SEBULAN lalu saya melakukan perjalanan menembus kawasan hutan
di pesisir selatan Pulau Jawa. Sambil memotret tanaman-tanaman langka,
teman-teman saya menyebut kawasan yang kami lewati sebagai kawasan yang
sangat angker. Tetapi, ketika minggu lalu mengunjungi Tokyo, saya bersumpah
tak ada hutan seangker yang saya lihat ini: Aokigahara.
Hutan yang sepi di kaki Gunung Fuji itu benar-benar gelap. Sepanjang jalan,
di beberapa titik kami hanya menyaksikan pita-pita merah, tas ransel yang
ditinggalkan pemiliknya, botol-botol sake kosong, kartu kredit, dan kaus
kaki bekas. Benda-benda itu adalah peninggalan orang-orang yang putus asa
dan memilih mengakhiri hidupnya di sana. Menurut Laura Sesana, dulu setiap
tahun hanya ada sekitar 20 orang yang bunuh diri di sana. Namun, sejak
1994, jumlahnya melonjak menjadi 57 orang dan pada 2004 angkanya dobel menjadi 108 orang. Sejak itu,
pemerintah Jepang tidak lagi mengumumkan berapa orang yang mengakhiri hidup
di sana.
Mengapa?
Berbeda dengan kawasan-kawasan hutan wisata lain yang Anda kunjungi, di
pintu masuk Aokigahara Anda akan menemukan papan besar yang berisi
nasihat-nasihat. "Kehidupan adalah hadiah terindah dari kedua orang
tua Anda." Lalu diteruskan dengan kata-kata, "Pertimbangkanlah
kembali baik-baik. Dan jangan simpan kekhawatiran Anda dalam jiwa,
berbicaralah dengan kami."
Namun, entah mengapa nasihat itu tidak begitu mempan. Jepang, menurut data
WHO, adalah salah satu di antara sepuluh negara yang warganya gemar memilih
bunuh diri. Tradisi itu bahkan ada sejak era samurai. Namun, waktu
berjalan, bunuh diri sudah menjadi issue sosial-ekonomi yang kompleks.
Di Korea Selatan, angka bunuh diri juga tinggi. Anda mungkin masih ingat
kejadian pada 2009, ketika mantan Presiden Roh Moo-hyun bunuh diri setelah
pengadilan menyatakan dirinya terlibat dalam skandal korupsi. Roh memilih
terjun dari atas gunung. Di Indonesia, belum ada koruptor yang memilih cara
itu. Sebab, selain harta bendanya tidak diblokir, mereka masih bisa membeli
"dukungan moril". Bahkan, keluarganya pun menganggap korupsi
sebagai fitnah. Sementara yang cium tangan masih banyak sekali.
Kembali ke Jepang, belakangan ini peminat untuk mengakhiri hidup di
Aokigahara juga meningkat karena pemerintah Jepang telah mengeluarkan
peraturan keras terhadap keluarga korban. Denda besar bernilai jutaan yen
dikenakan kepada keluarga yang anggotanya mengakhiri hidup di atas fasilitas
transportasi publik. Meski demikian, orang-orang Jepang memiliki tradisi
bunuh diri yang unik. Mereka melepas alas kaki.
Tiga insinyur muda Indonesia yang bekerja di Toshiba, yang bertemu dengan
saya di Tokyo minggu lalu, bercerita bagaimana bunuh diri telah menjadi
fenomena khas Jepang. "Mereka malah merasa aneh bahwa bagi orang
Indonesia bunuh diri adalah dosa," ujar mereka bertiga. Orang Jepang
malah sebaliknya menyatakan, "Kasihan menjadi orang Indonesia, susah
bunuh diri."
Di berbagai stasiun televisi Jepang saya menyaksikan berbagai program yang
menunjukkan generasi muda Jepang yang ekspresif. Tetapi, di atas kereta api
gambaran itu lenyap. Tiap-tiap orang memilih diam, seperti tidak ingin
mengganggu orang lain. Saya tidak melihat sosok yang jahil, mudah marah,
atau menertawakan orang lain, apalagi yang matanya jelalatan seperti yang
sering kita lihat di sini. Manusia Indonesia jauh lebih memiliki
"katup pelepas".
Bunuh diri, selain mempunyai akar budaya, belakangan banyak dibentuk oleh
perekonomian. Rasa kalah, tak mampu menghadapi tekanan, kehilangan
pekerjaan dan harga diri, takut berlebihan, atau tidak berarti telah
membuat banyak orang memilih jalan itu. Di Amerika Serikat, bunuh diri
telah menjadi fenomena yang selalu ramai, apalagi sejak Dr Jack Kevorkian
menerima praktik assisted
suicide dan pada 1990-an
mengaku telah melayani 40 orang lebih di Michigan saja. Tetapi, Dr Jack
Kevorkian mengaku hanya melayani orang yang benar-benar telah putus asa dan
mengalami sakit yang luar biasa untuk meneruskan hidupnya.
Di Indonesia, angka bunuh diri memang masih kecil. Tetapi, bila ramalan
ekonomi dari McKinsey Global
Institute benar bahwa pada 2030 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi
terbesar nomor 7 di dunia, perangkat undang-undang harus dipersiapkan sejak
sekarang. Bimbingan dan konseling perlu dikembangkan serta nilai-nilai
kekeluargaan yang menjamin rasa kebersamaan dan dihargai dapat terus
dibangun. Mudah-mudahan kita masih percaya bahwa hanya Tuhan yang berhak
mencabut nyawa manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar