Rabu, 20 Maret 2013

SBY, Jenderal Purnawirawan, dan Pemakzulan Pemerintah



SBY, Jenderal Purnawirawan,
dan Pemakzulan Pemerintah
Bawono Kumoro  ;  Peneliti Politik The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 19 Maret 2013

 
Dalam satu pekan terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar dua pertemuan dengan para purnawirawan jenderal.

Pertemuan pertama dilakukan pada Senin (11/3) dengan mengundang Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kemudian pertemuan kedua digelar pada Rabu (13/3) dengan mengundang tujuh pensiunan jenderal.
Tujuh jenderal purnawirawan itu adalah Jenderal (Purn) TNI Luhut Binsar Panjaitan, Jenderal (Purn) TNI Subagyo Hadi Siswoyo, Jenderal (Purn) TNI Fahrul Rozi, Letnan Jenderal (Purn) TNI Agus Widjojo, Letnan Jenderal (Purn) Johny Josephus, Letnan Jenderal (Purn) Sumardi, dan Letnan Jenderal (Purn) Suaidi Marasabessy.

Maksud Politik SBY

Pertemuan itu tentu bukan pertemuan biasa atau sekadar reuni presiden dengan kolega-kolega semasa aktif di dunia militer dahulu. Pertemuan Presiden SBY dengan para jenderal purnawirawan tidak dapat dilepaskan dari konteks politik saat ini di mana Presiden SBY akan segera mengakhiri masa jabatan kepresidenan dalam waktu kurang dari dua tahun ke depan.

Sebagai seorang presiden yang berada di ujung masa jabatan, SBY tentu ingin mengakhiri hal itu dengan husnul khatimah tanpa ada gejolak politik hebat. Apalagi terjadi pemakzulan (impeachment) di sisa masa jabatan ini. Untuk itu, Presiden SBY merasa perlu melakukan pertemuan dan menjalin komunikasi politik dengan sejumlah jenderal purnawirawan yang selama ini terhitung vokal dan kritis terhadap pemerintah.

Dengan melakukan pertemuan dan menjalin komunikasi politik dengan para jenderal purnawirawan itu diharapkan stabilitas sosial politik akan semakin terjaga sekaligus menutup peluang bagi adanya dukungan politik dari unsur-unsur eks militer kepada gerakan-gerakan esktraparlementer yang memiliki wacana pemakzulan terhadap pemerintah.

Maksud politik SBY ini semakin jelas terlihat melalui keterangan pers para jenderal purnawirawan tersebut usai melakukan pertemuan dengan presiden. Mereka sepakat untuk mengecam segala upaya yang menghambat jalannya pemerintahan secara inkonstitusional, termasuk menurunkan pemerintahan SBY-Boediono di tengah jalan. Hal itu dinilai hanya akan membawa kerugian dan merusak keberhasilan yang telah dicapai pemerintah saat ini.

Memang, tidak dapat dipungkiri dalam waktu sembilan tahun terakhir ini selama menjalani masa jabatan kepresidenan, Presiden SBY sering kali dihadapkan pada sejumlah manuver dari kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan gerakan-gerakan ekstraparlementer yang memiliki tendensi untuk melakukan pemakzulan terhadap pemerintah.

Gerakan cabut mandat tahun 2005 hasil prakarsa mantan aktivis Hariman Siregar dan upaya impeachment sejumlah kekuatan politik di parlemen terhadap Wakil Presiden Boediono terkait kasus dugaan skandal dana talangan (bailout) Bank Century merupakan segelintir contoh dari hal tersebut.
Realitas politik internal Partai Demokrat yang tengah dilanda prahara hebat semakin mendorong SBY untuk secara intensif melakukan pertemuan dan menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk para jenderal purnawirawan.

Presiden SBY sadar betul bahwa Partai Demokrat selaku basis politik utama tidak dapat diandalkan untuk mengamankan jalannya pemerintahan hingga 2014. Bagaimana mungkin Partai Demokrat dapat fokus mengamankan jalannya pemerintahan di saat prahara hebat melanda mereka seperti saat ini?

Tidak Sederhana

Akan tetapi, di luar segala perhitungan politik SBY di atas perlu kita pahami bersama perihal masalah pemakzulan dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini.

Dalam menggulirkan wacana pemakzulan mereka yang berkepentingan terhadap hal itu sering kali menjadikan Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai landasan justifikasi.
Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Namun, sesederhana itukah masalah pemakzulan presiden/wakil presiden? Di masa lalu, gerakan-gerakan esktraparlementer berupa penggalangan mosi tidak percaya dan demonstrasi massa memang terasa begitu mudah berujung pada pemakzulan atau pelengseran seorang presiden.

Namun, satu hal mendasar yang sering kali dilupakan ialah gerakan-gerakan ekstraparlementer semacam itu sesungguhnya tidak bekerja sendiri, tetapi membutuhkan kehadiran struktur politik dan sistem ketatanegaraan yang mendukung.

Mantan Presiden Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid dapat dijatuhkan dari kursi kekuasaan karena adanya dukungan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan memilih dan menjatuhkan presiden. Otoritas MPR yang besar ini tidak jarang juga menimbulkan ekses negatif berupa politisasi pertanggungjawaban seorang presiden sebagaimana dialami mantan Presiden BJ Habibie.

Namun, seiring dengan keinginan untuk menyempurnakan kehidupan demokrasi di Indonesia, kewenangan untuk memilih dan menurunkan presiden pun dihilangkan sehingga tidak lagi melekat dalam diri MPR. Hal itu dilatarbelakangi semangat untuk menciptakan keseimbangan kewenangan antarberbagai cabang kekuasaan.

Melalui empat tahap amendemen UUD 1945, MPR mengalami pengurangan hak secara signifikan. Saat ini MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih dan menurunkan presiden. Perubahan besar pun terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi menyandang status sebagai lembaga tertinggi negara.

Memang, saat ini parlemen masih memiliki hak untuk mengajukan usul pemberhentian presiden dan memproses pemakzulan terhadap presiden. Meskipun demikian, hal itu tidak serta-merta dapat dilakukan tanpa melalui proses penilaian hukum yang saksama dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan Pasal 7B Ayat 1 UUD 1945.

Pasal 7B Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Hal itu berarti sepanjang presiden/wakil presiden yang bersangkutan tidak melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945 dan sumpah jabatan, tindakan pemakzulan tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan. Karena itu, MPR tidak dapat menjalankan hak konstitusional untuk memproses pemakzulan hanya kerena seorang presiden membuat kebijakan yang dianggap tidak populer atau sekadar didasarkan pada rasa ketidakpuasan dari sejumlah pihak.

Karena itu, segala upaya melakukan pemakzulan terhadap pemerintahan SBY-Boediono besar kemungkinan tidak akan mendapatkan dukungan struktural dari lembaga politik yang memiliki kewenangan terhadap hal tersebut. Apalagi jika tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran UUD 1945 maupun sumpah jabatan. ● 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar