Kalau sekadar untuk mengecek harga, para menteri bisa
menugaskan staf. Dengan cara diam-diam, bukan rombongan besar dan resmi,
tidak hanya bisa dicari tahu harga-harga yang sebenarnya di pasar, tapi
juga ada peluang mengetahui mengapa kenaikan harga bawang itu bisa
gila-gilaan seperti sekarang.
Seperti lari kuda liar, sang penunggang akan sulit
mengendalikannya. Kuda lari bagai lepas dari pelana. Bawang bukanlah kuda
liar. Tapi harga bawang akhir-akhir ini bergerak bagai kuda liar: sukar
dijinakkan. Dalam dua pekan, harga naik 100 persen. Ibu-ibu rumah tangga
berteriak, industri berbahan baku bawang mengurangi produksi, menelan
kerugian, atau menutup operasi. Pedagang, importir, dan spekulan yang
menguasai stok, agar tidak kentara menari-nari di atas penderitaan banyak
orang, berpura-pura gelisah.
Pemerintah panik. Jika harga bawang terus melambung,
inflasi bakal meroket. Februari lalu, 0,12 persen dari 0,75 persen angka
inflasi disumbang oleh kenaikan harga bawang. Presiden SBY bahkan sampai
mengumbar kemarahan kepada Menteri Pertanian Suswono dan Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan ke publik. Presiden menilai para menteri tidak
serius. Setelah ditegur Presiden, Gita Wirjawan meninjau sejumlah pasar
guna mengecek harga. Dengan terjun ke lapangan, dan bukan hanya duduk di
belakang meja menerima laporan anak buah, para menteri merasa seolah fully
in charge dengan persoalan aktual.
Kita hargai inisiatif pemerintah yang peduli kepada
penderitaan rakyat lantaran harga bawang. Masalahnya, apakah cara
berkunjung secara beramai-ramai ke pasar sambil menanyai harga barang
kebutuhan pokok kepada para penjual merupakan cara efektif untuk meredam
gejolak harga? Bisakah mereka menemukan jawaban apa yang terjadi di balik
kenaikan harga? Yang terjadi, para pedagang mengeluh karena kunjungan
tersebut cukup merepotkan.
Cara kerja beramai-ramai ke pasar bak rombongan sirkus
sesungguhnya hanya menunjukkan pemerintah telah kehilangan fokus dalam
bekerja dan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di permukaan,
pemerintah tampak sibuk bekerja. Tapi, karena apa yang dikerjakan tidak
menyentuh jantung masalah, cara-cara tersebut tak lebih dari usaha
membangun citra ilusif. Presiden SBY pun idem ditto. Sebagai Ketua Dewan
Ketahanan Pangan, Presiden SBY hanya sibuk memarahi dan mengimbau menteri.
Kesibukan demikian membuat Presiden dan para menteri hampir selalu bersikap
evasif, menunda-nunda berhadapan dengan masalah riil. Mereka seolah-olah
tidak menyadari sebagai pemimpin eksekutif, yang inisiatif dan eksekusi
keputusan berada di tangannya.
Kalau sekadar untuk mengecek harga, para menteri bisa
menugaskan staf. Dengan cara diam-diam, bukan rombongan besar dan resmi,
tidak hanya bisa dicari tahu harga-harga yang sebenarnya di pasar, tapi
juga ada peluang mengetahui mengapa kenaikan harga bawang itu bisa
gila-gilaan seperti sekarang. Hasil blusukan para staf itu bisa menjadi
bahan para menteri untuk merumuskan kebijakan yang lebih matang. Dengan
ditopang informasi akurat dari lapangan, terbuka peluang untuk merumuskan
kebijakan yang lebih kredibel, efektif, dan menyentuh substansi persoalan,
bukan kebijakan antah-berantah.
Harga bawang melambung akibat sejumlah hal. Pertama,
ketergantungan pada impor. Ada perbedaan mendasar antara bawang merah dan
bawang putih. Produksi tahunan bawang merah Indonesia mencapai 1,1 juta
ton, sedangkan kebutuhannya 1,5 juta ton. Sebaliknya, ketergantungan
terhadap impor bawang putih amat tinggi. Dari kebutuhan tahunan bawang
putih 400 ribu ton, 95 persen dipasok dari impor. Seharusnya, penanganan bawang
merah lebih mudah. Masalah terjadi, pada saat produksi (Juli-Desember),
kita mengekspor bawang merah. Sebaliknya, saat tidak ada produksi
(Januari-Juni), kita mengimpor. Pada tahun-tahun tertentu, kita sebenarnya
swasembada bawang merah. Seharusnya, kelebihan produksi saat panen disimpan
untuk dimanfaatkan saat tak ada panen. Masalahnya, kita belum memiliki
gudang-gudang penyimpanan bawang ini.
Ketergantungan yang tinggi pada bawang putih impor
terjadi karena kita tidak memiliki keunggulan (komparatif dan kompetitif)
dibanding negara-negara seperti Cina, India, atau Amerika Serikat. Bawang
putih adalah tanaman subtropis. Untuk bisa berproduksi dengan baik,
dibutuhkan sinar matahari harian sekitar 17 jam. Nyaris tidak ada wilayah
di Indonesia yang memenuhi syarat itu. Bawang putih bisa tumbuh dan
diusahakan di Indonesia, tapi produktivitasnya kalah dari negara asal
komoditas itu. Dari sisi ini, seharusnya tak perlu mengejar swasembada
bawang putih, melainkan bawang merah.
Kedua, keterlambatan menerbitkan izin impor. Idealnya,
hitung-hitungan produksi domestik berikut jumlah kebutuhan selesai pada
awal tahun. Kalau perlu impor, bisa segera diterbitkan izin impor. Yang
terjadi, izin impor bawang (merah dan putih), baik Rekomendasi Izin Produk
Hortikultura dari Kementerian Pertanian maupun Surat Persetujuan Impor dari
Kementerian Perdagangan, baru diterbitkan pada 8 Maret 2013. Ini amat
terlambat. Memang tidak ada lonjakan permintaan bawang sepanjang
Januari-Maret 2013. Namun, karena tidak ada tambahan pasokan (baik dari
produksi domestik maupun impor), terjadi tekanan dari sisi pasokan. Ini
membuat pasokan-permintaan (supply-demand) tidak seimbang. Karena pasokan
berkurang, logis dan wajar jika harga melambung.
Kekosongan ini membuka peluang importir nakal untuk
berspekulasi. Mereka mengimpor bawang meskipun belum mengantongi izin.
Tertahannya ratusan kontainer bawang impor di Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya, sebagian terjadi karena impor itu belum dilengkapi izin. Menurut
aturan, impor ilegal harus direekspor ke negara asal. Pemerintah tampak
gamang menghadapi situasi ini. Jika tidak dilegalkan dan dilepas ke pasar,
harga bawang tetap tinggi. Bawang dari importir yang izinnya baru saja
diterbitkan ada kemungkinan baru datang sebulan lagi. Jika dilegalkan,
pemerintah melanggar aturan. Mana yang ditempuh menentukan siapa yang
diuntungkan: importir nakal atau publik?
Ketiga, ulah (importir) nakal yang bertindak sebagai
spekulan. Dugaan ini muncul dari temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, yang menduga ada penimbunan.
Menurut KPPU, di luar 394 kontainer tak berizin, ada 109 kontainer berisi
bawang putih di Tanjung Perak berizin lengkap. Namun, selama 6 minggu
kontainer itu dibiarkan menumpuk. Ini modus lain mengerek harga dengan
menahan suplai. Jika terbukti melanggar, tidak ada alasan bagi otoritas
berwenang untuk tidak menindak ulah importir nakal itu. Jangan muncul kesan
negara kalah oleh spekulan.
Inilah risiko menyerahkan sepenuhnya harga
komoditas kepada mekanisme pasar. Padahal, pasar tidak pernah bekerja
sempurna. Pihak-pihak yang memiliki kuasa besar, termasuk yang menguasai
stok atau barang, akan mudah mengeksploitasi pasar untuk memaksimalkan
keuntungan. Dalam kondisi semacam itu, produsen dan konsumen sama-sama
sebagai pihak yang teraniaya. Negara yang seharusnya hadir untuk mengelola
dan melindungi kepentingan publik justru absen. Tidak adanya instrumen
stabilisasi harga membuat negara kian tak berdaya. Inilah risiko negara
yang dipertuan oleh pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar