Ketidakberesan pemerintah dalam mengatur sektor
pertanian, khususnya terkait dengan kebijakan impor sektor pangan, semakin
nyata. Belum lama ini kenaikan harga komoditas bawang merah dan bawang
putih dalam dua pekan terakhir membuat ibu-ibu rumah tangga menjerit hampir
di seluruh kota di Tanah Air. Kenaikan harga pada tingkat tertentu
sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang terkendali. Namun akan menjadi
masalah jika kenaikan harga sudah tidak terkendali, sehingga menyengsarakan
kehidupan masyarakat dengan ekonomi tingkat bawah. Apalagi bila kenaikan
tersebut mengakibatkan angka inflasi yang tinggi.
Dampaknya adalah menurunnya kesejahteraan dan daya beli
masyarakat. Para ibu rumah tangga pun mengeluh saat harga meningkat
menjelang tahun politik ini. Karena itu, upaya menangani sumber-sumber
kenaikan harga menjadi strategis untuk dilakukan. Lalu apa saja penyebab
kenaikan harga sehingga rakyat yang ekonomi lemah mengalami kesulitan?
Langkah apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan kenaikan
harga, terutama pangan hortikultura, agar tidak terulang?
Naiknya Harga
Kenaikan harga produk hortikultura yang bervariasi
memicu ketidakstabilan harga, khususnya bawang merah dan putih. Sebelumnya,
harga bawang merah dan bawang putih berada di kisaran Rp 16-18 ribu per
kilogram. Saat ini harga bawang putih melonjak menjadi Rp 72 ribu per kg,
sedangkan bawang merah Rp 48 ribu per kg. Kenaikan harga dinilai tidak
wajar, per hari bahkan bisa naik sampai Rp 5.000 (www.tempo.co, 13 Maret
2013). Gejolak kenaikan harga yang bervariasi, jika tidak diantisipasi,
dapat berubah menjadi krisis pangan.
Secara teknis, gejolak kenaikan harga pangan disebabkan
oleh lemahnya infrastruktur distribusi, nilai tukar mata uang, dan harga
input pertanian. Namun ada yang jauh lebih bersifat sistemik, yaitu
terjadinya lonjakan harga karena faktor ulah manusia. Yang termasuk faktor
ulah manusia adalah peran dominan kaum kapitalis, spekulasi di bursa
berjangka, melemahnya peran negara, kebijakan impor yang salah, serta
permainan swasta nasional dalam perdagangan.
Kenaikan harga pangan, khususnya bawang merah dan
bawang putih, tentu membuat pedagang kecil tidak nyaman berusaha. Konsumen
berkurang dan mengeluh. Lonjakan harga pangan hortikultura tak
menguntungkan petani kecil, pedagang, dan konsumen. Dengan demikian,
pengawasan stok bawang dan komoditas pangan hortikultura lainnya mutlak
dilakukan. Payung hukum yang melarang penimbunan perlu diefektifkan.
Jaringan informasi distribusi dan harga bawang harus transparan.
Beberapa Solusi
Penyebab kenaikan harga kebutuhan pangan, khususnya
komoditas bawang, bila dicermati bisa diakibatkan oleh tiga faktor.
Pertama, kelangkaan barang; kedua, penurunan nilai mata uang yang dipegang
masyarakat; dan ketiga, tingginya permintaan. Dari ketiga faktor tersebut,
faktor kedua adalah problem kenaikan harga (inflasi) pada barang-barang
kebutuhan pokok yang biasa terjadi dalam skala tahunan secara agregat
(merata pada suatu masyarakat), dan hal ini terjadi bukan lantaran
kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok tersebut.
Dalam konsep free
market, swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan
tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas
perusahaan, sehingga harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah.
Menaikkan harga secara sepihak demi kepentingan penjual (perusahaan swasta/free market) karena tingginya
permintaan tentu menyusahkan masyarakat ekonomi miskin sehingga mereka
tidak dapat membeli barang, terutama kebutuhan primer bahan pangan.
Akibatnya, terjadi ketimpangan, kesenjangan, ketidakadilan, tidak terjadi
distribusi secara merata atau pemerataan barang di tengah masyarakat.
Demikian halnya menaikkan harga demi mendapatkan harga yang tinggi, pemilik
barang menimbun barang dagangannya untuk sementara waktu hingga pasaran
naik, juga akan menyusahkan masyarakat ekonomi lemah.
Setidaknya ada beberapa langkah yang perlu dilakukan
oleh pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga, terutama komoditas bawang,
agar menjadi stabil, yakni pemerintah seharusnya mampu mengawasi harga agar
terkendali, tidak boleh membiarkan harga melambung tinggi yang dinaikkan
sepihak oleh penjual perusahaan swasta, sementara masyarakat menjerit.
Praktek-praktek yang terlarang, seperti penipuan, penimbunan, monopoli,
menetapkan harga, dan menaikkan harga, perlu ditindak dengan sanksi yang
tegas.
Di samping itu, pemerintah perlu mendorong
berkembangnya sektor riil saja (pertanian, perikanan, perkebunan,
perindustrian, transportasi, dll). Regulasi yang mengatur barang dan jasa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan secara berkelanjutan perlu dibuat
secara berkeadilan. Aktivitas perdagangan produk pangan perlu dijaga agar
berjalan sewajarnya, sehat dan adil, tidak merugikan antara penjual dan
pembeli dengan menaikkan harga seperti yang terjadi sekarang ini.
Pemerintah mesti menurunkan biaya sarana produksi
pertanian dan memperbaiki infrastruktur distribusi hasil pertanian.
Tingginya biaya produksi dan biaya angkut saat ini dinilai sebagai pemicu
utama meningkatnya harga pangan, khususnya bawang. Diperlukan penerapan
sanksi yang tegas bagi pelaku peredaran produk illegal serta pengawasan
aturan yang diberlakukan terhadap terjadinya kenaikan permintaan makanan
dan minuman.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu
menghentikan impor pangan pada produk yang bisa dihasilkan di dalam negeri
seperti bawang, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya. Sebab, impor
bahan pangan, selain menghamburkan devisa, dapat membunuh produsen pangan
dalam negeri dan mengancam kedaulatan pangan nasional. Selain itu, impor
pangan hanya akan memakmurkan para spekulan dan komprador penjual. Di sisi
lain, negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin bisa
maju, jika kebutuhan pangannya bergantung pada impor (FAO, 1998). Negara
perlu segera menjadikan sektor pertanian sebagai sumber kekuatan ekonomi
nasional. Akhirnya, seluruh kebijakan politik-ekonomi menjelang tahun
politik ini harus kondusif untuk bisa mengendalikan kenaikan harga pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar