ekonomi global yang tidak ringan, membutuhkan figur yang benar-benar mumpuni untuk menahkodai kapal besar BI, yang memiliki fungsi sangat strategis dalam perekonomian sebuah negara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, tak selayaknya calon-calon yang diajukan Presiden memiliki vested interest dengan pihak mana pun, apalagi berdasarkan pertimbangan politik semata. Unsur kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) harus dihindari sejak awal. Calon pun harus mampu bersinergi dengan pembuat kebijakan fiskal dan juga dengan lembaga baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Memang tidak mudah menemukan figur semacam itu. Mudah-mudahan Agus DW Marto merupakan orang yang pas untuk mengisi jabatan itu. Semoga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar