Rabu, 20 Maret 2013

Aokigahara



Aokigahara
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 19 Maret 2013
 

SEBULAN lalu saya melakukan perjalanan menembus kawasan hutan di pesisir selatan Pulau Jawa. Sambil memotret tanaman-tanaman langka, teman-teman saya menyebut kawasan yang kami lewati sebagai kawasan yang sangat angker. Tetapi, ketika minggu lalu mengunjungi Tokyo, saya bersumpah tak ada hutan seangker yang saya lihat ini: Aokigahara.

Hutan yang sepi di kaki Gunung Fuji itu benar-benar gelap. Sepanjang jalan, di beberapa titik kami hanya menyaksikan pita-pita merah, tas ransel yang ditinggalkan pemiliknya, botol-botol sake kosong, kartu kredit, dan kaus kaki bekas. Benda-benda itu adalah peninggalan orang-orang yang putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya di sana. Menurut Laura Sesana, dulu setiap tahun hanya ada sekitar 20 orang yang bunuh diri di sana. Namun, sejak 1994, jumlahnya melonjak menjadi 57 orang dan pada 2004 angkanya dobel menjadi 108 orang. Sejak itu, pemerintah Jepang tidak lagi mengumumkan berapa orang yang mengakhiri hidup di sana.

Mengapa? 

Berbeda dengan kawasan-kawasan hutan wisata lain yang Anda kunjungi, di pintu masuk Aokigahara Anda akan menemukan papan besar yang berisi nasihat-nasihat. "Kehidupan adalah hadiah terindah dari kedua orang tua Anda." Lalu diteruskan dengan kata-kata, "Pertimbangkanlah kembali baik-baik. Dan jangan simpan kekhawatiran Anda dalam jiwa, berbicaralah dengan kami."

Namun, entah mengapa nasihat itu tidak begitu mempan. Jepang, menurut data WHO, adalah salah satu di antara sepuluh negara yang warganya gemar memilih bunuh diri. Tradisi itu bahkan ada sejak era samurai. Namun, waktu berjalan, bunuh diri sudah menjadi issue sosial-ekonomi yang kompleks.

Di Korea Selatan, angka bunuh diri juga tinggi. Anda mungkin masih ingat kejadian pada 2009, ketika mantan Presiden Roh Moo-hyun bunuh diri setelah pengadilan menyatakan dirinya terlibat dalam skandal korupsi. Roh memilih terjun dari atas gunung. Di Indonesia, belum ada koruptor yang memilih cara itu. Sebab, selain harta bendanya tidak diblokir, mereka masih bisa membeli "dukungan moril". Bahkan, keluarganya pun menganggap korupsi sebagai fitnah. Sementara yang cium tangan masih banyak sekali.

Kembali ke Jepang, belakangan ini peminat untuk mengakhiri hidup di Aokigahara juga meningkat karena pemerintah Jepang telah mengeluarkan peraturan keras terhadap keluarga korban. Denda besar bernilai jutaan yen dikenakan kepada keluarga yang anggotanya mengakhiri hidup di atas fasilitas transportasi publik. Meski demikian, orang-orang Jepang memiliki tradisi bunuh diri yang unik. Mereka melepas alas kaki.

Tiga insinyur muda Indonesia yang bekerja di Toshiba, yang bertemu dengan saya di Tokyo minggu lalu, bercerita bagaimana bunuh diri telah menjadi fenomena khas Jepang. "Mereka malah merasa aneh bahwa bagi orang Indonesia bunuh diri adalah dosa," ujar mereka bertiga. Orang Jepang malah sebaliknya menyatakan, "Kasihan menjadi orang Indonesia, susah bunuh diri."

Di berbagai stasiun televisi Jepang saya menyaksikan berbagai program yang menunjukkan generasi muda Jepang yang ekspresif. Tetapi, di atas kereta api gambaran itu lenyap. Tiap-tiap orang memilih diam, seperti tidak ingin mengganggu orang lain. Saya tidak melihat sosok yang jahil, mudah marah, atau menertawakan orang lain, apalagi yang matanya jelalatan seperti yang sering kita lihat di sini. Manusia Indonesia jauh lebih memiliki "katup pelepas".

Bunuh diri, selain mempunyai akar budaya, belakangan banyak dibentuk oleh perekonomian. Rasa kalah, tak mampu menghadapi tekanan, kehilangan pekerjaan dan harga diri, takut berlebihan, atau tidak berarti telah membuat banyak orang memilih jalan itu. Di Amerika Serikat, bunuh diri telah menjadi fenomena yang selalu ramai, apalagi sejak Dr Jack Kevorkian menerima praktik assisted suicide dan pada 1990-an mengaku telah melayani 40 orang lebih di Michigan saja. Tetapi, Dr Jack Kevorkian mengaku hanya melayani orang yang benar-benar telah putus asa dan mengalami sakit yang luar biasa untuk meneruskan hidupnya.

Di Indonesia, angka bunuh diri memang masih kecil. Tetapi, bila ramalan ekonomi dari McKinsey Global Institute benar bahwa pada 2030 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor 7 di dunia, perangkat undang-undang harus dipersiapkan sejak sekarang. Bimbingan dan konseling perlu dikembangkan serta nilai-nilai kekeluargaan yang menjamin rasa kebersamaan dan dihargai dapat terus dibangun. Mudah-mudahan kita masih percaya bahwa hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.
● 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar