Selasa, 05 Maret 2013

Menguji Hipotesis Sistemis Century


Menguji Hipotesis Sistemis Century
Effnu Subiyanto ;  Kandidat Doktor Ekonomi Unair,
Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik
MEDIA INDONESIA, 05 Maret 2013


HIPOTESIS ekonomi sistemis Bank Century memasuki babak baru pasca-'ancaman' Anas Urbaningrum pada 23 Februari 2013. Untuk mahasiswa ekonomi pada tataran teoretis, hipotesis tersebut sebetulnya sangat menarik karena masih ada pro dan kontra di antara keduanya. Satu pihak percaya karena pendekatan jurnal dan buku, sedangkan sebagian lain berpendapat term sistemis sebetulnya hanya justifikasi akademik agar sebuah fenomena memiliki landasan knowledge dan legitimated.

Pascapenetapan dua tersangka kasus Bank Century (19/11/2012) oleh KPK, yakni mantan pejabat teras Bank Indonesia Budi Mulya (BM) yang merupakan mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Moneter Devisa dan Siti Chalimah Fadjrijah (SCF) yang mantan Deputi Bidang V Pengawasan (belakangan KPK mengatakan SCF belum ditetapkan sebagai tersangka), progres penyelesaian kasus Bank Century itu berjalan lambat. Penetapan tersangka tersebut menggenapi lebih dari tiga tahun penyidikan sejak 8 Desember 2009 setelah lebih dari 150 orang diperiksa.

Wacana kriminalisasi pembuat kebijakan itu menarik dibahas karena berbeda-beda tafsir hukum antara pakar yang satu dan yang lain. Pada soal skandal Bank Century, pembuat kebijakan--kini dimunculkan wacana bahwa tidak tertutup kemungkinan menurut pendapat jampidsus--dapat dikenai tuntutan.

Dengan catatan, itu apabila terbukti peraturan BI dengan mudah diubah-ubah semata-mata digunakan untuk tujuan menyelamatkan Bank Century. Untuk memperoleh FPJP, PBI Nomor 10/26/PBI/2008 dengan prasyarat utama minimal CAR 8% belakangan diubah menjadi PBI Nomor 10/30/PBI/2008 dengan CAR positif. Persoalannya, bagaimana memaksakan kesimpulan sebuah hipotesis bahwa perubahan PBI itu didesain untuk masalah tersebut?

Belum Rugi

Persoalannya, jika plinplan soal penentuan CAR menjadi sumber keberatan, sejatinya masih sangat prematur untuk menyebut itu melanggar UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia, yang memberikan otoritas penuh kepada BI sebagai pihak independen untuk leluasa mengubah PBI. Artinya BI boleh menetapkan perundang-undangan sendiri untuk menjalankan fungsi secara maksimal. Karena itu, sulit mengatakan PBI No 10/30/ PBI/2008 melanggar UU. Justru karena terjadinya krisis itulah PBI tersebut lahir untuk antisipasi dampak sistemis. Jika BI tetap menggunakan batas CAR 8%, bisa jadi dampaknya lebih buruk dan benar-benar menimbulkan keresahan sistemis.

Dari sisi tersebut, syarat untuk memidanakan policy maker jelas belum terpenuhi, bagaimana peluangnya dari sisi merugikan keuangan negara?

Unsur kerugian negara bisa dibuktikan apabila sudah jelas terjadi risiko. Misalnya Bank Century dinyatakan bangkrut dan kemudian harus membayar kewajiban. Jika negara, dari bailout tersebut, telah mengeluarkan Rp6,7 triliun dan mendapatkan Rp678,5 miliar, itu baru benar-benar disebut rugi.

Namun jika Bank Century belum tutup dan belum tutup dan kini bermetamorfosis menjadi Bank Mutiara, artinya negara belum benarbenar rugi. Jika melihat hal itu, masih sangat jauh bahwa policy maker Bank Century akan bisa dipidanakan.

Inilah yang menyebabkan di akhir 2011, hasil audit forensik BPK menyimpulkan tidak ditemukan indikasi merugikan negara pada kasus Century. Tim inisiator Hak Angket Bank Century DPR hilang kesabaran dan mengusulkan agar audit internasional berkualifikasi certified fraud examiner (CFE) diturunkan un tuk mengganti BPK.

Ada pertanyaan mendasar dalam hal ini yang harus dijawab panitia angket Bank Century, bagaimana kriteria hasil audit yang benar? Apakah hasil audit yang tidak sesuai dengan ekspektasi panitia angket dapat dikatakan salah kendati dengan metodologi yang benar? Jika hasil investasi pansus DPR yang live itu sudah menyimpulkan pendapat politis, mengapa harus dengan BPK?

Nuansa Politik

Arah penyelesaian dugaan patgulipat dana Rp 6,7 triliun Bank Century sepertinya mengikuti arus ombak di lautan dan selera politik. Variabel eksternal yang masuk pusaran itu begitu kompleks karena bertepatan dengan ketakutan krisis global 2008 seperti endemi 1997. Celakanya, Indonesia sedang dalam masa persiapan pemilu yang tentu saja sangat membutuhkan uang. Masamasa ketidakstabilan politik ini sebenarnya sangat mudah terekspos langsung dengan korupsi (Mironov, 2011).

Benang merahnya sebetulnya terlihat, ada orang genius yang memanfaatkan masa-masa transisi itu, memanfaatkan variabel eksternal untuk memutar mesin variabel internal. Dampaknya ialah moral hazard luar biasa karena hasilnya justifikasi dari sebuah fenomena atau hipotesis. Dengan kondisi seperti itu, sangat sukar berharap akan dapat mengurai behind the scene yang sebenarnya, bahkan lewat auditor terpintar sekalipun.

Namun apakah itu bisa diusut? Beberapa pengalaman empiris menunjukkan para white scholar itu dapat dijerat sistem hukum yang tegas. Namun sebaliknya, juga tidak bisa karena atas pertimbangan politik. Fakta yang bisa dipidanakan terjadi di Korea Selatan, sedangkan yang tidak bisa di Amerika Serikat.

Pada Januari 2010 di Korea Selatan, pengadilan tinggi Seoul menjatuhkan hukuman penjara lima tahun dan denda 150 juta won kepada Byeon Yang-ho atas tuduhan penyuapan. Byeon ialah Dirjen Kementerian Keuangan dan Ekonomi Korea Selatan ketika itu.

Kasus tersebut sebetulnya terjadi pada 2001-2002. Pejabat berusia 55 tahun itu dituduh menerima suap dari Kim Donghun, kepala sebuah firma keuangan lokal, dalam upaya menghapus catatan utang Wia dan Aju Metal. Wia merupakan afiliasi dari Hyundai Automotive, sedangkan Aju Metal subkontraktor Wia.

Penyuapan Kim merajalela, sampai kepada Deputi Gubernur Korea Development Bank (KDB) Park Sang-bae dan CEO of KDB Capital Rhee Sung-kun. Masing-masing, menurut pengakuan Kim, mendapat bagian 1,4 juta won dan 100 juta won. Kisah pemidanaan pembuat kebijakan itu mengisyaratkan policy maker tidak memiliki imunitas hukum.

Berbeda dengan Amerika Serikat, Kongres tampaknya belum berniat memenjarakan Alan Greenspan karena kesalahan dalam mengambil kebijakan ketika menjadi gubernur bank sentral. Analis keuangan AS menyebut krisis yang dimotori subprime mortgage 2007 itu sebagai dampak dari kebijakan suku bunga yang terlampau rendah dari 2003 sampai 2005 (Newsweek, 2010). Booming real estat ketika itu mengakibatkan inflasi sangat tinggi karena melajunya keberanian berutang.

Kalau Greenspan masih menghirup udara segar, sebaliknya Presiden Barack Obama harus melayani pertanyaan anggota Kongres terkait dengan masalah bailout ketika krisis 2007 itu. Pertanyaan kebijakan bailout itu muncul pertama kali dalam peringatan setahun kebangkrutan Lehman Brothers. 

Apa alasan utama pemerintahan Obama tidak menolong Lehman? Mengapa bank dan lembaga keuangan lainnya seperti Bear Stearns, Citigroup, dan AIG diselamatkan, sedangkan Lehman dibiar kan bangkrut? Kucuran bailout kepada AIG US$85 miliar bahkan dilakukan bersamaan dengan kolapsnya Lehman pada 15 September 2008. Bagaimana Obama mendefinisikan bank yang berpotensi menimbulkan risiko sistemis dan tidak sistemis?

Kongres mempertanyakan karena sampai dengan saat ini, rakyat AS yang merupakan pembayar pajak masih menerka-nerka pertimbangan spesifik apa yang mendasari keputusan itu. Pembiaran tersebut akan menimbulkan polemik dan akan terus menjadi catatan bagi pemerintahan Obama. Nilai plus Obama ialah kebijakan bailout tidak untuk menyelamatkan manajemen AIG, Freddie Mac atau Fannie Mae, tetapi untuk menyelamatkan shareholder-nya.

Sampai dengan setahun insiden Lehman, Kongres belum menyadari hal itu kecuali meyakini sebagai contingency pemerintah dalam situasi darurat. Namun ketika Vern McKinley, mantan staf Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC atau LPS di Indonesia), melayangkan gugatan, isu itu akhirnya membangunkan kekritisan publik.

Melalui Federal of Information Act (FOIA) Desember 2009, McKinley mengirimkan gugatan kepada Bank Sentral agar dipertemukan dengan para gubernur The Fed. McKinley amat gusar mengapa gubernur Bank Sentral melakukan upaya untuk membiayai penjualan aset Bear Stearns kepada JP Morgan hanya karena hipotesis ‘sistemis’ tanpa fakta.

Situasi di Indonesia sungguh berbeda dengan keteguhan sikap Obama. Bank Century mendapat kucuran bailout negara, tapi ternyata tidak untuk melindungi nasabah mereka. Nasib ratusan nasabah Bank Century sampai kini tidak dihiraukan. Dari sisi pidana dan perdata, sisik melik Bank Century itu sebetulnya sudah memenuhi pelanggaran hukum. Tinggal sekarang kemauan KPK menuntaskannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar