Rabu, 06 Maret 2013

Anas Urbaningrum, “A Man for All Seasons”


Anas Urbaningrum, “A Man for All Seasons”
Donny Syofyan ;  Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
SINAR HARAPAN, 05 Maret 2013


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Hambalang. Anas diduga menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang saat dia masih menjadi anggota DPR.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan berdasarkan hasil gelar perkara beberapa kali, KPK mendapatkan dua bahan bukti untuk menetapkan Anas sebagai tersangka.
Penetapan Anas sebagai tersangka bukan malah membuatnya letoy dan pasrah. Sebaliknya, Anas tengah mencoba memainkan kartunya bahwa semua ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan untuk menyibakkan misteri kebenaran dalam tubuh Demokrat sendiri.

Perjalanan karier politik Anas adalah sebuah dramaturgi fantastis yang telah mengantarkannya dari seorang zero menjadi hero dalam lanskap politik Tanah Air dengan cepat. Bentangan tarikh kehidupan politiknya telah menempatkan Anas sebagai a man for all seasons. Ia betul-betul menjadi manusia untuk segala musim yang telah dilaluinya dengan segala kelebihan, keterbatasan dan polemiknya.

Sebagai seorang manusia pendaki, petualangan hidup Anas terbilang monumental sehingga menjadi ikon bagi banyak pihak, terutama pada kawula muda. Sayangnya, pada puncak perjalanannya Anas harus tergelincir karena perangkap yang sebetulnya telah disadarinya. Saya mencermati bahwa kapasitas Anas sebagai a man for all seasons bisa dilihat pada kategorisasi berikut.

Pertama, aktivis-organisatoris. Pada tahap ini, Anas bisa dibilang adalah seorang Nurcholishian dalam konteks kepemimpinannya sebagai Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1997-1999. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PB HMI, Anas merupakan sosok yang baik dan mudah berkawan dengan siapa pun. Ia bukan orang yang menciptakan musuh dan dia tidak banyak tingkah.

Sifat demikian membuat Anas lebih menonjol dalam aspek intelektual untuk pengaderan. Lewat bendera HMI tersebut, Anas makin bersinar sebagai seorang figur yang cerdas dan berpenampilan kalem. Walau kalem, dalam berbagai forum ia bisa galak. Sebagai kolomnis sejumlah media, ia juga piawai beretorika baik lisan maupun tulisan, suatu hal yang jarang ditemukan pada orang seusianya.

Dalam posisinya sebagai aktivis-organisatoris, Anas merupakan model bagi banyak aktivis. Ia mampu membuktikan bahwa seorang anak desa dengan pengalaman aktivis, dimulai jauh sebagai organisatoris di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), mengalami mobilitas vertikal menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh pengusung reformasi di saat masa transisi dari rezim Soeharto hingga era reformasi.

Bila Nurcholish Madjid lebih dikenal dengan bobot intelektualitasnya sebagai Ketua Umum HMI pada era 1970-an, Anas justru menunjukkan kebolehannya selaku aktivis-organisatoris sukses meletekkan HMI sebagai pemegang saham dalam proses perubahan arah politik kebangsaan pada zamannya.

Ini mustahil diperbuat oleh Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, mengingat rezim Soeharto tengah menggeliat mengibarkan sayap kekuatannya. Ditopang peluang perubahan yang jauh lebih terbuka, boleh dikatakan bahwa dalam konteks kepemimpinan politik Anas mendahului seniornya tersebut, sesuatu yang bisa saja digugat banyak orang.

Kedua, intelektual-birokratis. Pasca-HMI, bintang Anas terus bersinar. Ia terus bergerak menelusuri wilayah-wilayah lebih luas yang pada gilirannya mengukuhkan posisinya sebagai tokoh perubahan par excellence sehingga ia menjadi sosok yang lebih independen. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang intelektual-birokratis.

Dalam level ini, selain terus disibukkan aktivitas tulis-menulis sebagai seorang intelektual produktif, Anas juga menyumbangkan diri sebagai pengawal hidupnya masyarakat sipil dan tegaknya pemerintahan demokratis dengan bergabung sebagai Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum pada 3 Februari 1999 yang dikenal dengan nama Tim Sebelas dan menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada periode 2000-2007.

Kedua peran ini dijalani Anas sebagai panggilan tugas dan ijtihadnya untuk mengawal tumbuhnya masyarakat sipil dan terwujudnya pemerintahan yang demokratis di Tanah Air di awal-awal reformasi.

Azranisasi

Dalam konteks ini, tidak berlebihan bahwa Anas mengalami apa yang disebut sebagai Azranisasi. Sebagai seorang intelektual, Anas memang masih jauh dari kaliber seorang Azyumardi Azra yang bukan saja jauh lebih produktif dalam berkarya, tapi juga dianggap sebagai seorang birokrat sukses dalam memimpin dan mentransformasikan UIN Syarif Hidayatullah sebagai perguruan tinggi Islam yang prestisius.

Keterlibatan Anas dalam lembaga-lembaga demokrasi tersebut setelah jatuhnya Soeharto agaknya dimaksudkan sebagai antitesis terhadap pameo umum bahwa dunia intelektual tidak bisa bergandengan dengan ranah birokratis.

Dengan kata lain, Anas ingin pasang badan bahwa sebagai intelektual-birokratis ia ingin membuktikan kecakapannya menangkal lingkungan yang korup dan penyalahgunaan wewenang. Disayangkan, tanda-tanda awal bahwa Anas mulai terkotori oleh lingkungan politik yang becek tampak di saat ia tersandung kasus dugaan penyelewengan dana di KPU pada saat pengunduran dirinya sebagai anggota KPU, 8 Juni 2005.

Ketiga, politikus 24 karat. Bisa dikatakan bahwa politikus merupakan puncak karier Anas hingga saat ini. Dalam perjalanan kariernya sebagai ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR dan selanjutnya menjadi Ketum DPP Partai Demokrat dengan menyisihkan tokoh-tokoh yang cukup senior.

Pada awalnya Anas digadang-gadang sebagai calon presiden masa depan dan dianggap melewati senior HMI-nya di Partai Golkar, Akbar Tanjung, yang dikenal sebagai “politikus belut” karena kemampuannya bertahan pada pelbagai ujian politik yang menimpanya. Tergelincirnya Anas di sini sejatinya terletak pada kesalahannya memilih partai dan komandan.

Alih-alih melicinkan jalan baginya sebagai calon pemimpin masa depan yang prospektif dan berkaliber, Anas justru terperosok kepada jebakan korupsi, upaya melanggengkan politik dinasti, serta berkembangnya oligarki politik dalam kendaraan politik yang menjadi pilihannya, Partai Demokrat.

Elan vital yang dipunyainya selama ini—intelektualitas dan aktivisme—tak lagi berbekas 
karena derasnya arus skandal korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang mendera perahu Demokrat. Sungguh pun kini Anas mulai mendulang simpati dari banyak tokoh, posisi Anas kini tak lebih sebagai sasaran tembak yang menjadi bulan-bulanan publik yang frustrasi dengan kebejatan elite.

Anas hanya bisa meraih kembali comfort zone historis yang dimilikinya dengan cara bekerja sama dengan KPK membuka kotak Pandora berbagai skandal, korupsi, dan negosiasi di belakang layar yang melibatkan banyak elite di pemerintahan, DPR, maupun parpol. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar