Selasa, 19 Maret 2013

Mengapa Harga Bawang Melambung?


Mengapa Harga Bawang Melambung?
Khudori  ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 18 Maret 2013
  

Kalau sekadar untuk mengecek harga, para menteri bisa menugaskan staf. Dengan cara diam-diam, bukan rombongan besar dan resmi, tidak hanya bisa dicari tahu harga-harga yang sebenarnya di pasar, tapi juga ada peluang mengetahui mengapa kenaikan harga bawang itu bisa gila-gilaan seperti sekarang.
Seperti lari kuda liar, sang penunggang akan sulit mengendalikannya. Kuda lari bagai lepas dari pelana. Bawang bukanlah kuda liar. Tapi harga bawang akhir-akhir ini bergerak bagai kuda liar: sukar dijinakkan. Dalam dua pekan, harga naik 100 persen. Ibu-ibu rumah tangga berteriak, industri berbahan baku bawang mengurangi produksi, menelan kerugian, atau menutup operasi. Pedagang, importir, dan spekulan yang menguasai stok, agar tidak kentara menari-nari di atas penderitaan banyak orang, berpura-pura gelisah.
Pemerintah panik. Jika harga bawang terus melambung, inflasi bakal meroket. Februari lalu, 0,12 persen dari 0,75 persen angka inflasi disumbang oleh kenaikan harga bawang. Presiden SBY bahkan sampai mengumbar kemarahan kepada Menteri Pertanian Suswono dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan ke publik. Presiden menilai para menteri tidak serius. Setelah ditegur Presiden, Gita Wirjawan meninjau sejumlah pasar guna mengecek harga. Dengan terjun ke lapangan, dan bukan hanya duduk di belakang meja menerima laporan anak buah, para menteri merasa seolah fully in charge dengan persoalan aktual.
Kita hargai inisiatif pemerintah yang peduli kepada penderitaan rakyat lantaran harga bawang. Masalahnya, apakah cara berkunjung secara beramai-ramai ke pasar sambil menanyai harga barang kebutuhan pokok kepada para penjual merupakan cara efektif untuk meredam gejolak harga? Bisakah mereka menemukan jawaban apa yang terjadi di balik kenaikan harga? Yang terjadi, para pedagang mengeluh karena kunjungan tersebut cukup merepotkan.
Cara kerja beramai-ramai ke pasar bak rombongan sirkus sesungguhnya hanya menunjukkan pemerintah telah kehilangan fokus dalam bekerja dan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di permukaan, pemerintah tampak sibuk bekerja. Tapi, karena apa yang dikerjakan tidak menyentuh jantung masalah, cara-cara tersebut tak lebih dari usaha membangun citra ilusif. Presiden SBY pun idem ditto. Sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan, Presiden SBY hanya sibuk memarahi dan mengimbau menteri. Kesibukan demikian membuat Presiden dan para menteri hampir selalu bersikap evasif, menunda-nunda berhadapan dengan masalah riil. Mereka seolah-olah tidak menyadari sebagai pemimpin eksekutif, yang inisiatif dan eksekusi keputusan berada di tangannya.
Kalau sekadar untuk mengecek harga, para menteri bisa menugaskan staf. Dengan cara diam-diam, bukan rombongan besar dan resmi, tidak hanya bisa dicari tahu harga-harga yang sebenarnya di pasar, tapi juga ada peluang mengetahui mengapa kenaikan harga bawang itu bisa gila-gilaan seperti sekarang. Hasil blusukan para staf itu bisa menjadi bahan para menteri untuk merumuskan kebijakan yang lebih matang. Dengan ditopang informasi akurat dari lapangan, terbuka peluang untuk merumuskan kebijakan yang lebih kredibel, efektif, dan menyentuh substansi persoalan, bukan kebijakan antah-berantah.
Harga bawang melambung akibat sejumlah hal. Pertama, ketergantungan pada impor. Ada perbedaan mendasar antara bawang merah dan bawang putih. Produksi tahunan bawang merah Indonesia mencapai 1,1 juta ton, sedangkan kebutuhannya 1,5 juta ton. Sebaliknya, ketergantungan terhadap impor bawang putih amat tinggi. Dari kebutuhan tahunan bawang putih 400 ribu ton, 95 persen dipasok dari impor. Seharusnya, penanganan bawang merah lebih mudah. Masalah terjadi, pada saat produksi (Juli-Desember), kita mengekspor bawang merah. Sebaliknya, saat tidak ada produksi (Januari-Juni), kita mengimpor. Pada tahun-tahun tertentu, kita sebenarnya swasembada bawang merah. Seharusnya, kelebihan produksi saat panen disimpan untuk dimanfaatkan saat tak ada panen. Masalahnya, kita belum memiliki gudang-gudang penyimpanan bawang ini.
Ketergantungan yang tinggi pada bawang putih impor terjadi karena kita tidak memiliki keunggulan (komparatif dan kompetitif) dibanding negara-negara seperti Cina, India, atau Amerika Serikat. Bawang putih adalah tanaman subtropis. Untuk bisa berproduksi dengan baik, dibutuhkan sinar matahari harian sekitar 17 jam. Nyaris tidak ada wilayah di Indonesia yang memenuhi syarat itu. Bawang putih bisa tumbuh dan diusahakan di Indonesia, tapi produktivitasnya kalah dari negara asal komoditas itu. Dari sisi ini, seharusnya tak perlu mengejar swasembada bawang putih, melainkan bawang merah.
Kedua, keterlambatan menerbitkan izin impor. Idealnya, hitung-hitungan produksi domestik berikut jumlah kebutuhan selesai pada awal tahun. Kalau perlu impor, bisa segera diterbitkan izin impor. Yang terjadi, izin impor bawang (merah dan putih), baik Rekomendasi Izin Produk Hortikultura dari Kementerian Pertanian maupun Surat Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan, baru diterbitkan pada 8 Maret 2013. Ini amat terlambat. Memang tidak ada lonjakan permintaan bawang sepanjang Januari-Maret 2013. Namun, karena tidak ada tambahan pasokan (baik dari produksi domestik maupun impor), terjadi tekanan dari sisi pasokan. Ini membuat pasokan-permintaan (supply-demand) tidak seimbang. Karena pasokan berkurang, logis dan wajar jika harga melambung.
Kekosongan ini membuka peluang importir nakal untuk berspekulasi. Mereka mengimpor bawang meskipun belum mengantongi izin. Tertahannya ratusan kontainer bawang impor di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, sebagian terjadi karena impor itu belum dilengkapi izin. Menurut aturan, impor ilegal harus direekspor ke negara asal. Pemerintah tampak gamang menghadapi situasi ini. Jika tidak dilegalkan dan dilepas ke pasar, harga bawang tetap tinggi. Bawang dari importir yang izinnya baru saja diterbitkan ada kemungkinan baru datang sebulan lagi. Jika dilegalkan, pemerintah melanggar aturan. Mana yang ditempuh menentukan siapa yang diuntungkan: importir nakal atau publik?
Ketiga, ulah (importir) nakal yang bertindak sebagai spekulan. Dugaan ini muncul dari temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, yang menduga ada penimbunan. Menurut KPPU, di luar 394 kontainer tak berizin, ada 109 kontainer berisi bawang putih di Tanjung Perak berizin lengkap. Namun, selama 6 minggu kontainer itu dibiarkan menumpuk. Ini modus lain mengerek harga dengan menahan suplai. Jika terbukti melanggar, tidak ada alasan bagi otoritas berwenang untuk tidak menindak ulah importir nakal itu. Jangan muncul kesan negara kalah oleh spekulan.
Inilah risiko menyerahkan sepenuhnya harga komoditas kepada mekanisme pasar. Padahal, pasar tidak pernah bekerja sempurna. Pihak-pihak yang memiliki kuasa besar, termasuk yang menguasai stok atau barang, akan mudah mengeksploitasi pasar untuk memaksimalkan keuntungan. Dalam kondisi semacam itu, produsen dan konsumen sama-sama sebagai pihak yang teraniaya. Negara yang seharusnya hadir untuk mengelola dan melindungi kepentingan publik justru absen. Tidak adanya instrumen stabilisasi harga membuat negara kian tak berdaya. Inilah risiko negara yang dipertuan oleh pasar. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar