Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum DPP
Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus dugaan korupsi
Hambalang. Anas diduga menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang
saat dia masih menjadi anggota DPR.
Juru
Bicara KPK Johan Budi mengatakan berdasarkan hasil gelar perkara beberapa
kali, KPK mendapatkan dua bahan bukti untuk menetapkan Anas sebagai
tersangka.
Penetapan
Anas sebagai tersangka bukan malah membuatnya letoy dan pasrah. Sebaliknya,
Anas tengah mencoba memainkan kartunya bahwa semua ini bukanlah akhir,
melainkan awal dari perjuangan untuk menyibakkan misteri kebenaran dalam
tubuh Demokrat sendiri.
Perjalanan
karier politik Anas adalah sebuah dramaturgi fantastis yang telah
mengantarkannya dari seorang zero menjadi hero dalam lanskap politik Tanah
Air dengan cepat. Bentangan tarikh kehidupan politiknya telah menempatkan
Anas sebagai a man for all seasons.
Ia betul-betul menjadi manusia untuk segala musim yang telah dilaluinya
dengan segala kelebihan, keterbatasan dan polemiknya.
Sebagai
seorang manusia pendaki, petualangan hidup Anas terbilang monumental
sehingga menjadi ikon bagi banyak pihak, terutama pada kawula muda.
Sayangnya, pada puncak perjalanannya Anas harus tergelincir karena
perangkap yang sebetulnya telah disadarinya. Saya mencermati bahwa
kapasitas Anas sebagai a man for all
seasons bisa dilihat pada kategorisasi berikut.
Pertama,
aktivis-organisatoris. Pada tahap ini, Anas bisa dibilang adalah seorang
Nurcholishian dalam konteks kepemimpinannya sebagai Ketua Umum PB Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) periode 1997-1999. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua
Umum PB HMI, Anas merupakan sosok yang baik dan mudah berkawan dengan siapa
pun. Ia bukan orang yang menciptakan musuh dan dia tidak banyak tingkah.
Sifat
demikian membuat Anas lebih menonjol dalam aspek intelektual untuk
pengaderan. Lewat bendera HMI tersebut, Anas makin bersinar sebagai seorang
figur yang cerdas dan berpenampilan kalem. Walau kalem, dalam berbagai
forum ia bisa galak. Sebagai kolomnis sejumlah media, ia juga piawai
beretorika baik lisan maupun tulisan, suatu hal yang jarang ditemukan pada
orang seusianya.
Dalam
posisinya sebagai aktivis-organisatoris, Anas merupakan model bagi banyak
aktivis. Ia mampu membuktikan bahwa seorang anak desa dengan pengalaman
aktivis, dimulai jauh sebagai organisatoris di Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS), mengalami mobilitas vertikal menyejajarkan diri dengan
tokoh-tokoh pengusung reformasi di saat masa transisi dari rezim Soeharto
hingga era reformasi.
Bila
Nurcholish Madjid lebih dikenal dengan bobot intelektualitasnya sebagai
Ketua Umum HMI pada era 1970-an, Anas justru menunjukkan kebolehannya
selaku aktivis-organisatoris sukses meletekkan HMI sebagai pemegang saham
dalam proses perubahan arah politik kebangsaan pada zamannya.
Ini
mustahil diperbuat oleh Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid,
mengingat rezim Soeharto tengah menggeliat mengibarkan sayap kekuatannya.
Ditopang peluang perubahan yang jauh lebih terbuka, boleh dikatakan bahwa
dalam konteks kepemimpinan politik Anas mendahului seniornya tersebut,
sesuatu yang bisa saja digugat banyak orang.
Kedua,
intelektual-birokratis. Pasca-HMI, bintang Anas terus bersinar. Ia terus
bergerak menelusuri wilayah-wilayah lebih luas yang pada gilirannya
mengukuhkan posisinya sebagai tokoh perubahan par excellence sehingga ia
menjadi sosok yang lebih independen. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang
intelektual-birokratis.
Dalam
level ini, selain terus disibukkan aktivitas tulis-menulis sebagai seorang
intelektual produktif, Anas juga menyumbangkan diri sebagai pengawal
hidupnya masyarakat sipil dan tegaknya pemerintahan demokratis dengan
bergabung sebagai Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum pada
3 Februari 1999 yang dikenal dengan nama Tim Sebelas dan menjadi anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada periode 2000-2007.
Kedua
peran ini dijalani Anas sebagai panggilan tugas dan ijtihadnya untuk
mengawal tumbuhnya masyarakat sipil dan terwujudnya pemerintahan yang
demokratis di Tanah Air di awal-awal reformasi.
Azranisasi
Dalam
konteks ini, tidak berlebihan bahwa Anas mengalami apa yang disebut sebagai
Azranisasi. Sebagai seorang intelektual, Anas memang masih jauh dari
kaliber seorang Azyumardi Azra yang bukan saja jauh lebih produktif dalam
berkarya, tapi juga dianggap sebagai seorang birokrat sukses dalam memimpin
dan mentransformasikan UIN Syarif Hidayatullah sebagai perguruan tinggi
Islam yang prestisius.
Keterlibatan
Anas dalam lembaga-lembaga demokrasi tersebut setelah jatuhnya Soeharto
agaknya dimaksudkan sebagai antitesis terhadap pameo umum bahwa dunia
intelektual tidak bisa bergandengan dengan ranah birokratis.
Dengan
kata lain, Anas ingin pasang badan bahwa sebagai intelektual-birokratis
ia ingin membuktikan kecakapannya menangkal lingkungan yang korup dan
penyalahgunaan wewenang. Disayangkan, tanda-tanda awal bahwa Anas mulai
terkotori oleh lingkungan politik yang becek tampak di saat ia tersandung
kasus dugaan penyelewengan dana di KPU pada saat pengunduran dirinya
sebagai anggota KPU, 8 Juni 2005.
Ketiga,
politikus 24 karat. Bisa dikatakan bahwa politikus merupakan
puncak karier Anas hingga saat ini. Dalam perjalanan kariernya sebagai
ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR dan selanjutnya menjadi Ketum DPP
Partai Demokrat dengan menyisihkan tokoh-tokoh yang cukup senior.
Pada
awalnya Anas digadang-gadang sebagai calon presiden masa depan dan dianggap
melewati senior HMI-nya di Partai Golkar, Akbar Tanjung, yang dikenal
sebagai “politikus belut” karena kemampuannya bertahan pada pelbagai
ujian politik yang menimpanya. Tergelincirnya Anas di sini sejatinya
terletak pada kesalahannya memilih partai dan komandan.
Alih-alih
melicinkan jalan baginya sebagai calon pemimpin masa depan yang prospektif
dan berkaliber, Anas justru terperosok kepada jebakan korupsi, upaya
melanggengkan politik dinasti, serta berkembangnya oligarki politik dalam
kendaraan politik yang menjadi pilihannya, Partai Demokrat.
Elan
vital yang dipunyainya selama ini—intelektualitas dan aktivisme—tak lagi
berbekas
karena derasnya arus skandal korupsi dan penyalahgunaan jabatan
yang mendera perahu Demokrat. Sungguh pun kini Anas mulai mendulang simpati
dari banyak tokoh, posisi Anas kini tak lebih sebagai sasaran tembak yang
menjadi bulan-bulanan publik yang frustrasi dengan kebejatan elite.
Anas
hanya bisa meraih kembali comfort zone historis yang dimilikinya dengan
cara bekerja sama dengan KPK membuka kotak Pandora berbagai skandal,
korupsi, dan negosiasi di belakang layar yang melibatkan banyak elite di
pemerintahan, DPR, maupun parpol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar