Dalam
satu pekan terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar dua
pertemuan dengan para purnawirawan jenderal.
Pertemuan
pertama dilakukan pada Senin (11/3) dengan mengundang Letnan Jenderal
(Purn) Prabowo Subianto yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kemudian pertemuan kedua digelar pada
Rabu (13/3) dengan mengundang tujuh pensiunan jenderal.
Tujuh
jenderal purnawirawan itu adalah Jenderal (Purn) TNI Luhut Binsar
Panjaitan, Jenderal (Purn) TNI Subagyo Hadi Siswoyo, Jenderal (Purn) TNI
Fahrul Rozi, Letnan Jenderal (Purn) TNI Agus Widjojo, Letnan Jenderal
(Purn) Johny Josephus, Letnan Jenderal (Purn) Sumardi, dan Letnan Jenderal
(Purn) Suaidi Marasabessy.
Maksud Politik SBY
Pertemuan
itu tentu bukan pertemuan biasa atau sekadar reuni presiden dengan
kolega-kolega semasa aktif di dunia militer dahulu. Pertemuan Presiden SBY
dengan para jenderal purnawirawan tidak dapat dilepaskan dari konteks
politik saat ini di mana Presiden SBY akan segera mengakhiri masa jabatan
kepresidenan dalam waktu kurang dari dua tahun ke depan.
Sebagai
seorang presiden yang berada di ujung masa jabatan, SBY tentu ingin
mengakhiri hal itu dengan husnul
khatimah tanpa ada gejolak politik hebat. Apalagi terjadi pemakzulan (impeachment) di sisa masa jabatan
ini. Untuk itu, Presiden SBY merasa perlu melakukan pertemuan dan menjalin
komunikasi politik dengan sejumlah jenderal purnawirawan yang selama ini
terhitung vokal dan kritis terhadap pemerintah.
Dengan
melakukan pertemuan dan menjalin komunikasi politik dengan para jenderal
purnawirawan itu diharapkan stabilitas sosial politik akan semakin terjaga
sekaligus menutup peluang bagi adanya dukungan politik dari unsur-unsur eks
militer kepada gerakan-gerakan esktraparlementer yang memiliki wacana
pemakzulan terhadap pemerintah.
Maksud
politik SBY ini semakin jelas terlihat melalui keterangan pers para
jenderal purnawirawan tersebut usai melakukan pertemuan dengan presiden.
Mereka sepakat untuk mengecam segala upaya yang menghambat jalannya
pemerintahan secara inkonstitusional, termasuk menurunkan pemerintahan
SBY-Boediono di tengah jalan. Hal itu dinilai hanya akan membawa kerugian
dan merusak keberhasilan yang telah dicapai pemerintah saat ini.
Memang,
tidak dapat dipungkiri dalam waktu sembilan tahun terakhir ini selama
menjalani masa jabatan kepresidenan, Presiden SBY sering kali dihadapkan
pada sejumlah manuver dari kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan
gerakan-gerakan ekstraparlementer yang memiliki tendensi untuk melakukan
pemakzulan terhadap pemerintah.
Gerakan
cabut mandat tahun 2005 hasil prakarsa mantan aktivis Hariman Siregar dan
upaya impeachment sejumlah
kekuatan politik di parlemen terhadap Wakil Presiden Boediono terkait kasus
dugaan skandal dana talangan (bailout) Bank Century merupakan segelintir
contoh dari hal tersebut.
Realitas
politik internal Partai Demokrat yang tengah dilanda prahara hebat semakin
mendorong SBY untuk secara intensif melakukan pertemuan dan menjalin
komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk para jenderal purnawirawan.
Presiden
SBY sadar betul bahwa Partai Demokrat selaku basis politik utama tidak
dapat diandalkan untuk mengamankan jalannya pemerintahan hingga 2014.
Bagaimana mungkin Partai Demokrat dapat fokus mengamankan jalannya
pemerintahan di saat prahara hebat melanda mereka seperti saat ini?
Tidak Sederhana
Akan
tetapi, di luar segala perhitungan politik SBY di atas perlu kita pahami
bersama perihal masalah pemakzulan dalam konteks sistem
ketatanegaraan Indonesia saat ini.
Dalam
menggulirkan wacana pemakzulan mereka yang berkepentingan terhadap hal
itu sering kali menjadikan Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 sebagai landasan justifikasi.
Pasal
7A UUD 1945 menyebutkan, “Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Namun,
sesederhana itukah masalah pemakzulan presiden/wakil presiden? Di masa
lalu, gerakan-gerakan esktraparlementer berupa penggalangan mosi tidak
percaya dan demonstrasi massa memang terasa begitu mudah berujung pada
pemakzulan atau pelengseran seorang presiden.
Namun,
satu hal mendasar yang sering kali dilupakan ialah gerakan-gerakan
ekstraparlementer semacam itu sesungguhnya tidak bekerja sendiri, tetapi
membutuhkan kehadiran struktur politik dan sistem ketatanegaraan yang
mendukung.
Mantan
Presiden Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid dapat dijatuhkan
dari kursi kekuasaan karena adanya dukungan dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku lembaga
tertinggi negara yang memiliki kewenangan memilih dan menjatuhkan presiden.
Otoritas MPR yang besar ini tidak jarang juga menimbulkan ekses negatif
berupa politisasi pertanggungjawaban seorang presiden sebagaimana dialami
mantan Presiden BJ Habibie.
Namun,
seiring dengan keinginan untuk menyempurnakan kehidupan demokrasi di
Indonesia, kewenangan untuk memilih dan menurunkan presiden pun dihilangkan
sehingga tidak lagi melekat dalam diri MPR. Hal itu dilatarbelakangi
semangat untuk menciptakan keseimbangan kewenangan antarberbagai cabang
kekuasaan.
Melalui
empat tahap amendemen UUD 1945, MPR mengalami pengurangan hak secara
signifikan. Saat ini MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih dan
menurunkan presiden. Perubahan besar pun terjadi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi menyandang status sebagai lembaga
tertinggi negara.
Memang,
saat ini parlemen masih memiliki hak untuk mengajukan usul pemberhentian
presiden dan memproses pemakzulan terhadap presiden. Meskipun demikian, hal
itu tidak serta-merta dapat dilakukan tanpa melalui proses penilaian hukum
yang saksama dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan Pasal 7B Ayat
1 UUD 1945.
Pasal
7B Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, “Usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan
terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.”
Hal
itu berarti sepanjang presiden/wakil presiden yang bersangkutan tidak
melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945 dan sumpah jabatan, tindakan
pemakzulan tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan. Karena itu, MPR tidak
dapat menjalankan hak konstitusional untuk memproses pemakzulan hanya
kerena seorang presiden membuat kebijakan yang dianggap tidak
populer atau sekadar didasarkan pada rasa ketidakpuasan dari sejumlah
pihak.
Karena itu, segala upaya
melakukan pemakzulan terhadap pemerintahan SBY-Boediono besar kemungkinan
tidak akan mendapatkan dukungan struktural dari lembaga politik yang
memiliki kewenangan terhadap hal tersebut. Apalagi
jika tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran UUD 1945 maupun sumpah
jabatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar